Jumat, 30 September 2011

KOLONEL MUHAMMAD NUH Penentu Kolonel Soedirman Menjadi Panglima Besar

SAMBUTAN :
LETJEN TNI (PURN) HIMAWAN SOETANTO, MM, M.HUM
ATAS PENERBITAN BUKU BIOGRAFI                              KOLONEL MUHAMMAD NUH

          Saya sangat berbangga hati atas upaya saudara Noor Johan Nuh dan  untuk menulis biografi ayahandanya Kolonel Muhammad Nuh yang diberi judul “6 Suara untuk Pak Dirman - KEPALA STAF KOMANDEMEN SUMATRA KOLONEL  MUHAMMAD NUH - Penentu Kolonel Soedirman Menjadi Panglima Besar”. Dengan terbitnya buku ini akan dapat menambah wawasan kita tentang masa-masa penting  Indonesia saat revolusi fisik, khususnya yang ada di daerah Komandemen Sumatra karena beliau pada masa itu menjabat sebagai Kepala Stafnya.
Upaya penulisan sejarah seperti yang dilakukan oleh Noor Johan Nuh patut kita hargai karena selain menambah perbendaharaan tentang pernak-pernik sejarah bangsa Indonesia, khususnya sejarah militer, yang terjadi di masa revolusi juga akan dapat menguak lebih jauh bagaimana tentera Indonesia memainkan peranan yang sangat penting dalam mempertahankan Republik Indonesia yang usianya masih muda belia. Selain itu, dalam keterbatasan SDM maupun alutsista yang dimilikinya, TKR/TNI terus berbenah atau mereformasi dirinya untuk meletakkan sendi dasar militer Indonesia yang otonom sebagai Tentara Rakyat, Tentara Revolusi dan Tentara Nasional. Dan yang tidak kalah pentingnya bagaimana militer pada waktu itu, dalam berbagai keterbatasan, kendala dan hambatan, “berdemokrasi” yang berjalan secara tertib, damai, dan penuh rasa e’sprit de corp dalam pemilihan Panglima Besar TKR/TNI yang kesemuanya itu menunjukkan usaha para pucuk pimpinan TKR/TNI untuk menegakkan otonomi militer dari kekuasaan “parpol/penguasa”.
Ada hal yang sangat menarik dari salah satu episode semasa beliau menjadi Kepala Staf Komandemen Sumatra, yaitu pada waktu pemilihan panglima besar berlangsung. Sebagai utusan dari Sumatra beliau memiliki enam suara yang harus diberikan pada saat pemilihan Panglima Besar. Amanah telah belau tunaikan dalam pemilihan itu, sehingga Kolonel Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar dengan perolehan 22 suara dibandingkan dengan Letjen Urip Sumoharjo yang mendapatkan 21 suara. Sejarah tidak mengenal “berandai-andai”, namun sebagai refleksi andai beliau abstain atau enam suara diberikan kepada pak Urip tentu (warna) sejarah (TNI) akan lain dan tidak seperti sekarang ini. Walau bagaimanapun Pak Dirman dan Pak Urip merupakan dwitunggal dalam perjalanan sejarah bangsa ini, khususnya sejarah TNI.
Yang tidak kalah pentingnya dari terbitnya buku ini adalah dapat dijadikan sebagai jembatan pewarisan nilai-nilai kepada generasi muda, khususnya generasi muda prajurit TNI. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, salah satunya direkatkan oleh (pengalaman) sejarah.  Allan Nevis, seorang sejarawan Amerika Serikat, mengatakan bahwa, “history is actually a bridge connecting the past with the present and pointing the road to the future.
 Pentingnya keakraban sejarah antar generasi juga diutarakan oleh Ortega Y. Gasset dalam bukunya The Revolt of The Masses, “Dampak dari kurang dikembangkannya dan dipublikasikannya informasi keakraban sejarah dan budaya masa lalu telah melahirkan generasi muda yang tidak memiliki standart nilai. Sehingga melahirkan onggokan massa barbar yang modern. Tingkah laku demikian akan dialami juga oleh kalangan inteligensianya bila tidak mendapatkan pemahaman sejarah dan budaya secara baik.
Dalam historiografi militer di Indonesia memang sudah banyak buku-buku yang menulis tokoh militer di Indonesia, namun sepertinya  memoar atau biografi  hanya dianggap sebagai “catatan kaki/footnote” dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, terutama sejarah militer. Padahal banyak sekali pelajaran (sejarah) yang dapat dipetik dari isi buku-buku itu, termasuk buku biografi Kolonel Muhammad Nuh ini. Apabila buku sejarah ini dibaca dan dipahami dengan baik, maka akan diperoleh (warisan) nilai-nilai keteguhan, kejuangan dan heroik dari perjuangan Kolonel Muhammad Nuh kepada generasi muda, termasuk generasi muda TNI pada masa sekarang ini. Selain itu dapat juga menumbuhkan dan mempererat jiwa korsa (e’sprit de corps), menumbuhkan rasa kebanggaan pada satuan dan untuk meningkatkan moril setiap prajurit dalam mengemban tugas sebagai bhayangkari negara.
Secara pribadi saya tidak mengenal Kolonel Muhammad Nuh namun “cerita” mengenai beliau sudah saya dengar sewaktu saya menjadi taruna MA Yogya dari ayahanda saya, Jenderal Mayor Muhammad. Beliau adalah rekan seangkatan ayah saya dalam perjuangan, terutama pada saat ayahanda Muhamad menjabat sebagai Komandan Komandemen Jawa Timur. Sosok beliau lebih saya kenal dan ketahui pada waktu saya menjabat sebagai Panglima Kodam IV/Sriwijaya (1971-1973) dimana beliau menjadi salah satu sesepuh Korp Sriwijaya dimana nama beliau selalu tertulis dalam buku-buku sejarah perjuangan  Kodam IV/Sriwijaya (sekarang Kodam II/ Sriwijaya).
           Semoga dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, kita sebagai generasi penerus bangsa senantiasa mendapat petunjuk, bimbingan dan kekuatan dalam mempersembahkan karya  terbaik kepada bangsa dan  negara yang kita cintai ini.


Jakarta, 30 Agustus  2010

TTHS.jpg
  
                                                       Himawan Soetanto, MM, M.Hum                                                                         
                                                           Letnan Jenderal TNI (Purn)