Selasa, 04 Oktober 2011

Bapakku


         Alhamdulillah saya diberi kesempatan hingga usia 17 tahun merasakan kehangatan hidup bersama bapak, di bandingkan Nabi Muhammad yang tidak mengenal bapaknya. Ingatan saya mulai terekam di usia sekitar tiga - empat tahun. Pada waktu itu kami tinggal di Jl. Telaga no. 1, Kambang Kecik, Palembang. Kegiatan di rumah dapat dikatakan cukup hiruk pikuk dengan banyak orang hilir mudik di rumah, sedang bapak jarang tampak, hanya sesekali pulang dan nampak agak bergegas pergi lagi. Kemudian baru saya tahu bahwa pada tahun 1957-1958 terjadi gerakan daerah dan bapak sebagai penasehat di Dewan Garuda.
         Setelah itu kami pindah ke Jakarta. Kegiatan bapak berubah, sering ke luar negri yang tentu menggembirakan buat saya karena mendapat oleh-oleh mainan setiap ia pulang.  Ternyata pada waktu itu  bersama Dr. A.K. Gani, Kolonel Abunjani dan Cikwan di tunjuk  sebagai ketua Gabungan Eksportir Karet (GEK), karenanya, bapak kerap ke Singapore berkenaan dengan jabatan itu. Hubungan yang sudah terbina dengan kologenya di Singapore dan Semenanjung Melayu sejak perang kemerdekaan, terjalin kembali berkenaan ekspor karet Indonesia ke Singapore.   
         Kegiatan di GEK terhenti ketika dikeluarkan keputusan politik oleh presiden Sukarno berkonfrontasi dengan Malaysia. Dampaknya, tidak ada lagi transaksi perdagangan antara Indonesia dan Malaysia (Singapore bagian dari Malaysia pada waktu itu). Presiden Sukarno menolak apa yang dikatakannya sebagai negara boneka Malaysia dan mengikrarkan perang melalui pernyataan yang kita kenal sebagai “Dwikora”. Memerangi negara “boneka” Malaysia, istilah presiden Sukarno. Sejatinya, apa yang dilakukan itu sudah melanggar telak-telak mukadimah Undang-undang Dasar 45 (UUD 45) yang menyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak setiap bangsa.” Keputusan politik presiden Sukarno membuat bapak kecewa. (baca surat kepada ketua Korps Sriwijaya) Ia teringat bagaimana orang-orang di Singapore dan di semenanjung Melayu ikut membantu perjuangan Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaan pasca proklamasi. Ini dialaminya  waktu mendapat penugasan dari Wakil Presiden dan Panglima Komandemen Sumatra Mayor Jenderal Soehardjo Hardjowardojo mencari senjata dan obat-obatan disana. Karenanya, bapak memiliki relasi yang cukup banyak di Singapore, termasuk dengan Tong Tjoe yang pada waktu revolusi mengurus pemasukan senjata dan obat-obatan milik Dr. A.K. Gani. Sejatinya jasa Tong Tjoe tidak bisa di abaikan dalam membantu perjuangan Tentara kita mempertahankan kemerdekaan.
         Selama menjalankan konfrontasi dengan Malaysia, setiap hari bapak membeli berbagai Koran dan membaca dengan simak semua koran itu.  Sebelumnya, pukul 06.00 mendengarkan siaran radio Australia,  pukul 07.00 siaran dari RRI dan mendengarkan siaran radio Malaysia jam 09.00. Pada waktu itu ada larangan mendengar siaran radio dari Malaysia hingga volume radio di kecilkan dan kuping didekatkan ke speker. Keadaan negara yang sedang berkonfrontasi dengan Malaysia diikuti perkembangannya setiap saat. Kadang-kadang dia menggumam emosi mengomentari politik konfrontasi yang dicanangkan oleh presiden Sukarno ini.                                                
        Sekolah Dasar saya di PSKD V jalan Bulungan. Naik kelas 5 terpaksa pindah ke sekolah negri karena  uang sekolah ikut naik. Tamat sekolah dasar, awal tahun 1965,  saya melanjutkan ke SMP XIII di jalan Tirtayasa. Dari rumah saya dan bapak jalan kaki ke SMP XIII untuk mendaftar. Bapak bertemu dengan guru dan bagian administrasi. Kepala sekolah Pak Kasim berasal dari Palembang kebetulan mengenal bapak. Pak Kasim mengajak bapak keruangannya dan berbicara cukup lama. Selesai urusan pendaftaran kami pulang, kembali berjalan kaki ke rumah. Tidak banyak yang kami bicarakan selama perjalanan pulang. Yang masih terngiang di kuping saya bapak mengatakan uang pangkal masuk SMP cukup mahal. Tahun depan adik saya Janah akan masuk SMP juga. Sedikit lirih bapak mengatakan bagaimana mempersiapkan uang pangkal untuk dia tahun depan.          
         1 Oktober 1965, malam hari telah terjadi  pemberontakan G30S/PKI dengan menculik dan membunuh 6 Jenderal dan 1 perwira Angkatang Darat. Tanggal 1 Oktober 1965 menjadi hari panjang penuh ketidak pastian dan sangat mencekam. Begitu juga di tempat tinggal kami, jalan Lamandau III no 5, Jakarta Selatan. Atas swadaya tetangga sekitar rumah, diadakan Jaga Ronda (Jagora – bukan Siskamling istilah yang di populerkan oleh Pak Domo saat ia menjabat Pangkopkamtib).                                                                           
         Jagora bertempat  di Restoran Mendawai, milik orang tua Ajie Notonegoro, bapak Jati Notonegoro. Jagora dilakukan sejak 1 Oktober 1965 hingga akhirnya menjadi kebiasaan  bagi para orang tua disekitar tempat tinggal untuk kongkow-kongkow selepas restoran Mendawai tutup. Seiring dengan suasana waktu itu, yang sedang ber Jagora - bercerita tentang perjuangannya pada masa revolusi.                                                                                          
         Dalam suasana yang mencekam setelah pemberontakan G30S/PKI, membuat beberapa  tetangga terbawa nostalgia pada suasana masa revolusi fisik 1945 dahulu. Orang Tua yang hadir saling bercerita nostalgia perjuangan mereka masing-masing di masa mempertahankan revolusi 45. Saya dan kawan-kawan sebaya juga ikut kumpul di meja lain hingga dapat mendengarkan kisah perjuangan mereka.                                                       
         Sebagai partisipasi, beberapa kali bapak  turut berkumpul ikut Jagoro, tapi, tidak sepatahpun bapak bercerita apa yang dialaminya pada masa mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Atau ikut nimbrung bercerita tentang perjuangannya pada masa lalu. Tentunya masing-masing orang tua menceritakan pengalaman perjuangan mereka. Om Jati Notonegoro (bapaknya Aji N) bercerita pengalamannya bertempur dengan pasukan Belanda pada waktu terjadi agresi militer Belanda. Pada satu malam pasukannya diserang tentara Belanda. Pasukannya terdesak karena mundur karena tentara Belanda lebih banyak.                                                                                         
         Pak Jati berlari mencari perlindungan ditengah malam gelap gulita, sampai ia masuk ke dalam satu lubang dan terus bersembunyi di lubang itu hingga pagi. Pada saat matahari mulai bersinar ia baru mengetahui bahwa lubang persembunyiannya adalah tanah yang di gali untuk kuburan. Kebetulan saat menceritakan peristiwa itu malam Jumat, kami (anak-anak) yang menguping terbawa suasana sedikit ketakutan dan berhamburan pulang ke rumah. Selain Pak Jati, bapak- bapak yang lain pun ikut berbagi cerita pengalamannya masing-masing pada masa revolusi dahulu.                                               
         Saya bayangkan, jika pada waktu itu bapak mengatakan seperti ini: “Pada waktu revolusi, saya kawannya Pak Dirman.” Mungkin sedikit reda para suara para pencerita yang heroik itu. Tapi bapak tidak pernah melakukan itu, dia sepertinya sangat asik mendengarkan cerita perjuangan para tetangga yang pada waktu itu ikut berjuang mempertahankan Proklamasi l945. Para tetangga baru mengetahui bahwa bapak adalah mantan tentara dengan pangkat kolonel, pada saat bapak meninggal. Om Darsono yang tinggal disebelah rumah berkata; “bapak kamu senior sekali.”
         Satu hari pada awal tahun 1967, datang surat dari Sekretariat MPRS berisi pengangkatan bapak sebagai anggota MPRS utusan Sumatra Selatan. Dalam surat itu  disebutkan bahwa M Nuh diminta datang ke Sekretariat MPRS sebagai proses administrasi berkenaan dengan pengangkatan tersebut.
         Penunjukan Muhammad Nuh sebagai anggota MPRS menjadi berita besar yang menggembirakan bagi keluarga tentunya. Saya pun yang belum sepenuhnya mengerti makna penunjukkan bapak sebagai anggota MPRS, terbawa dalam eforia kegembiraan. Pasalnya, selama ini saya mengamati bapak setiap hari hanya disibukan membaca koran dan mendengarkan radio serta berita di televisi. Diselingi kedatangan tamu-tamu yang kelak saya ketahui diantaranya adalah Alamsyah Ratu Perwira Negara, Asnawi Mangku Alam, Barlian, Hasan Kasim dll.                                                                                                                  
         Kurun waktu saat bapak ditempatkan di Yogyakarta, sebagai Perwira Penghubung Panglima Besar dengan Komandemen Sumatra (Maret 1947), hingga kembali ke Palembang setelah Perang Kemerdekaan. Adalah satu periode yang terungkap berdasarkan surat bapak yang ditujukan kepada ketua Korps Sriwijaya, atas fitnah yang ditujukan kepada dirinya, dengan mengatakan dia sebagai federalis. Fitnah ini beredar pada l967, pada saat bapak bersama Kolonel Barlian ditunjuk sebagai anggota MPRS dari Utusan Daerah Sumatra Selatan.
                  Jika surat ini tidak ada, maka riwayat  bapak pada masa itu tetap menjadi mesteri atau tidak akan terungkap. Sifatnya yang pendiam, lebih banyak mendengar, dan tidak banyak bercerita apa yang dialaminya pada waktu revolusi mempertahankan kemerdekaan, berakibat tidak ada yang mengetahui dengan pasti apa yang dilakukannya pada waktu itu.
         Ketika saya tanyakan riwayat bapak kepada salah seorang adiknya, paman Baharudin, dia menceritakan bahwa pada waktu mencari senjata di Singapore, bapak ditangkap di Medan, padahal dalam tulisan bapak, dia menceritakan dengan runtut dan jelas pada saat mendapat penugasan mencari senjata dan obat-obatan ke luar negri, termasuk ketika tertangkap di kota Dabo, pulau Singkep.
         Tiba satu hari yang mengelegar bagi saya sekeluarga, bapak meninggal di Bandung, Saptu 17 Oktober 1970, pukul 18.10. Malam itu juga jenazah di bawa ke Jakarta. Selama 2 minggu bapak di rawat di rumah sakit Hasan Sadikin, Bandung. Pada waktu akan berangkat ke Bandung, saya mengantar hingga bapak masuk ke dalam mobil milik kakak ipar saya, Muhctar Roeskan. Bapak duduk dibangku belakang sebelah kiri. Dia memandang saya dengan raut beribu makna. Tidak senyum. Tidak berucap sepatahpun. Hanya memandang. Raut wajah pandangan itu masih melekat hingga kini. Ternyata itu pandangan perpisahan untuk selama-lamanya.                                                                                                                         
         Di rumah jalan Lamandau III no 5, telah berkumpul para tetangga ikut membantu mempersiapkan segala sesuatunya berkenaan dengan kedatangan jenazah dan pemakaman keesokan harinya.   Telah datang juga   keluarga dari Palembang serta kawan-kawan bapak diantaranya ex Kolonel Barlian, Mayor Jenderal Harun Sohar, Makmun Murod (waktu itu Mayor Jenderal – Pang Kostrad), Letnan Jenderal Alamsyah Ratu Perwiranegara (Sekneg) dan banyak lagi.                   
         Mereka berembuk untuk mengusahakan agar bapak dapat  di makamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tentunya akan mengalami kendala karena secara “administrasi kepahlawanan” tidak memenuhi syarat karena bapak  tidak memiliki hak pensiun sebagai Kolonel TNI dan tidak memiliki Bintang Gerilya.   

         Dalam suasana keheningan duka, terdengar ucapan  dari sahabat bapak, ex Kolonel Barlian kepada Alamsyah – “Kita sama-sama tahu perjuangan Kak Nuh, dengan posisi kau sekarang ini paling dekat dengan pemerintahan sekarang, tentu dapat menjelaskan siapa Kak Nuh. Usahakan Kak Nuh dikuburkan di Kalibata. Ini usaha kita terakhir  untuk menghargai jasa-jasa Kak Nuh.” Pada waktu itu Alamsyah menjabat sebagai Sekretaris Negara, beliau menjadi salah seorang kepercayaan Presiden Soeharto pasca pemberontakan G30S/PKI tahun 1965.                                                                            
          Malam itu juga Alamsyah menyampaikan kepada Ibu bahwa bapak dapat di makamkan di Kalibata. Keluarga tentunya menghargai usaha dari kawan-kawan bapak, tapi sebelum menghembuskan nafas terakhir bapak telah berpesan untuk di makamkan di pemakaman umum.  
         Pada saat itu para tetangga yang secara spontan berdatangan ke rumah, dan baru mengetahui bahwa bapak adalah mantan tentara dengan pangkat kolonel  pada waktu revolusi 45.
         18 Oktober 1970, jenazah bapak di kebumikan di pemakaman umum blok P, Kebayoran Baru. Hadir dipemakaman, selain Alamsyah Ratuperwiranegara, Gubernur Sumsel Asnawi Mangkualam, Makmun Murod, Barlian, Harun Sohar dan kawan-kawan seperjuangan yang tidak saya kenal namanya satu persatu.
         Saat tulisan ini diselesaikan, bibinda Zawiyah telah berusia 84 tahun. Dalam usia yang sudah dikatakan uzur, bibinda masih bisa menceritakan peristiwa yang dialaminya masa lalu dengan runtut dan jelas, walau hanya sebagian saja dari riwayat bapak, setidaknya peristiwa dimana ia hadir bersama bapak. Kedekatan secara biologis maupun emosional dengan kakaknya Muhammad Nuh, yang biasa dipanggil  di dalam kalangan keluarga “Berok” sangat lekat.                                                                                    
         Mungkin karena bapaknya (kakek saya) kurang memberi perhatian yang memadai dikarenakan kesibukannya mengurusi istri-istrinya yang lain. Yang juga memberi atensi pada bibinda Zawiyah adalah neneknya. Nenek lelaki yang biasa disebut Nek Lanang dan istrinya Nek Betine.
         Bibinda Zawiyah menceritakan masa kecil kakaknya M Nuh  hingga di panggil Berok. Karena tubuhnya yang gemuk mirip semacam buah berok, buah di dusun Merapi yang hampir mirip dengan Semangka.                                                                                          
         Selisih umur mereka sekitar 10 tahun, jadi dia mulai mengenal saat berok sudah bersekolah di Lahat, lalu melanjutkan ke MULO di Palembang. Setamat dari MULO, Pangerang Bachtiar yang sedang menjabat sebagai Pasirah (kepala Marga) Merapi, berkehendak M Nuh yang menggantikan kedudukannya karena dia sudah ingin pensiun

        Ketika saya tanyakan mengapa jabatan itu tidak diteruskan ke anaknya, bibinda mengatakan, bapaknya sibuk mengurusi istri-istrinya dan berjudi ke pelosok seantero Lahat. Karenanya, Pangeran Bachtiar menghendaki cucunya Muhammad Nuh, untuk maju dalam  PilPas (Pemilihan Pasirah) walau harus bersaing dengan Bapaknya sendiri yang juga berambisi untuk menjadi Pesirah.                                             
        Rupanya, sistem demokrasi dengan melibatkan penduduk untuk memilih pemimpinnya sudah berlaku sejak masa pra kemerdekaan.





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar