Selasa, 04 Oktober 2011

Tugu Kolonel Muhammad Nuh

         Awal September l995 kakanda M. Akip Renatin menerima surat dari Bupati Kepada Daerah Tingkat II Lahat, Drs. H Solichin Daud,  di tujukan untuk ahli waris Kolonel M Nuh. Surat no 464.1/1723/VI/1995 tanggal 23 Agustus 1995 berisi permohonan izin dan restu ahli waris M Nuh untuk membuat Monumen/Patung M Nuh.
         Atas surat Bupati Lahat untuk meminta izin dan restu ahli waris Muhammad Nuh untuk membuat Patung/Monumen Muhammad Nuh, terjadi dua pendapat menyikapi permintaan tersebut. Termaksud permintaan foto dan riwayat hidup ayahanda. Karena selama ini kebetulan saya yang mendokumentasi riwayat ayahanda maka, kakanda Ottoman dan kakanda Akip menyerahkan urusan ini kepada saya.

         Dua pendapat dari ahli waris M Nuh itu adalah yang setuju untuk dibuatkan Patung, dan yang tidak setuju. Alasan yang tidak setuju antara lain karena mengacu kepada apa yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim yaitu menghancurkan patung-patung yang ada di dalam Ka’bah. Sangat naïf jika ayahanda diabadikan dalam bentuk patung sedangkan Nabi Ibrahim sebagai Imam bagi seluruh manusia, memberi contoh dengan menghancurkan patung-patung sebagai berhala. Karenanaya saya tidak menanggapi permintaan riwayat hidup serta foto almarhum Muhammad Nuh ke Bupati Lahat.
         Dengan “tidak ada ijin dan restu dari ahli waris”, sepatutnya pembuatan Monumen/Patung itu batal dengan sendirinya. Secara formal tentu di butuhkan ijin tertulis untuk membuatnya.
         Satu hari saya menerima telepon dari seorang saudara yang tinggal di Lahat, Hilal Bakri. Dia menanyakan permintaan riwayat hidup dan foto bapak. Saya jelaskan kepadanya tentang bagaimana sikap ahli waris atas rencana pembuatan Monumen /Patung Kolonel M Nuh, bahwa tidak ada kata sepakat dari ahli waris untuk bapak diabadikan dalam bentuk patung. Sebaiknya di batalkan saja, teriring ucapan terima kasih atas apresiasi Bupati Lahat  yang di berikan kepada ayahanda almarhum M Nuh.                                               
         Alasan ini sepertinya kurang bisa di terima oleh Hilal , karena dia merasa sudah berjuang keras untuk “proyek” ini. Saya anggap sikap ahli waris sudah jelas, dan saya tidak merasa perlu untuk memenuhi permintaan Bupati Lahat mengirimkan riwayat hidup dan foto bapak.
         Ternyata kemudian, tampa izin dan restu dari ahli waris almarhum Kolonel Nuh, proses pembuatan Monumen dan Patung Kolonel M Nuh tetap di lanjutkan dan di resmikan oleh Komandan Resort Militer Garuda Hitam, Kolonel Ryamizard Ryacudu (kemudian menjadi KSAD dengan pangkat Jenderal bintang empat), tanpa di hadiri oleh satu orang pun ahli waris almarhum Kolonel M Nuh.
         Letak monumen itu berada di perbatasan Kabupaten Muara Enim dengan Lahat.  Ini adalah pelanggaran dari hirarki tradisi Tentara Nasional Indonesia, bagaimana satu monumen yang memakai nama empunya ahli waris di resmikan, sementara tidak ada seorang pun dari ahli waris di beritahukan, apa lagi di undang untuk menghadiri peresmian tersebut.                                                                                      
         Sebagai contoh, bagaimana seluruh ahli waris Pahlawan Revolusi di undang untuk hadir pada waktu peresmian Monumen Pancasila Cakti di Lubang Buaya. Seluruh ahli waris Jenderal Besar Sudirman, di undang untuk hadir pada waktu peresmian gedung pertemuan yang diberi nama Balai Sudirman. Atas permintaan Panglima ABRI waktu itu, Bu Dirman diminta membuka selubung patung Pak Dirman yang terletak di Mabes ABRI, Cilangkap. Banyak lagi contoh bagaimana peran ahli waris berkenaan dengan pembuatan monumen sesuai peran sejarah yang telah di torehkan oleh orang tua mereka.
         Baru pada Januari 2009, setelah 13 tahun  dibuat, saya mengunjungi monumen Kolonel Muhammad Nuh di perbatasan antara kabupaten Muara Enim dan Lahat. Saya melihat patung yang tidak menyerupai bapak dan penulisan riwayat hidup pada marmer di bawah patung yang salah semua. Tertulis di situ riwayat almarhum Kolonel Nuh sebagai berikut:
         Disebabkan tidak ada data tentang Kolonel Muhammad Nuh yang kami berikan untuk pembuatan “Monumen Muhammad Nuh”, maka, apa yang terlulis di prasasti semua salah. 
Pada prasasti tertulis sebagai berikut:

TGL 1-9-45 KOL. I M. NUH KEPALA STAP SUBKOSS
TGL 12-10-45 I KOL M. NUH   II LETKOL BAMBANG UTOYO
III MAYOR NURDIN PANJI   IV MAYOR RASYAD NAWAWI DAN
OPSIR BEKAS GYUGUN MEMBENTUK STRUKTUR ORGANISASI
TERDIRI DARI V DIVISI DAN BEBERAPA RESIMEN
BERTEMPAT DIKOTA PAGAR ALAM KAB TK II LAHAT
TGL 25-12-45 KOL M NUH KEPALA STAP KOMANDO SUMATRA
TGL 21-7-47 S/D TGL 1-6-48 PANGLIMA                                                 
DEVISI VIII GARUDA DIGANTI KOL M SIMBOLON

1.    Tgl 1-9-45 disebutkan  Kolonel M Nuh sebagai Kepala Staf Sub Komando Sumatra Selatan.
Kolonel Muhammad Nuh tidak pernah menjabat sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra Selatan (Subkoss).  Pada awal bulan September 1945 (1-9-1945), M Nuh bersama Opsir Gyugun lainnya, membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Lahat. Untuk lebih faktual saya kutip dari beberapa buku di bawah ini.
(a) Buku “Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan”
Penglaman Perang Gerilya – Tulisan Mayjen TNI Harun Sohar
Dituliskan antara lain: Setelah membentuk Badan Keamanan Rakyat di Lahat, awal September, Muhammad Nuh dan Harun Sohar mendapat tugas dari Dr.AK Gani untuk mengikuti Konggres Pemuda dan menemui Jenderal Oerip Soemohardjo, dan menghadiri Konferensi Besar Tentara Keamanan Rakyat  di Jogyakarta. Dari Palembang mereka menuju pelabuhan Panjang lalu menyeberang menggunakan perahu nelayan ke Merak. Singgah di Jakarta, dan berjumpa dengan Kolonel Didi Sasmita dan Dr. Ery Sudewo di jalan Perapatan no l0. Setelah itu melanjutkan perjalanan dengan kereta api ke Jogyakarta. Walaupun sudah menyerah kepada Sekutu, tentara Jepang masih berjaga di posnya masing-masing sampai pasukan Sekutu tiba. Jadi, perjalanan dari Palembang ke Jogyakarta cukup menguji adrenalin karena harus meliwati pos-pos penjagaan tentara Jepang. Pada waktu itu ada larangan bepergian dari Sumatra ke Jawa atau sebaliknya. 10 Nopember l945, M Nuh dan Harun Sohar menghadiri konggres pemuda yang di buka oleh Presiden Sukarno. Konggres di tunda karena terjadi pertempuran di Surabaya.
Pembicaraan saya dengan Jenderal Besar AH Nasution dan sesuai dengan tulisan Letnan Jenderal Tjokropranolo dalam buku Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman, dan  tulisan Jenderal AH Nasution di buku menuhi Panggilan Tugas jilid 2, di katakana bahwa ; pada 12 Nopember l945 di adakan Konperensi Besar Tentara Keamanan Rakyat yang pertama. Kolonel M Nuh hadir sebagai satu-satunya utusan dari Sumatra. Pada waktu pemilihan Panglima Besar, Kolonel M Nuh memberikan 6 suara atas nama 6 Divisi di Sumatra kepada Kolonel Sudirman. Hasil akhir penghitungan suara, Pak Dirman unggul tipis dari suara yang memilih Jenderal Oerip, Pak Dirman  menjadi Panglima Besar yang pertama. Pada Konperensi TKR yang pertama itu, setiap Komandan Divisi yang hadir didampingi oleh ajudan masing-masing. Ajudan Pak Dirman waktu itu, Kapten S Parman, yang kemudian menjadi Jenderal dan tewas di bantai PKI dalam peristiwa G30S/PKI. Ajudan Pak Nas adalah Kapten Umar Wirahadikuma, kemudian menjadi Wakil Presiden. Kolonel Muhammad Nuh didampingi Harun Sohar sebagai ajudan. Karena sulitnya transportasi pada waktu itu, di tambah belum semua tentara Jepang dilucuti oleh Sekutu, Muhammad Nuh bersama Harun Sohar baru dapat kembali ke Palembang pada awal bulan Desember l945. Sangat tidak benar bahwa tgl 1-9-45 Kolonel M Nuh sebagai Kepala Staf Sub Komando Sumatra.

2.    Dituliskan pada 12-10-45 Kolonel M Nuh ikut hadir rapat di Pagar Alam dalam rangka  pembentukkan tentara di Sumatra.                                                                                                
     Pada waktu itu Muhammad Nuh masih di Yokyakarta bersama Harun Sohar. Keberadaan Kolonel Muhammad Nuh di Yokyakarta, saya dapatkan dari keterangan Pak Nas pada waktu saya bertandang ke rumahnya. Keterangan Pak Nas ini sesuai dengan yang terdapat dalam buku 1. Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman – Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia – Kisah Seorang Pengawal – tulisan Letnan Jenderal Tjokropranolo. 2. Surat pribadi Jenderal Besar AH Nasution no l95/296/II/95 tgl. 20 Februari l995. 3.  Buku Sekitar Perang Kemerdekaan – jilid 1 – tulisan Jenderal Besar AH Nasution. 4. Buku Memenuhi Panggilan Tugas jilid 2 – tulisan Jenderal Besar AH Nasution.

3.    Kolonel Muhammad Nuh diangkat sebagai Kepala Staf      
     Komandemen   Sumatra pada 27 Desember l945, bukan                            
     25-12-45 seperti yang tertulis di Monumen Kolonel       
     Muhammad Nuh. Mengenai hal ini dapat
        di lihat dalam buku Kenangan Tiga Puluh Tahun Komando
         Daerah Militer IV Sriwijaya dan buku Tentara Nasional
         Indonesia – tulisan   Jenderal Besar AH Nasution.

4.    Kolonel M Nuh menjabat sebagai Panglima Divisi VIII
     Garuda  pada 10 Januari 1947,    bukan tgl 21-07-47 s/d 1-6-  
     48 lalu diganti oleh   Kolonel Simbolon    seperti tertera di
     monumen itu.                                                                                        
     Dapat di lihat pada buku Peringatan Hari Ulang Tahun     
     Sriwidjaja ke XIV terbitan Komando Daerah Militer IV
     Sriwidjaja dan buku Kenangan Tiga Puluh Tahun Komando
    Daerah Militer IV Sriwidjaja – terbitan Sejarah Militer Daerah
    Militer IV Sriwidjaja.
         Kolonel M Nuh menjabat sebagai Panglima Devisi VIII Garuda         
         selama 3 bulan. Dari 10 Januari  hingga Maret l947,
         dipindahkan ke Markas Besar Tentara di Jogjakarta sebagai   
         Opsir Penghubung Panglima Besar dengan Panglima
         Komandemen Sumatra.

        Penulisan sejarah tanpa data dan fakta  malah membuat sejarah yang absurd dan menyesatkan, sejujurnya membuat ahli waris tertawa dalam keprihatinan. Pembuatan Tugu Kolonel Muhammad Nuh berupa patung dan dan prasasti berisi riwayat yang tidak berdasarkan izin dan restu dari ahli waris, akhirnya hanya menjadi seonggok fakta sejarah yang berantakan, salah, tanpa makna dan arti  apapun.                                                                                                                                                                        
         Hendaknya kedepan, untuk membuat monumen yang mengadung historis, sepatutnya dilakukan dengan tata cara yang beradab, santun, formal dan benar. Agar tidak terjadi pelacuran dalam menuliskan fakta sejarah, sekedar memenuhi syahwat pragmatisme.

    


2 komentar:

  1. Semoga beliau tenang disisi-Nya.................
    Kalau alm Bapakku sampai akhir hayatnya cuma bisa mengenang dan napak tilas dengan anak2nya jalur grilya dia semasa berjuang dengan pangkat pradjurit satu.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus