Selasa, 04 Oktober 2011

KOLONEL MUHAMMAD NUH Penentu Kolonel Soedirman Menjadi Panglima Besar

6 Suara untuk Pak Dirman

Awal mula keingintahuan saya lebih banyak tentang bapak, terbesik saat membaca membaca memoar Jenderal Besar AH Nasution berjudul “Memenuhi Panggilan Tugas” jilid 1 – Kenangan Masa Gerilya, di peristiwa pemilihan Panglima Besar, pada 12 Nopember 1945, di Markas Besar Tentara, jalan Gondokusuman (sekarang jalan Jenderal Soedirman),  Jogyakarta.                                                                                    
         Dalam buku itu,  Pak Nas  menuliskan  seorang perwira dari Sumatra (tampa menyebut nama), yang dalam pemilihan tersebut  hadir mewakili 6 Divisi dari Sumatra, dan memberikan 6 suara yang dimiliki  kepada Komandan Divisi V Banyumas Kolonel Sudirman, yang  akhirnya terpilih sebagai Panglima Besar TKR. Selisih suara  antara Kolonel Soedirman  dan  Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo hanya sedikit tetapi Pak Dirman lebih banyak. (1)       
         Sebelumnya, saya membaca tentang peristiwa pemilihan Panglima Besar tersebut di buku berjudul – “Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman” – karangan Soekamto SA – terbitan Pustaka Jaya. Pada halaman 103, Soekamto SA menuliskan peristiwa Konperensi Besar TKR yang pertama pada 12 Nopember 1945, bahwa seorang perwira (yang di buku Pak Nas tidak disebut namanya) adalah Kolonel Muhammad Nuh, yang mewakili 6 Divisi di Sumatra, dan memberikan 6 suara yang dimilikinya untuk Pak Dirman, hingga beliau terpilih sebagai Panglima Besar. (2)                                                                                                                 
         Untuk klarifikasi kepada Pak Nas tentang nama seorang Perwira dari Sumatra yang hadir di Konperensi Besar TKR di Yogjakarta pada 12 November 1945, dan menjadi utusan tentara satu-satunya    dari Sumatra yang memberikan 6 suara atas nama 6 Divisi di Sumatra kepada Kolonel Sudirman, hingga Pak Dirman terpilih menjadi Panglima Besar. Saya menulis surat pembaca di majalah TEMPO edisi Juli 1989, mengkritisi tulisan Pak Nas tentang proses pemilihan Panglima Besar. (3)                                                             
         Selanjutnya Pak Nas mengirim surat kepada saya yang isi antara lain menyebutkan bahwa, Insya Allah dalam cetakan yang akan datang beliau akan sebutkan nama Kolonel Muhammad Nuh, bersama yang lain, yang hadir ketika memilih Panglima Besar. Pak Nas juga menginformasikan bahwa beliau telah menuliskan nama Kolonel Muhammad Nuh dan perannya dalam pemilihan Panglima Besar di buku: “Sekitar Perang Kemerdekaan” – jilid I halaman 380. (4)                                              
         Untuk buku biografi Kolonel Muhammad Nuh,   Jenderal Besar  DR. A.H. Nasution menuliskan khusus tentang: “Sekitar Terpilihnya Sudirman sebagai Panglima Besar”, antara lain disebutkan: Diantara calon-calon Panglima Besar, Kolonel Sudirman, setelah pertempuran Ambarawa mendapat suara terbanyak disusul oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Maka Kolonel Muhammad Nuh yang datang dari Sumatra mengatakan, bahwa ia mengantongi 6 suara Komandan Resimen di Sumatra. Semua suara itu dia serahkan kepada Kolonel Sudirman. Sehingga Sudirman terpilih.  (5)
         Selisih perbedaan suara yang diperoleh antara Pak Dirman dan Pak Oerip Soemohardjo tidak banyak. Tetapi dari 6 Divisi di Sumatra yang mewakili 6 suara memberikan seluruhnya kepada Pak Dirman. Pak Dirman, yang berlatar belakan seorang guru, mantan  Opsir PETA yang pada waktu itu baru berumur 29 tahun, terpilih sebagai Panglima Besar TKR.                                                                                                         
         Pada kenyataannya banyak perwira-perwira yang yang usianya lebih tua dari beliau, akan tetapi hampir semua perwira yang menjabat sebagai Komandan Resimen dan Panglima Divisi di daerah-daerah umumnya berasal dari PETA dan Gyugun. Hal itu merupakan keputusan yang secara  psikologis sangat bijaksana apabila yang menjadi Panglima adalah juga berasal dari Perwira PETA. Sri Sultan Hamengku Buwono IX diusulkan menjadi Menteri Pertahanan, namun usul itu adalah wewenang Pemerintah. Kalau tidak diangkat oleh Perdana Menteri dianggap sebagai melampaui batas kewenangan TKR. Demikian Letnan Jenderal (Purn) Tjokropranolo, Komandan Pengawal Pak Dirman pada waktu Perang Gerilya, menuliskan dalam buku “Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman – Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia”. (6)    

         Setelah itu beberapa kali saya bersilaturahmi ke rumah Pak Nas di jalan Tengku Umar no 40, Menteng, Jakarta Pusat. Disela-sela pembicaraan saya menanyakan tentang bapak khususnya pada waktu  bersama-sama  Pak Nas bertugas di Ibu Kota Perjuangan Yogyakarta. Saat itu Pak Nas menjabat sebagai Panglima Komando Jawa dan bapak sebagai Opsir Penghubung Panglima Besar dengan Panglima Komandemen Sumatra.                                                                                                                                    
         Pada waktu saya tanyakan suasana pada Konperensi Besar TKR di Yogyakarta, tanggal 12 Nopember 1945, khususnya mengenai proses pemilihan Panglima Besar, Pak Nas menjelaskan dengan runtut didasari ingatan beliau pada waktu menghadiri Konperensi Besar TKR yang pertama. Hampir seluruh Panglima Divisi dan Komandan Resimen di pulau Jawa hadir kecuali dari Jawa Timur karena sedang menghadapi pertempuran 10 November yang kemudian diperingati sebagai hari Pahlawan. “Saya sebagai Kepala Staf Komandemen Jawa Barat, hadir bersama seorang ajudan, Kapten Umar Wirahadikusuma  (kemudian menjadi Wakil Presiden RI). Usia kami tidak bertaut jauh, Pak Umar memakai kumis dan saya tidak, hingga kadang-kadang yang dianggap sebagai Kepala Staf malah Pak Umar”. Ujar Pak Nas sambil tersenyum.  Kolonel Muhammad Nuh hadir bersama Harun Sohar, kalau tidak salah pangkatnya Mayor. Ajudan Kolonel dari Sumatra berpangkat Mayor. (Pak Nas tertawa) Memang masalah kepangkatan pada waktu itu masih semrawut, maklum kita baru saja membentuk organisasi tentara. Ujar Pak Nas.                                                                                                       
         Dikemudian hari  saya banyak berhubungan dengan Letnan Kolonel Harun Sohar pada waktu terjadi “gerakan daerah di Sumatra Selatan”, lanjut Pak Nas.  Waktu itu dia menjadi Kepala Staf Kodam Sriwijaya. Ketidak jelasan sikap dari Panglima Kodam Sriwijaya Kolonel Barlian yang sekaligus sebagai Ketua Dewan Garuda pada waktu itu, akhirnya saya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) memutuskan Letnan Kolonel Harun Sohar sebagai Pejabat Panglima Kodam Sriwijaya, dan kemudian resmi saya tetapkan sebagai Panglima. Lebih jauh Pak Nas menceritakan; “Kolonel Barlian memang tidak ikut PRRI yang dipimpin Kolonel Ahmad Husein di Sungai Dareh. Tapi sikap Barlian yang kurang tegas menyikapi PRRI. Pada akhirnya ia saya tarik ke MBAD dan saya persiapkan untuk menjadi Atase Militer. Mayor Nawawi dari Kodam Sriwijaya membelot turut PRRI, dia bawa pasukannya beberapa Kompi ke Bengkulu. Jika pada waktu itu Dewan Garuda ikut PRRI  maka saya selaku KSAD sudah persiapkan Operasi Sadar dibawah pimpinan Kolonel Ibnu Sutowo – saya pun mendapat laporan dari intelijen MBAD bahwa Muhammad Nuh memiliki peran yang tidak kecil bersama Kolonel Barlian dan yang lain-lain pada waktu apa yang sering disebut sebagai pergerakan daerah”.                         
         Untuk Dewan Banteng di Sumatra Tengah, di bentuk Operasi 17 Agustus dipimpin Kolonel A Yani. Disana terjadi pertempuran karena Kolonel A Husein bersama Kolonel Simbolon dan lain-lain tegas-tegas ingin memisahkan diri dari NKRI. Sejarah yang tidak baik dari “gerakan daerah” semoga tidak terulang lagi. Pak Nas agak termenung, mungkin mengingat kembali peristiwa itu, dimana kolonel-kolonel didaerah membangkang perintahnya sebagai KSAD.                        
         Kembali tentang ayah ananda Kolonel Muhammad Nuh.  Pada waktu pemilihan Panglima Besar, Kolonel Muhammad Nuh hadir membawa surat dari Koordinator/ Organisator Tentara di Sumatra Dr. A.K. Gani yang menetapkan Kolonel Muhammad Nuh sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra.                                                                                                             
         Pada waktu itu telah dipersiapkan untuk membentuk enam Divisi di Sumatra walau faktanya pada saat itu enam Divisi yang dimaksud belum terbentuk. Lalu terjadi protes dari beberapa Panglima Divisi dan Komandan Resimen  yang berasal dari pulau Jawa, menghendaki Kolonel Muhammad Nuh pun sepatutnya hanya punya satu suara. Pada Akhirnya, Kolonel Holand Iskandar yang meminpin konferensi TKR dapat menengahi sekaligus memenuhi kehendak Kolonel Muhammad Nuh memiliki hak 6 suara dengan mengacu pada  kawat/telegram dari Presiden Sukarno mengenai pengangkatan Dr. A.K. Gani sebagai Koordinator/Organisator Tentara di Sumatra, maka telah ditetapkan Jenderal Mayor Suhardjo sebagai Panglima Komandemen Sumatra dan Kolonel Muhammad Nuh  sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra.
        Selanjutnya, telah disiapkan untuk membentuk 6 Divisi di Sumatra. Sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra, kehadiran Kolonel Muhammad Nuh di Konferensi itu adalah sebagai wakil 6 Divisi di Sumatra, karenanya berhak memiliki 6 suara dalam pemilihan Panglima Besar. Pada akhirnya, argumen yang diutarakan Kolonel Muhammad Nuh dapat diterima oleh peserta Konperensi. Selanjutnya Kolonel Holand Iskandar melanjutkan Konperensi dan masuk pada bagian pemilihan Panglima Besar.                                     
         Saya sendiri hadir sebagai Kepala Staf Komandemen Jawa Barat yang membawahi 3 Divisi, tapi ketiga Panglima Divisi hadir hingga saya pun hanya memiliki 1 suara dalam pemilihan tersebut. Ujar Pak Nas mengceritakan peristiwa pemilihan Panglima Besar. (7)
         Berkenaan dengan Konperensi Besar TKR pada 12 Nopember 1945, saya juga meminta penjelasan dari Letnan Jenderal TNI AD (Purn) Tjokropranolo, yang pada waktu agresi militer Belanda kedua menjabat sebagai Komandan Pengawal Panglima Besar Jenderal Soedirman. Pak Tjokro menyebutkan bahwa ia tidak hadir di Konferensi TKR. Kolonel Soedirman hadir bersama ajudan Kapten S Parman, yang kemudian dibunuh oleh G30S/PKI. Peristiwa pemilihan Panglima Besar yang ia tulis dibukunya mengutip dari Letnan Jenderal Jatikusumo yang hadir di peristiwa itu. Karenanya, saya anggap penting untuk memuat pernyataan dari KSAD pertama Letnan Jenderal Jatikusumo yang disampaikan pada peringatan wafatnya Pak Dirman tanggal 9-2-1991, diadakan oleh Yayasan PETA di Gedung Pola, mengenai riwayat terpilihnya Pak Dirman sebagai Panglima Besar, yang dimuat di buku “Panglima Besar TNI Jendral Soedirman – Peminpin Pendobrak Terakhir  Penjajahan di Indonesia – kisah seorang pengawal – tulisan Tjokropranolo”,  berikut kutipannya:
  
Pemilihan Panglima Besar                                               
Di kalangan pucuk Pimpinan TKR daerah dirasakan adanya satu kekurangan, yaitu Soepriyadi sebagai Pimpinan Tertinggi TKR yang ditunjuk oleh Presiden, tetapi tidak pernah muncul. Atas dasar itu, ada keinginan kuat di kalangan Pemimpin Markas Tinggi TKR untuk memilih dan mengangkat seorang Perwira Tinggi guna menggantikan Soepriyadi. Pimpinan Tertinggi yang baru benar-benar dirasakan perlu, mengingat kehadiran dan tenaganya dibutuhkan sekali untuk mengayomi ataupun mengatur seluruh kesatuan bersenjata, khususnya TKR yang baru dibentuk itu.                                                  
         TKR lahir dan didirikan di mana-mana, lebih-lebih setelah adanya perintah 1 Nopember 1945, maka berdirinya laskar rakyat di daerah-daerah semakin menjamur. Para Komandan setempat kebanyakan dipilih langsung oleh bawahannya, atau oleh Komite Nasional Daerah setempat, atau juga oleh panitia yang sengaja dibentuk untuk maksud itu. Bahkan tidak jarang peroranganpun menyusun sendiri suatu pasukan dan ia menjadi Komandannya.
      Cara-cara semacam itu tentu saja tidak bisa dibiarkan begitu saja. Maka harus ada suatu tentara yang kuat untuk menjadi tulang punggung  dari semua kesatuan-kesatuan perjuangan bersenjata yang ada guna menghadapi Belanda yang diperkirakan akan menguasai kembali setelah pihak Sekutu kelak meninggalkan Indonesia.
        Berdasarkan atas pertimbangan itu, pada 12 Nopember 1945 di MTTKR (Markas Tinggi Tentara Keamanan Rakyat) di Gondokusuman, Yogjakarta, diadakan Konperensi Besar TKR yang dihadiri oleh hampir semua Komandan Divisi dan Resimen TKR. Juga hadir dalam rapat tersebut Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sunan Pakubuwono XII dan Mangkunegoro X.
        Utusan dari Sumatra yang hadir hanya satu orang, yaitu Kolonel Muhammad Nuh, mewakili 6 Divisi di Sumatra. Sedang wakil dari Jawa Timur tidak hadir lengkap karena sedang menghadapi keadaan genting sebagai akibat peristiwa 10 Nopember.
          Acara pokok konperensi seperti yang telah diketahui oleh para hadirin sebelumnya ialah pembahasan soal: “Membangun tentara yang kuat guna menghadapi serangan musuh.” Konperensi ini dinilai sangat penting sebagai langkah pertama untuk mengatur ketertiban dan ketenteraman Negara Republik Indonesia. Pada saat itu baru mempunyai MT (Markas Tertinggi) TKR dengan pimpinan Kepala Staf Umum. Belum mempunyai Kementrian Pertahanan dan juga belum mempunyai Panglima Besar. Jadi bahwa terbentuknya Tentara Nasional Indonesia adalah dari bawah ke atas, bukan seperti lazimnya: dari atas ke bawah. Pembentukan ini berlangsung secara demokratis dan dengan penuh kesetiakawanan.
          Ketika pasukan Sekutu benar-benar mendarat dan bergerak ke daerah pedalaman untuk melucuti garnisun-garnisun Jepang dan membebaskan semua tawanan perang Jepang, para perwira TKR mendesak pemerintah agar segera secara permanent mengisi jabatan Panglima Tentara dan Menteri Keamanan (Pertahanan). Oleh karena pemerintah tidak menanggapi permintaan itu, maka Letjen Oerip Soemohardjo, pada 12 Nopember 1945 memanggil semua Panglima Divisi dan Resimen TKR untuk menghadiri sebuah rapat di Yogjakarta, yaitu tempat kedudukan baru Markas Besar TKR, setelah Jakarta diduduki oleh tentara Sekutu.
       Pada waktu itu para Panglima Daerah ini bukanlah diangkat oleh Pemerintah Pusat, melainkan diangkat atas dasar “kedaulatan”, dipilih oleh anak buahnya sendiri. Termasuk pula mengenai pangkat dan kedudukan para perwira, semua berdasarkan kedudukan mereka dalam pasukannya, atau, karena pangkat-pangkat itu dipandang dari tingkat dan posisinya di masyarakat waktu itu.
        Konperensi dipimpin oleh Kepala Staf Umum Letjen Oerip Soemohardjo dan berjalan lancar, tetapi kemudian timbul suasana yang tegang ketika diumumkan mengenai suatu “urgensi” yang tidak dapat ditunda, terpaksa harus mengadakan rapat tambahan agenda rapat, ialah menentukan/memilih calon-calon yang akan dipilih sebagai Pimpinan Tertinggi TKR.
         Selain sebagian besar perwira PETA/Gyugun, hadir pula beberapa mantan KNIL seperti Didi Kartasasmita, Jatikusumo (KNIL+PETA), Gatot Subroto (KNIL+PETA), Suryadarma dan Kepala Staf Umum TKR sendiri, Oerip Soemohardjo. Para mantan KNIL yang telah masuk BKR/TKR itu terbukti turut berjuang dengan sepenuh hati mengabdikan diri kepada Tanah Air Indonesia dan merasa tidak terikat lagi dengan sumpah mereka untuk tetap setia pada Mahkota Belanda.
         Suasana rapat menjadi makin hangat dan ramai tatkala pemilihan Pimpinan Tertinggi TKR dimulai, tetapi karena yang hadir belum siap untuk mengajukan calon masing-masing, maka atas prakarsa Pak Dirman rapat diskors sebentar. Ketika rapat dimulai lagi, pimpinan rapat dipegang oleh Holland Iskandar. Pemilihan berjalan secara terbuka, demokratis dan pada papan tulis dicantumkan nama-nama calon diantaranya;
1. Sri Sultan Hamenkubuwono IX
2. Widjoyo Soeryokusumo
3. GPH Purbonegoro
4. Oerip Soemohardjo
5. Soedirman
6. Suryadarma
7. Pardi
8. Nazir

        Sedang pokok pembicaraan  utama tetap mengenai soal pengisian jabatan pimpinan di Markas Besar TKR dan dalam Kementrian Pertahanan.
        Pemilihan dilakukan dengan hanya mengangkat dan mengacungkan tangan satu persatu , setelah nama-nama calon disebutkan oleh panitia. Pemilihan dilakukan tiga kali. Yang pertama dua orang calon gugur. Pemilihan selanjutnya dua orang calon juga gugur lagi. Barulah pada pemilihan yang ketiga, nama Kolonel Soedirman disebut. Hasil hitungan menunjukkan suara terbanyak bagi calon yang namanya disebut terakhir kali.
         Selisih perbedaan suara yang diperoleh antara Pak Dirman Dan Pak Oerip Soemohardjo tidak banyak. Tetapi suara Kolonel Muhammad Nuh atas nama 6 Divisi di Sumatra, memberikan 6 suara seluruhnya kepada Pak Dirman. Dalam rapat itu, Pak Dirman sebagai salah seorang bekas Opsir PETA yang pada waktu itu baru berumur 29 tahun, terpilih sebagai Panglima Besar TKR.
          Oerip Soemohardjo yang usianya jauh lebih tua, diminta untuk tetap menjadi Kepala Staf Umum TKR. Beliau dianggap mahir soal strategi militer dalam menghadapi tentara Belanda. Disamping itu juga, tokoh ini adalah seorang professional di dalam urusan organisasi kemeliteran  (8)
         
         Selain dari buku Tjokropranolo, dalam rangka pengembangan “Monumen Panglima Besar Jenderal Soedirman” di Sobo, Pakis Baru, Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. Dusun Sobo dikenal sebagai Markas Gerilya Panglima Besar. Berbarengan dengan peresmian monumen tersebut, Kepala Pusat Sejarah TNI Brigadir Jenderal TNI AD Agus Gunaedi Pribadi menerbitkan buku berjudul: MENGIKUTI JEJAK PANGLIMA BESAR – JENDERAL SOEDIRMAN – PAHLAWAN PEMBELA KEMERDEKAAN 1916 – 1950. Diterbitkan oleh: Prenada – Maret 2009. Halaman 42 s/d 45, berikut kutipannya:                                                                                  

Pemilihan Panglima TNI
Untuk mengisi kekosongan jabatan Pimpinan Tertinggi TKR, maka Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Staf Umum TKR berinisiatif mengadakan Konferensi TKR dengan agenda memilih Panglima Besar. Konferensi TKR diselenggarakan tanggal 12 Nopember 1945 di Yogjakarta, yang dihadiri oleh para Komandan Divisi dan Komandan Resimen se Jawa.                                                        
         Beberapa Komandan dari Jawa Timur tidak bisa hadir karena tengah disibukkan dengan serangan pasukan Sekutu di Surabaya. Beberapa perwira yang hadir; Sumatra diwakili Kolonel Muhammad Noeh, selain itu juga hadir Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam, Mangku Negoro, dan Paku Buwono XII. Hadir pula tokoh-tokoh mantan KNIL, seperti, Jatikusumo, Gatot Subroto (KNIL dan Peta), dan Suryadarma. (Tjokropranolo, 1992)
            Dalam rapat pendahuluan yang dipimpin Kepala Staf Umum TKR, Oerip Soemohardjo, menjelaskan tujuan konferensi bagi kepentingan kelembagaan TKR. Dalam hal ini juga dijelaskan ketertiban dan ketenteraman Negara RI atas keberadaan badan ketentaraan. Dimana saat itu NKRI baru memiliki Markas Tertinggi TKR dengan pimpinan Kepala Staf Umum dan belum memiliki Menteri Pertahanan serta belum memiliki Panglima Besar.
            Setelah mendapat pembahasan seperlunya, para peserta konferensi sepakat tentang perlu adanya seorang Kepala Tertinggi TKR (Panglima TKR). Untuk itu kemudian diadakan pembahasan dan pemilihan calon Kepala Tertinggi TKR.
            Dalam rapat selanjutnya yang dipimpin Holland Iskandar dengan agenda pemilihan calon  peminpin TKR telah diusulkan nama-nama antara lain : (1) Nazir, (2) Sri Sultan Hamengkubuwono IX, (3) Wijoyo Suryokusumo, (4) GPH. Purwonegoro, (5) Oerip Soemohardjo. (6) Soedirman, (7) Suryadarma, dan (8) M. Pardi (Disjarah TNI AD)
          Pemilihan dilakukan secara demokratis dengan cara mengangkat tangan satu persatu setelah nama calon disebutkan panitia rapat. Dalam pemilihan tahap terakhir diketahui perolehan suara, yakni : Soedirman memperoleh 22 suara dan Oerip Soemohardjo memperoleh 21 suara.                                                                              
          Dalam pemilihan itu, Soedirman mendapat tambahan suara dari Sumatra. Seorang utusan dari Sumatra Kolonel Muhammad  Noeh yang mewakili 6 Divisi menyatakan mendapat mandat dari para komandan divisi di Sumatra untuk menjatuhkan pilihan pada Soedirman.                                                                                    
          Dengan demikian Soedirman terpilih sebagai calon Panglima TKR yang selanjutnya kemudian disebut dengan Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Sedangkan Oerip Soemohardjo tetap menjadi Kepala Staf Umum, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX diusulkan menjadi Menteri Pertahanan.
          Setelah berakhirnya Konferensi TKR, para peserta kembali ke tempat masing-masing untuk melanjutkan koordinasi dengan anggota TKR di daerahnya. Perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan harus segera dilakukan. Begitu pula dengan Kolonel Soedirman segera meninggalkan Yogyakarta dan kembali ke Purwokerto.                                                                                                                                 
          Terpilihnya Kolonel Soedirman yang menjabat sebagai Komandan Divisi V yang membawahi daerah Kedu dan Banyumas secara aklamasi sebagai Panglima Besar TKR merupakan pemilihan Panglima TNI khas Indonesia, yang mencerminkan jiwa dan kepribadian Indonesia. (9)
        
          Saya tuliskan peristiwa pemilihan Panglima Besar dan peran bapak pada waktu itu dengan “mengutip utuh” dari beberapa buku yang kapabel karena semasa hidupnya ia tidak pernah bercerita dengan detail kepada siapapun (sanak famili atau teman) tentang peristiwa itu, hingga tidak ada tempat untuk saya bertanya dari pihak keluarga, melainkan berusaha menanyakan langsung pada orang-orang yang ikut hadir di konferensi TKR, diantaranya Pak Nas, dan buku-buku yang menuliskan peristiwa itu. Karenanya, keterangan dari Jenderal Besar TNI DR A.H. Nasution dan Letnan Jenderal TNI (Purn) Tjokropranolo (Komandan  Pasukan Pengawal Pak Dirman) sangat membantu saya memaknai bagaimana sebenarnya  proses pemilihan Panglima Besar itu berlangsung.
         Setelah mengikuti konperensi TKR di Yogyakarta, bapak  kembali ke Palembang, melaporkan segala sesuatunya kepada Dr. A.K. Gani  serta membawa surat dan pesan-pesan  dari Presiden Sukarno dan  Panglima Besar Jenderal Soedirman serta Kepala Staf Umum TKR Letnan Jenderal Oerip untuk Dr. A.K. Gani  selaku Koordinator/Oganisator Tentara di Sumatra.                                                                                                 
         Keterlambatan pemerintah membentuk organisasi tentara, berdampak BKR/TKR yang berada di daerah membentuk organisasi ketentaraan di daerah masing-masing. Mereka secara swadaya  membentuk tentara “lokal”, sekaligus menentukan      pangkat  dan jabatannya atas inisiatif masing-masing. Hal ini juga terjadi di Sumatra Selatan. Pada waktu bapak masih berada di Yogyakarta, mantan Opsir Gyugun Pangerang Emir Muhammad Noor, pada Oktober 1945, mengundang rapat Opsir-opsir Gyugun di Pagar Alam membentuk struktur tentara Komandemen Sumatra Selatan. Pada rapat itu ditetapkan Pangerang Emir Muhammad Noor sebagai Panglima Komandemen Sumatra Selatan dengan pangkat Jenderal Mayor, walaupun bapak tidak hadir di rapat tersebut,  bapak  ditetapkan oleh Pangeran Emir Muhammad Noor sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra Selatan dengan pangkat Kolonel. Bapak  tidak hadir di rapat tersebut karena sedang berada di  Yogyakarta bersama Harun Sohar untuk menghadiri Konggres Pemuda dan Konferensi TKR yang pertama. (12)                              
          Hal serupa terjadi di Sumatra Timur. Zulkarnain mengangkat dirinya sebagai pimpinan TKR disana dengan menyandang pangkat Jenderal Mayor. (13)                                           
         Kejadian seperti ini menjadi pekerjaan rumah bagi AK Gani, dan kemudian menjadi tugas yang berat bagi Staf Komandemen Sumatra dalam menertibkan kesatuan-kesatuan tentara yang terlanjur dibentuk di masing-masing daerah dikarenakan terlambatnya  pembentukkan organisasi tentara oleh pemerintah.                                                     
        Apa yang diprotes oleh peserta Konperensi Besar TKR yang pertama, mengenai 6 Divisi di Sumatra hingga Kolonel Muhammad Nuh punya hak 6 suara dalam pemilihan Panglima Besar, pada akhirnya terbukti. Pada tanggal 27 Desember 1945, Koordinator/Organisator Tentara Sumatra Dr. A.K Gani bersama Panglima Komandemen dan Kepala Staf, membentuk Komandemen Sumatra dengan struktur organisasi sebagai berikut:

Panglima Komandemen Sumatra       : Mayor Jenderal Soeharjo
Kepala Staf Komandemen Sumatra :  Kolonel Muhammad Nuh
Divisi I    :    Panglima Kolonel Simbolon. Sumsel – Lahat
Divisi II   :    Panglima Kolonel Hasan Kasim. Sumsel – Palembang
Divisi III :     Panglima Kolonel Dahlan Jambek. Sumatra Barat
Divisi IV  : Panglima Kolonel Achmad Tahir. Sumut – Medan
Divisi V   : Kolonel Samaun Gaharu. Aceh – Bireun
Divisi VI  : Kolonel Muhammad Din – Sibolga (14)

Pelantikan  Panglima Besar
         Pada tanggal 14 Nopember 1945, Kabinet Presidensiil diganti menjadi Kabinet Parlementer, Sutan Syahrir diangkat sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Dalam Negri dan Menteri Luar Negri.                                                                                                                
         Setelah ditetapkan sebagai Panglima Besar di Konferensi TKR pada 12 November 1945, Pak Dirman memimpin pasukan TKR menghadapi pasukan Sekutu/Belanda di Ambarawa. Pada 15 Desember 1945, pasukan Pak Dirman mendesak pasukan Sekutu/Belanda dari Ambarawa hingga mundur ke Semarang.   Kemenangan yang gemilang ini kemudian ditetapkan sebagai “Hari Infantri” – pada waktu Jenderal Ryamizard Ryakudu menjabat sebagai KSAD, hari ini diperingati sebagai “Hari Juang Kartika.”
         Adanya peristiwa diatas menyebabkan pelantikan Panglima Divisi V Banyumas Kolonel Sudirman sebagai Panglima Besar sesuai dengan hasil keputusan Konperensi TKR 12 Nopember 1945, baru dapat dilakukan pada 18 Desember 1945 di Markas Besar Tentara, Gondokusuman, Yogyakarta. Pelantikan dilakukan  oleh Presiden Sukarno dan dihadiri Wakil Presiden Muhammad Hatta serta Perdana Menteri Sutan Syahrir.
          Sebetulnya ketiga pemimpin tertinggi Republik Indonesia itu tidak mengenal Pak Dirman secara pribadi, tapi mereka menghormati keputusan yang dibuat dalam Konperensi TKR yang memilih Pak Dirman sebagai Panglima Besar. Sejarah membuktikan bahwa Tentara Nasional Indonesia membentuk dirinya sendiri, bukan dibentuk berdasarkan keputusan politik pemerintah. Inilah yang membedakan tentara Indonesia dengan tentara di negara lain. 

Pidato Presiden Sukarno pada pelantikan Pak Dirman sebagai Panglima Besar:
Saudara-saudara!
Saya sudah menerima laporan hasil Konperensi Besar TKR tanggal 12 Nopember yang lalu secara lengkap. Dan hari ini saya dengan rasa khidmat akan melantik saudara Soedirman menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat kita dengan pangkat Jenderal. Kewajiban seorang Panglima Besar bagi kita adalah berat sekali. Ia harus dapat mempersatukan semua kekuatan-kekuatan bersenjata menjadi satu kekuatan yang bulat dan efektif di bawah satu komando, kalau kita ingin mencapai hasil gemilang dalam menghadapi serangan-serangan dari luar dan dari dalam, jika sekiranya ada. Tetapi saya yakin, dengan bantuan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, saudara Soedirman akan berhasil menyempurnakan tentara kita sedikit demi sedikit. Dengan mengucapkan “Bismillah” maka saya lantik saudara Soedirman menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat. Semoga Tuhan memberkati kita semua.
         
         Pada  tanggal 25 Mei 1946, Presiden Sukarno melantik Jenderal Sudirman atas nama personalia Markas Besar Umum, personalia Kementrian Pertahanan bidang Militer, Komandan-komandan Divisi, Kepala-kepala Staf Divisi dan Komandan-komandan Brigade. Disini Panglima Besar Soedirman atas nama mereka yang dilantik mengucapkan sumpah “Anggota Pimpinan Tentara” di hadapan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia,  sebagai berikut:
Sumpah Pimpinan Tentara
         Atas nama Allah Yang Maha Murah lagi Maha Asih. Demi Allah. Kami Jenderal Soedirman, atas nama segenap anggota  Markas Besar Umum Tentara dan para Kepala Jawatan dan Bagian Tentara yang termasuk dalam Kementrian Pertahanan serta para Pemimpin Tentara dan Divisi seluruhnya bersumpah:

1. Sanggup mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus l945 sampai titik darah penghabisan.
2. Sanggup taat dan tunduk pada pemerintah Negara Republik Indonesia yang menjalankan kewajiban menurut Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan mempertahankan kemerdekaannya sebulat-bulatnya.


Yogyakarta, 25-5-l946
                                                                             
Panglima Besar Tentara

Soedirman

         Seusai mengucapkan Sumpah Anggota Pimpinan Tentara, para hadirin yang turut menyaksikan upacara pelantikan itu terpukau oleh pernyataan tersebut dan mereka menyambut dengan tepuk tangan yang riuh sekali, serta diikuti dengan pemberian selamat kepada Jenderal Soedirman. Sesudah pelantikan itu, Panglima Besar menyampaikan amanat yang pertama, yang antara lain menegaskan:

………Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan Negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup Tentara teguh memegang kewajibannya ini. Lagi pula, sebagai Tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tunduk kepada Pimpinan atasannya, dengan ikhlas mengerjakan segala yang diwajibkannya. Harus diingat pula, oleh karena Negara Indonesia tidak cukup dipertahankan oleh Tentara saja, maka perlu sekali mengadakan kerjasama seerat-eratnya dengan golongan serta badan-badan di luar Tentara. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapapun juga. Tunduk kepada perintah pimpinannya, inilah yang menjadi kekuatan suatu Tentara………….. (15)

         Dengan dilantiknya Pak Dirman sebagai Panglima Besar, maka TKR dan kesatuan-kesatuan bersenjata yang berjuang bersama, tidak lagi terombang-ambing dalam mentaati Komando. Sebelumnya memang serba kacau balau, karena setiap kesatuan/laskar bersenjata yang kuat merasa berhak pegang Komando tanpa mengindahkan perlu adanya kesatuan Komando. Pada waktu Pak Dirman terpilih menjadi Panglima Besar, tugas beliau berubah dari memimpin perang taktis menjadi pimpinan perang strategis dan diplomatis.                                                                   
         Selama menjadi Panglima Divisi V Banyumas, Pak Dirman menunjukan kemampuan yang cukup besar. Bagaimana Pak Dirman dapat melucuti persenjataan Tentara Jepang tampa menimbulkan korban, atau pada waktu Pak Dirman memimpin pertempuran di Ambarawa, yang  dikenal sebagai “Palagan Ambarawa”.                                                                                     
         Pak Dirman bertempur secara langsung di front. Sebagai Panglima Divisi maka tugas Pak Dirman adalah bagaimana memenangkan “pertempuran”, sedangkan sebagai Panglima Besar adalah strategis memenangkan “perang” sehingga Indonesia mencapai kemerdekaan sepenuhnya. Tugas ini dilaksanakan dengan paripurna oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Ketika tejadi agresi militer kedua pada 19 Desember 1948, Pak Dirman yang masih berbaring sakit karena operasi paru-paru, menepati janjinya, “mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah yang penghabisan dengan memimpin prajurit-prajuritnya dalam kancah perang gerilya, sementara Presiden, Wakil Presiden dan Suryadarma dari Angkatan Udara serta politisi sipil lainnya memilih menyerah dan di tawan oleh tentara Belanda.” 

CATATAN:
(1)  MEMENUHI PANGGILAN TUGAS
Kenangan Masa Girilya – Jilid 2
Oleh: DR. A.H. Nasution
Penerbit PT Gunung Agung. 1983.
(2)  Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman
Oleh: Sukamto SA
Penerbit: Pustaka Jaya
(3)  Surat Pembaca Majalah TEMPO
(4)  Surat  Jenderal DR A.H. Nasution untuk Noor Johan Nuh
(5)  Surat  Jenderal DR. A.H. Nasution untuk Drs. H. Iskandar Gani, untuk buku ini.
(6)  PANGLIMA BESAR TNI JENDERAL SOEDIRMAN
Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia – Kisah seorang Pengawal
Oleh: Letnan Jenderal (Purn) TNI AD Tjokropranolo
Penerbit: PT Surya Persindo
(7)  Pembicaraan penulis dengan Jenderal DR A.H. Nasution
(8)  PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN
Oleh: Letnan Jenderal (Purn) TNI AD Tjokropranolo
(9)  MENGIKUTI JEJAK PANGLIMA BESAR
JENDERAL SOEDIRMAN
PAHLAWAN PEMBELA KEMERDEKAAN 1916-1950
Oleh: Kepala Pusat Sejarah TNI Brigadir Jenderal TNI Agus Gunaedi Pribadi
Penerbit: Prenada Media Group – Jakarta
(10)                     PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN
Oleh: Letnan Jenderal (Purn) TNI AD Tjoropranolo
(11)                     Kenangan Tiga Puluh Tahun
       Komando Daerah Militer IV Sriwijaya
       Oleh: Sejarah Militer – Daerah Militer IV Sriwijaya
(12)                     PERANAN TNI ANGKATAN DARAT dalam PERANG KEMERDEKAAN
(Revolusi pisik 1945-1950)
Disusun oleh : Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat
BANDUNG – PUSSEMAD – 1965
Cetakan ke 1 – 1965.
(13)                     30 TAHUN INDONESIA MERDEKA
1945-1949
Hak Cipta: Sekretariat Negara Republik Indonesia
Diterbitkan oleh: Citra Lamtoro Gung Persada – Jakarta
(14)                     Kenangan Tiga Puluh Tahun
Komando Daerah Militer IV Sriwijaya
(15)                     PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN
        Oleh: Letnan Jenderal (Purn) TNI AD Tjokropranolo




Tidak ada komentar:

Posting Komentar