Selasa, 04 Oktober 2011

Anggota DPR RIS

         Sejak meninggalkan Bukittinggi pada akhir tahun 1947, atas perintah Bung Hatta dan Panglima Komandemen Sumatra Jenderal Mayor Soehardjo Hardjowardojo untuk mencari senjata dan obat-obatan di luar negri, bapak kembali ke Palembang sekitar bulan September  1949. Setelah perjanjian Roum-Royen pada akhir Mei 1949, Gubernur Militer Sumatra Selatan Dr. A.K. Gani dan Letnan Jenderal Soehardjo yang telah bertugas di Yogyakarta sebagai Inspektur Jenderal TNI, telah menitip pesan kepada diplomat kita yang ke luar negri supaya bapak segera pulang. Bapak berusaha mecari ongkos pulang, akhirnya teman bapak di Singapore bernama  Noordin memberikan beberapa ratus dolar untuk ongkos kembali ke Palembang. Hubungan dengan Noordin yang biasa saya panggil Om Nurdin terus berlanjut hingga saya mengenalnya, dan saya pun berteman akrab dengan anaknya.

Waktu itu di Palembang Hasan Kasim yang mengepalai perwakilan RI dan mengurus keuangan TNI. Pangkatnya Mayor, setelah tadinya menjadi Kolonel bersama bapak di awal pembentukan tentara di Sumatra. Mengutip surat Mayor Jenderal Polisi (Purn) A Bastari yang mengatakan; Pangkatnya sebagai Gyugun waktu Jepang kalau tidak salah sampai Syoi - Mayor, sedangkan didalam Tentara Republik  Indonesia pangkat yang dicapainya tertinggi waktu ialah Kolonel, yang kemudian harus diturunkan semuanya menjadi paling tinggi Mayor. Mungkin oleh sebab itulah beliau merasa tersinggung, karena sifat perjuangannya dirasakan kurang mendapat penghargaan dari Pemerintah Pusat.
         Dapat saya pastikan, mundurnya bapak dari dinas militer bukan karena pertimbangan pangkat atau jabatan. Setidaknya ada tiga alasan yang dapat saya kemukakan: Pertama, bapak tidak pernah peduli pada pangkat, terbukti Bapak tidak pernah dan tidak terniat sedikitpun untuk   mengurus hak pensiunnya sebagai Kolonel TNI. Bapak pernah mengatakan bahwa nilai perjuangan harus dilandasi keikhlasan tampa pamrih. Jika berjuang dengan imbalan maka itu berarti kerja, maka esensi perjuangan menjadi tidak bermakna. Kedua, jika jabatan yang menjadi tolok ukur maka bapak tidak akan menolak pengangkatannya sebagai anggota MPRS hanya karena isu yang mengatakan ia federalis. Isu itu tidak menggugurkan penunjukannya sebagai anggota MPRS. Ketiga, sesuai dengan tulisan biografi Asnawi Mangkualam, bahwa  ia terpilih menjadi Gubernur Sumatra Selatan karena peran bapak meyakinkan tokoh-tokoh Corps Sriwijaya untuk bulat satu suara mengajukan Asnawi kepada KSAD sebagai calon AD pada pemilihan gubernur Sumsel.                                                                                   
        Setelah Asnawi terpilih bapak tidak pernah mendekat berkaitan dengan materi. Menurut Sekretaris Gubernur ex Kapten Sanaf, beberapa kali bapak sedikit emosi atas kerja Asnawi yang kurang patut. Pak Sanaf sendiri dilingkupi tanda tanya mengapa bapak tidak meminta imbal jasa atas perannya hingga Asnawi terpilih menjadi Gubernur.

Pada waktu itu di Palembang (akhir 1949) ada orang-orang Negara Sumatra Selatan dan orang-orang Republik. Akan tetapi pergaulan sosial tidak tersekat-sekat karena pengaruh adat dan kekeluargaan. Saddak, anggota DPR dari Negara Sumatra Selatan mengatakan, jika perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) di tanda tangani akan di pilih empat orang menjadi anggota DPR RIS, hendaknya dari orang Republik,  bapak, Kyai Achmad Azharie dan Hasan termasuk yang di calonkan dari DPR Negara Sumatra Selatan untuk menjadi anggota Parlemen RIS.                                                         
         Bapak minta waktu untuk memberi jawaban karena harus berkonsultasi dulu dengan Hasan Kasim, sebagai pajabat Republik tertinggi yang ada di kota Palembang. Setelah diceritakan, Hasan Kasim Kasim pun menyetujui, dan bapak memberitahukan Saddak bahwa ia bersedia. Selain berkonsultasi dengan Mayor Hasan Kasim, bapak mengirim surat mundur dari ketentaraan kepada mantan Panglima Komandemen Sumatra, Letnan Jenderal Soehardjo Hardjowarjo yang menjabat sebagai Iinspektur Jenderal Angkatan Darat di Yogyakarta. Di surat itupun bapak melaporkan berkenaan dengan penugasan mencari senjata ke luar negri.
         Sebagai anggota DPR RIS bapak pindah ke Jakarta dan mendapat rumah di jalan Lamandau III no. 5 Blok C, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tinggal juga di jalan itu, tepatnya jalan Lamandau III no 7,  anggota DPR dari Negara Indonesia Timur Ida Bagus Manuabe dan yang kemudian bersama Manai Sophian bergabung dengan Fraksi PNI. Ida Bagus Manuabe tercatat sebagai anggota Parleman yang paling lama, sejak dari tahun 1950 hingga pensiun pada tahun 1978. Selama 38 tahun Ida Bagus Manuabe menjadi anggota Parlemen. Di kiri rumah, jalan Lamandau III no 3, tinggal Andi Gappa dari Fraksi Masyumi. Andi Gappa adalah kakak Jenderal M. Jusuf. Dan diseberang ujung jalan Lamandau III tinggal Ali Bachmit dari Partai Arab. Sayang setelah terbentuk Parlemen RIS dengan sebagian besar anggotanya orang Republik atau yang pro Republik, timbul perjuangan egoisme kepartaian yang sangat sengit, hingga terjadi apa yang dinamakan peristiwa 17 Oktober 1952, dimana tentara menuntut Parlemen di bubarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar