Selasa, 04 Oktober 2011

Brigjen TNI AD (Purn) Sainan Sagiman

         Memenuhi undangan Pak Sainan Sagiman yang simpatik, saya bersama seorang sahabat, Teguh Esha dan Arifin Nasution menyambangi rumah beliau di jalan Tirtayasa Raya no 51, Blok M, Jakarta Selatan.                       
         Kalimat pertama setelah saya mengucapkan salam, Pak Sainan serta merta berucap; “Mengapa ananda tidak pernah datang ke Palembang pada waktu om  Gubernur?” Ungkapan spontanitas yang simpatik dan terlihat tulus dari mimik muka beliau. Spontan pula saya menjawab; “Apapun yang terjadi pasti atas kehendak Allah, termasuk pertemuan dengan Bapak pada hari ini. Yang pasti saya bersyukur dan terimakasih atas kesediaan Pak Sainan mengundang saya ke rumah bapak”.   
         Beberapa jenak kemudian hadir Ibu Sainan Sagiman di ruang tamu, saya menyalaminya dan Bu Sainan berucap; “Kaba anak Ka Nuh, paca ige bibi nge die, aku mantau die ‘brok’.” (Kau anak Kak Nuh, saya kenal sekali dengan beliau, saya  menyapa beliau brok – panggilan dari orang-orang yang sangat dekat dengan bapak ) Ternyata Ibu Sainan berasal dari Bandar Agung, tidak jauh dari Kecamatan Merapi, sama-sama dari Kabupaten Lahat.                                           
         Setelah berbasa basi layaknya orang bertamu, dikesempatan itu saya menanyakan kepada Bapak Sainan Sagiman tentang apa yang beliau ketahui mengenai  ayahanda almarhum Muhammad Nuh. Ini petikan pembicaraan saya dan Pak Sainan Sagiman:

Noor Johan Nuh (NJN): Seberapa jauh Bapak mengenal ayah saya almarhum Muhammad Nuh?

Sainan Sagiman (SS): Seperti sudah saya tuliskan dalam surat untuk ananda, tidak banyak yang saya  ketahui tentang perjuangan almarhum Kolonel Muhammad Nuh. Saya waktu itu hanya sebagai Letnan I, sebagai Wakil Kepala Bagian Pertahanan Daerah Sumatera Selatan, istilahnya Intelijen lah. Komandannya pada waktu itu Kapten Arsyad Astrayuda. Sedang ayah ananda almarhum berpangkat Kolonel. Untuk melakukan pembicaraan dengan beliau, dalam herarki kedinasan tentara tentu sangat jauh.

NJN: Kapan bapak mengenal almarhum?

SS: Tahun 1947, setelah pertempuran 5 hari 5 malam di kota Palembang. Jika ananda tanyakan apa saya mengenal almarhum, tentu kenal. Tapi bukan dalam arti kenal sebagai rekan sejawat yang bisa berdialog setiap saat, seperti sudah saya katakan tadi, saya Letnan I, sedang beliau Kolonel. Beda hirarki kepangkatan kami sangat jauh.

NJN: Kapan tepatnya Bapak bertemu dengan almarhum ?

SS: Seingat saya, pertama melihat  almarhum di rumah Dr. AK Gani, di jalan Kepandean. Waktu itu kalau tidak salah almarhum menjabat sebagai Panglima Divisi VIII Garuda, yang teritorialnya meliputi Lampung, Sumsel, Bengkulu, Jambi dan Bangka Belitung. Dapat dikatakan sama dengan teritorial Kodam II Sriwijaya sekarang ini. Sebelumnya, almarhum menjabat sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatera. Yang ada didalam rumah jalan Kepandean selain Dr. AK Gani, adalah Kolonel Simbolon, Kolonel Hasan Kasim, dan beberapa orang lagi saya sudah lupa, kami hanya berada diluar pagar. (Pak Sainan tertawa)

NJN: Bapak punya kesan pada almarhum ?

SS: Jika dikatakan kesan secara langsung, dalam arti berhubungan dengan almarhum, terus terang tidak ada, karena saya tidak pernah satu kesatuaan atau menjadi bawahannya langsung. Tetapi, adahal yang menarik dari almarhum yang kalau ini dapat dikatakan kesan; Pertama, saya menggantikan Asnawi Mangkualam sebagai gubernur Sumatera Selatan. Sebagai militer sekaligus anggota Corps Sriwijaya, saya mengetahui bagaimana peran almarhum meyakinkan sesepuh Corps Sriwijaya seperti Mayjen Harun Sohar, Mayjen Ryacudu, Brigjen Alamsyah, Kolonel Barlian dan sesepuh Corps Sriwijaya lainnya, untuk hanya mengajukan nama Asnawi Mangkualam kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD)  sebagai calon gubernur Sumatera Selatan. Dengan restu KASAD, Asnawi Mangkualam menjadi calon tunggal dari Angkatan Darat untuk pemilihan gubernur Sumatera Selatan dan akhirnya dia terpilih menjadi gubernur. Yang ingin saya katakan bahwa pengaruh almarhum terhadap senior tentara dari Sumatera Selatan sangat besar, walaupun secara formal almarhum tidak lagi aktif sebagai tentara.                                                                                                                            
Kedua, sebagai gubernur, saya yang memprakasai sekaligus ketua pembangunan Monumen Perjuangan Rakyat (Mompera) Sumatera  Selatan. Di museum itu bisa dilihat sejarah perjuangan dari para pejuang  Sumatera  Selatan seperti Dr. AK Gani, Barlian, Dani Efendi, Bambang Utoyo dan lain lain. Tapi tidak ada sepotongpun riwayat perjuangan Kolonel Muhammad Nuh ada di museum itu. Karenanya, jika ananda dapat melacak jejak perjuangan almarhum, saya harapkan kesedian ananda untuk menyumbangkan data perjuangan almarhum ke Mompera. Karena jelas almarhum tercatat dalam fakta sejarah sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatera, Panglima Divisi VIII Garuda, ringkasnya, almarhum memiliki andil dalam pembentukan Kodam Sriwijaya.                                         
Pada waktu itu saya telah memerintahkan pejabat yang menangani pembangunan Mompera untuk mencari ahli waris Kolonel Muhammad Nuh dan saya tidak mengerti alasannya sampai tidak ketemu. Itulah sebabnya mengapa ketika kita bertemu tadi,  secara spontan saya mengatakan; mengapa waktu saya menjadi Gubernur ananda tidak pernah ke Palembang. 

NJN: Saya kira Bapak hanya berbasa basi. Adahal lain yang bisa Bapak berikan berkenaan dengan pelacakkan saya menelusuri riwayat almarhum bapak ?

SS: Saya sarankan ananda menemui Kolonel Simbolon, mungkin beliau banyak tahu tentang perjuangan almarhum karena mereka selevel, yang lain seperti Hasan Kasim, Dr. AK Gani, Bambang Utoyo, Barlian,  sudah tidak ada. Jika kami-kami ini – katakanlah kroco pada awal revolusi – paling-paling hanya tahu sebatas nama almarhum saja. Sampaikan salam saya kepada Ibu ananda dan menantu almarhum, Akib Renatin. Dia murid saya di SESKOAD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar