Selasa, 04 Oktober 2011

Opsir Penghubung Panglima Besar dengan Panglima Komandemen Sumatra


         Pada bulan Mei 1947 bapak ditugaskan di Yogyakarta sebagai Opsir Penghubung Panglima Besar dengan Panglima Komandemen Sumatra, yang berarti dalam penugasan ini bapak dapat langsung berhubungan dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Dua tahun sebelumnya, bapak telah mengenal Pak Dirman, pada saat diadakan Konferensi TKR yang pertama di Yogyakarta. Sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra dan satu-satu wakil tentara dari Sumatra pada waktu pemilihan Panglima Besar, Kolonel Muhammad Nuh memberikan 6 suara untuk Pak Dirman hingga beliau terpilih sebagai Panglima Besar.                                                                   
         Dalam periode penugasan bapak di Yogyakarta agak sulit bagi saya menelusurinya. Selain dari Pak Nas yang menyebutkan bapak sebagai staf Pak Dirman, saya menemui Kolonel Zulkifli Lubis yang pada waktu itu sebagai kepala Inteligen MBT. Hanya sedikit keterangan yang saya dapatkan pada periode ini. Pak Lubis mengatakan bahwa mereka sama-sama tinggal di Hotel Merdeka, Yogyakarta. Karena tidak ada penugasan yang sama, maka ia tidak mengetahui detil peran bapak selama bertugas di Yogyakarta. Mengenai wawancara saya dengan Pak Lubis, di tulis dalam bab tersendiri.
         Di majalah Sarinah 19 Agustus 1985, ex Mayor A. Munir, pernah menjabat sebagai Kepala Sekretariat Komandemen Sumatra menuliskan dengan judul: “PETUALANGAN TUAN PATNAIK – Menerbangkan dengan Selamat Panglima Komandemen Sumatra dan Staf dari Yogyakarta ke Bukittinggi pada Hari Pertama Agressi Belanda Kesatu Tanggal 21 Juli 1947.                                                      

Tulisan ex Mayor Munir pada saat mengikuti Panglima Komandemen Sumatra bersama bapak sebagai Opsir Penghubung, menghadap Panglima Besar Jenderal Soedirman di Yogyakarta.  (Majalah Sarinah 19 Agustus 1985)                                                                          
                           
Tepatnya tanggal keberangkatan kami itu tidak ingat lagi, tetapi kira-kira seminggu sebelum Belanda melancarkan agressinya yang pertama, dengan lain perkataan di tengah-tengah suasana kemacetan perundingan Indonesia – Belanda sesudah penandatanganan naskah Linggarjati. Kami yang berangkat dari Markas Komandemen Sumatra di Bukittinggi adalah Letnan Jenderal Suhardjo Harjo Wardoyo, Kolonel M. Dahlan Jambek, Letnan Kolonel Mr. Marah Nazaroeddin dan Mayor Abdul Munir. Tujuan dan maksud keberangkatan resminya melapor kepada Presiden/Panglima Tertinggi di Yogyakarta, sebab Letjen Suhardjo semenjak diangkat dan ditunjuk sebagai Panglima Komandemen TNI Sumatra belum pernah melapor kepada Presiden/ Panglima Tertinggi, Sekarang kesempatan itu baru ada, yaitu ada pesawat udara Dakota yang akan berangkat dari Bukittinggi ke Yogyakarta. Pesawat itu kepunyaan tuan Patnaik, seorang usahawan berkebangsaan India, yang telah banyak berjasa pada RI dan sering mengangkut pejabat-pejabat tinggi RI dari Yogyakarta ke Bukittinggi, juga sebaliknya. Dia baru saja mengangkut sisa rombongan Wakil Presiden Hatta dari Yogyakarta ke Bukittinggi dan akan kembali lagi ke Yogyakarta. (Patnaik dengan Dakotanya yang membawa Bung Hatta ke India untuk bertemu dengan Mahatma Gandhi dan Nehru di penghujung tahun 1947-penulis) Kesempatan itu dipergunakan oleh Panglima Suhardjo. Penerbangan ke Yogyakarta berlalu dengan selamat tampa gangguan atau kejadian apa-apa. Di Yogyakarta bergabung dalam rombongan Panglima Komandemen Sumatra, Kolonel Muhammad Nuh selaku Perwira Penghubung Komandemen Sumatra dengan Panglima Besar. Kami diinapkan di Hotel Merdeka. Pada hari pertama Presiden Soekarno berkenan menerima audiensi kami dan pada malamnya Presiden mengundang kami untuk makan malam bersama, juga diundang tuan Patnaik sebagai tamu Presiden. Waktu jamuaan makan malam itu berlangsung masuk seorang kurir yang membawa kawat dari Dr. A.K. Gani, Wakil Perdana Menteri yang waktu itu berada di Jakarta. Kawat itu berisi laporan bahwa perundingan Indonesia – Belanda menemui jalan buntu (deadlock). Keesokan harinya diadakan pertemuan dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman dan anggota Staf Markas Besar Tentara. Panglima Besar membentangkan situasi antara Angkatan Perang kita dan Belanda dan memberi petunjuk serta pengarahan seperlunya. Kemudian rombongan juga menghadap kepada Kepala Staf Umum TRI Letnan Jenderal Urip Sumohardjo di rumahnya, yang diterima di ruang perpustakaannya yang penuh dengan buku-buku kemiliteran, sebagian besar berbahasa Belanda…

Pada tahun 1967, Kolonel Barlian dan bapak ditetapkan  sebagai anggota MPRS mewakili Utusan Daerah Sumatra Selatan. Ternyata ada orang yang tidak senang dengan pengangkatan bapak sebagai anggota MPRS, dan menyebar isu bahwa pada saat bapak di perintahkan Bung Hatta dan Panglima Komanden Sumatra mencari senjata dan obat-obatan di luar negri, dikatakan “bapak federal” dan pernah  bekerja dengan Belanda. Beredarnya isu itu karena bapak mendukung Asnawi Mangkualam yang berasal dari Komering dalam pemilihan gubernur Sumsel, yang berarti tidak mendukung calon dari daerah bapak sendiri (Lahat). Isu itu sangat mengiris perasaan bapak dan langsung memutuskan “menolak pengangkatannya sebagai anggota MPRS” dan mengirim surat kepada ketua Corps Sriwijaya – menjelaskan dengan detil prihal penugasannya ke luar negri – jika patriotismenya sebagai pejuang diragukan – ia minta dipecat sebagai anggota Kehormatan Corps Sriwijaya.                    
         Apa yang dituliskan bapak untuk ketua Corps Sriwijaya adalah satu-satunya riwayat perjuangan yang otentik ditulis oleh bapak sendiri. Jika surat ini tidak ada, maka riwayat bapak sebagai Opsir Penghubung Panglima Besar dengan Komandemen Sumatra sampai dengan menjelang penyerahan kedaulatan, dapat dipastikan akan sulit melacaknya. Saya kutip riwayat bapak mulai dari penghujung tahun 1947 sampai November 1949 yang termaktup dalam suratnya kepada ketua Corps Sriwijaya berikut ini. 













Surat Kolonel Muhammad Nuh kepada Ketua Corps Sriwijaya

Ini satu-satunya penggalan episode sejarah bapak yang ditulis oleh bapak sendiri. Sebagai klarifikasi atas fitnah yang mengatakan bapak federalis. Ditulis ulang dengan Ejaan Yang Disempurnakan - EYD

Ketua Corps Sriwidjaya di Palembang
dan Ketua cabang Corps Sriwijaja
di Jakarta

Dengan segala hormat
 
      Pada beberapa waktu yang lalu, waktu diadakan penunjukan anggota MPRS oleh daerah nama saya dibawa-bawa secara tidak wajar.
        Di desas-desuskan bahwa saya federalis, bahwa perjuangan saya mempunjai bagian gelap.
        Sebagai anggota Dewan Kehormatan Corps Sriwijaya dengan sendirinya perjuangan saya tidak boleh disangsikan. Maka jika ada kesangsian ataupun keraguan atas perjuangan saya dengan sendirinya Corps harus memperhatikan dan menyelidiki kebenarannya.
        Bilamana memang terdapat dalam perjuangan saya sesuatu yang tidak memenuhi syarat “patriotisme,” maka segera saja diberhentikan dari keanggotaan Dewan Kehormatan Corps Sriwijaja.
         Maka dengan tujuan inilah saya menyerahkan risalah pengalaman saya sejak meninggalkan Yogjakarta pada akhir 1947 sampai dengan awal 1950.     
         Tidak saya singgung periode sebelum itu, karena pengalaman saya mulai zaman Jepang sampai akhir 1947 saya jalani bersama kawan-kawan yang ada di Corps ini.
          Saya ceritakan pengalaman saya ini secara in extensor agar lebih mudah dinilai dan lebih mudah di cek.
            Apabila setelah memeriksa dan mengecek cerita ini Corps berpendapat saya ini bukan patriot dan bukan pejuang kemerdekaan maka silahkan keluarkan saya dari Corps.                                                                                      
           Maka apabila sebaliknya corps berpendapat bahwa perjuangan saya memenuhi syarat sebagai prajurit dan sebagai patriot, saya minta supaya hal ini dinyatakan dengan tegas oleh Corps.

Sekian adanya.

Jakarta, 13 Februari 1967                                                                                       

Muhammad Nuh  
 


        Di ujung tahun 1947, sebagai Opsir Penghubung Komandemen Sumatra pada Markas Besar Tentara (MBT) di Yogjakarta, saya ditugaskan berangkat ke Sumatra membawa perintah dan penjelasan dari MBT kepada   Komandemen serta pesan pesan pribadi dari Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Kepala Staf Jenderal Oerip Sumohardjo untuk Panglima Komandemen Sumatra Jenderal Suhardjo Hardjowardojo.
          Kapal terbang (Dakota) berangkat lewat tengah malam dari lapangan terbang Maguwo menuju selatan, sampai jauh diatas lautan Hindia, sesudah itu menuju Sumatra menghindari Jawa Barat, sampai di Sumatra terbang menyusur Bukit Barisan pada sebelah Timurnya menuju Bukit Tinggi. Pada pukul 6 pagi pesawat mendarat di lapangan terbang Gadog, Bukit Tinggi.
        Di pesawat ada bermacam macam rombongan dari pemerintah pusat Yogya yang ke Bukit Tinggi. Antara lain rombongan Kementrian Keuangan, rombongan Kementrian Kesehatan diketuai oleh Dokter Wirasmo, ada lagi rombongan AURI yang diketuai Kolonel Halim Perdana Kusuma dan Mayoor Iswahyudi.
         Selesai menjalankan tugas saya minta izin dari Panglima Sumatra untuk meninjau Sumatra Selatan sambil melihat keluarga saya yang sekarang telah meninggalkan kampung halaman dan berada dalam pengungsian di-dusun Pandan Arang didekat Pagar Alam, yaitu kampung halaman Pak Residen A Wani.
         Saya bertemu dengan kebanyakan kawan kawan di Lubuk Lingau dan Pagar Alam. Keluarga saya didapati dalam keadaan sehat dan baik, yaitu sebaik baiknya orang dalam pengungsian. Keluarga Pak Wani memberikan bantuan yang sebaik-baiknya.
         Nenek saya, almarhum Pangeran Bachtiar yang waktu itu berumur sudah hampir 75 tahun ikut mengungsi. Ia menceritakan kepada saya bahwa pada permulaan Agustus 1947 setelah kira-kira dua minggu bersama keluarga meninggalkan kampung halaman, datang di Merapi, yaitu kampung saya, kepala Pemerintah Nederlands Indie untuk Palembang, yaitu Meester Hendrik Johannes Wijnmaalen, pada tahun 1934 sampai 1937 mendjadi Controleur di Lahat, yang dengan sendirinya dikenal dengan baik oleh nenek saya dan saya sendiri. Mr. Wijnmaalen menemui rumah kita tidak berisi manusia, lalu ia mengumpulkan orang orang kampung dan sanak keluarga saya.                                                                                                                
         Wijnmaalen minta disampaikan kepada nenek saya supaya lekas kembali ke kampung, karena beliau sudah tua. Malahan bagusnya beliau tinggal dikota yaitu di Palembang atau Lahat untuk bisa dirawat oleh dokter.                                    
         Biar Muhammad Nuh yang menjadi Kolonel TNI, tetapi beliau dan anak cucunya (dus anak istri saya dan adik adik saya, yang semuanya TNI) boleh tinggal dengan bebas dimana saja dia maui, baik di Merapi ataupun di kota. Datang utusan dari kampung ke Pandan Arang menyampaikan pesan ini. Oleh nenek saya dijawab dengan pendek, terimakasih, tetapi beliau akan tetap tinggal di daerah Republik.
         Dikatakan oleh nenek saya pada waktu kedatangan saya itu: “Mereka sebetulnya menghendaki Kau, bukan dengan saya, apalah gunanya saya ini, telah tua, telah tidak aktif  lagi. Tetapi saya tolak semua hubungan dengan mereka.”
         Setelah beberapa minggu dalam perjalanan ke Selatan itu saya tiba kembal di Bukit Tinggi dan saya menunggu kapal terbang untuk kembali ke Yogyakarta. Beberapa lama menunggu kapal terbang tidak kunjung tiba, sedang Kolonel Halim Perdanakusuma pun tidak dapat memberikan suatu keterangan yang pasti.
         Waktu itu ada di Bukit Tinggi seorang dokter dari Mesir yang datang sebagai anggota Palang Merah Mesir membawa obat-obatan untuk Republik Indonesia, dan menjanjikan bantuan obat-obatan lebih banyak lagi.
         Satu hari saya ditanya oleh Jenderal Suhardjo, apakah saya bersedia untuk berangkat  ke luar negri, pertama untuk mengambil obat-obatan dari Mesir dan kedua mencari jalan untuk membeli sendjata di luar negri. Saya menjawab bahwa saya bersedia.                                                                 
         Dan beberapa hari kemudian saya dipanggil oleh Wakil Presiden Dr. M Hatta (Bung Hatta pada November 1947, berada di Bukit Tinggi. Dari Bukit Tinggi Bung Hatta terbang ke India untuk bertemu Nehru dan Mahatma Gandhi. Lihat Memoar Mohammad Hatta - penulis) dan diperkenalkan kepada Dokter Mesir itu. Waktu itu kebetulan ada sebuah kapal berlabuh di Pariaman, datang dari Singapore dikirim oleh kantor perwakilan kita disana. Setelah beberapa hari menunggu di Pariaman, maka berangkat saya bersama dokter Mesir itu diatas sebuah kapal pengangkut kecil dari Royal Navy, yang dipersewakan untuk berdagang, menuju pelabuhan Singapore.
         Pelabuhan pertama yang disinggahi adalah Padang. Di Padang ini dokter Mesir berhubungan dengan authorities Belanda setempat untuk naik kapal terbang ke Jakarta dan dari sana juga dengan pesawat terus ke Singapore, sedang saya sendiri tidak mempunyai kesempatan seperti itu. Di kapal saya diintervieuw oleh intel Belanda, beberapa opsir KNIL dan juga hadir peranakan Cina.
         Setelah beberapa hari di Padang kapal terus berangkat ke Kereo dimana kita akan tinggal beberapa hari untuk memuat bermacam barang dagangan. Setelah selesai berangkat ke Priok, dimana Cargo diperiksa oleh pejabat Belanda sedangkan saya sendiri tidak begitu diperhatikan seperti di Padang. Setelah beberapa hari di Priok kapal pun berangkat ke Singapore, dimana kita tiba empat hari kemudian.
         Sesampai di Singapore saya menghadap Kepala perwakilan RI di Singapore, jakni Mr. Utoyo Ramelan. Ternyata dokter Mesir itu telah berangkat kenegrinya. Ia telah tiba di Singapore dari Jakarta lebih dari seminggu yang lalu dan tidak dapat menunggu lama-lama.                                                  
         Oleh Mr. Utoyo telah diberangkatkan bersama dokter Mesir itu seorang pegawai dari perwakilan RI di Singapore, yaitu Nyonya Tania Dezentje, seorang warga keturunan Belanda. Alasannya nyonya ini selain pandai berbahasa Inggris, juga fasih bahasa Perancis dan Italy, yaitu dua bahasa yang sangat berguna untuk mendekati kerajaan Mesir waktu itu. Misalnya Ibu Raja Farouk tidak pandai berbahasa Inggris tapi fasih berbahasa Perancis dan Italy, selain dari bahasa Arab tentunya.                                       
         Demikianlah saya tidak djadi berangkat ke Mesir dan sekarang menujukan perhatian saya pada tujuan yang kedua, malahan yang terpenting menurut Jenderal Soehardjo, mengapa saya berangkat ke luar negri.
         Komandemen Sumatra sewaktu saya masih sebagai Kepala Staf mempunyai beberapa orang anak buah di Singapore dan Malaya, antara lain saudara Hasjmi Tahir yang sekarang berada di Jakarta sebagai pedagang (1967), dan yang lain saudara Ismail, yang sekarang (1967) kabarnya menduduki tempat yang penting dalam Angkatan Laut Malaysia.
         Pada waktu itu saya menghubungi mereka, saya tinggal di rumah Hasjmi Thahir di Bengoolen Street. Sayang sekali Komandemen Sumatra hampir sama sekali tidak menyediakan dana untuk mereka ini, sehingga kegiatan mereka sangat terbatas.
         Pada umumnya mereka dekat sekali dengan orang-orang dari Partai Kebangsaan Malaya (Malayan Nationalist Party) yang dipimpin Dokter Burhanudin dan Taha Kalu. Saya diperkenalkan dengan Dokter Burhanudin ini dan juga dengan pemimpin dari  daerah, yaitu saudara Abdur Rahman seorang guru dari Malaka. Menurut kebiasaan tanah Melayu saudara Rahman ini kita panggil Cik Gu Rahman, atau Cik Gu saja.
         Dalam mempersoalkan senjata dengan kawan kawan dari Malaya ini kita berkesimpulan, karena di Malaya/Singapore ini tidak ada pertempuran (battle) maka soal senjata disini lebih tertib, yaitu yang dapat dikuasai tentara Inggris telah dikuasainya dan yang hendak disembunyikan oleh orang komunis buat dipergunakan oleh mereka pada kesempatan yang akan mereka tentukan sendiri, telah mereka sembunyikan baik sekali.           
         Seperti diketahui senjata yang diselundupkan Sekutu baik melalui udara maupun melalui laut pada waktu perang dunia ke II hampir semuanya jatuh ketangan Guerilla Komunis.
         Jadi kalau hendak mendapat senjata di Singapore atau Malaja ini yang harus mensuply ialah gudang senjata Inggris sendiri.
         Ci Gu Rahman menceritakan bahwa waktu tentara Inggris membangun kembali Malay Regiment, yang dibangun oleh Inggris pada tahun 1934, dan yang pada waktu Inggris menyerah kepada Jepang dibubarkan. Banyak sekali pemuda-pemuda anggota party Kebangsaan Melayu masuk Malay Regiment, dan mereka tetap Nationalist, tetap setia pada cita-cita kebangsaan dan memelihara hubungan dengan pimpinan-pimpinan PKMM.
         Markas Besar dari Malaj Regiment ini ialah di Port Dickson, tidak jauh disebelah Utara Malaka. Pasukan dari Regiment ini sebagian berada disini. Diantara pemuda-pemuda yang berada di Port Dickson ini, banyak yang telah menyatakan keinginannya untuk menyeberang ke Sumatra dengan membawa senjatanya untuk ikut bertempur melawan Belanda. Bagi pemuda PKMM Belanda bukan merupakan musuh dari Nasionalis Indonesia, tetapi juga dirasakan sebagai musuh mereka.          
         Soal tidak jadinya saya berangkat ke Mesir dan terus mengurus senjata di Singapore dan Malaja ini saya laporkan pada Panglima Sumatra Jenderal Soehardjo, melalui saudara Noordin Ibrahim, yang dikenalkan kepada saya oleh saudara Hasjmi Thahir. Saudara ini segera berangkat membawa bermacam-macam perlengkapan untuk divisi Banteng (Sumatra Tengah). Pada Jenderal Soehardjo saya juga minta disediakan fondsen yang cukup untuk operasi senjata ini dan untuk mengaktiveer kembali anak buah Komandemen yang ada di Singapore dan Malaya.
         Dalam pada itu Tjik Gu Rahman pulang ke Malaka untuk berunding lebih matang dengan orang-orang dari Malaj Regiment yang katanya hendak menyumbangkan tenaganya ke Sumatra. Setelah kira-kira seminggu ia datang ke Singapore kembali menemui saya, dan mengabarkan bahwa saudara saudara di Malaj Regiment telah lebih positif, dan jumlahnya melebihi empat puluh orang.
         Wakil dari mereka ingin bertemu dan berbicara sendiri dengan orang dari Indonesia yang akan mengurus keberangkatan mereka dan akan menerima mereka disana. Maka beberapa hari kemudian berangkatlah kami ke Malaka, yaitu Tjik Gu Rahman, saya sendiri dan seorang kawan lagi, yaitu Eddy Jahja. Saudara Eddy ini adalah seorang pemuda pedjuang Jakarta Raya yang telah berulang kali menembus blockade Belanda membawa segala macam barang untuk Dr. AK Gani di Palembang. Pada tahun l946 saya telah mengenal dengan baik saudara Eddy Jahja ini di Palembang. Sekarang (l967) saudara Eddy Jahja ini adalah seorang pedagang yaitu dari PT Melant dan tinggal di jalan Surabaya, Jakarta.
         Sampai di Malaka kita tidak tinggal di kota tetapi disebuah kampung beberapa batu (mil) di sebelah utara kota, arah ke Port Dicksen. Kampung Melaju disini tidak begitu jauh bedanya dengan kampung di iliran Palembang atau Jambi. Rumah-rumah bertiang potongan limas bari ataupun yang disebut potong gudang. Setelah dua malam kita bermalam datanglah dua orang dari Malaj Regiment ini. Mereka ini menyatakan keinginannya berjuang bersama-sama di Indonesia dengan TNI dan mereka akan melarikan diri bersama bersama senjata, malahan mereka menyanggupi membawa senjata lebih dari sepucuk seorang, bersama ammonisinya sekalian. Jumlah mereka sekarang sudah lebih dari 60 orang, pada waktunya nanti jumlah mereka mungkin mendekati 100 orang.                                                         
         Mereka meminta fihak Indonesia mempersiapkan fasilitas untuk kira-kira seratus orang, baik pengangkutannya dan penerimaannya disana. Permintaan dari pemuda pemuda itu supaya kepada keluarga mereka ditinggalkan uang berapa saja sebagai tanda mata. Semua permintaan mereka kita sanggupi setelah kita siap, uang telah ada, pengangkutan telah ada maka kita akan bertemu lagi ditempat jang akan diatur oleh Tjik Gu Rahman untuk membikin rencana terperinci dari pelarian dan pemberangkatan mereka.
         Pada waktu itu akan ditinggalkan pula less dari adres keluarga mereka dan pada waktu itu akan diserahkan uang dari kita kepada satu orang untuk dibayarkan kepada nama –nama yang disebut didalam less itu. Rencana ini dibikin bersama dan dilaksanakan dalam waktu yang sesingkat singkatnya untuk menghindari kebocoran. Sesudah itu saya pun bersama saudara Jahja kembali ke Singapore.
         Untuk pengangkutan saya merasa tidak begitu sulit, karena ditangan seorang petugas dari Kementrian Pertahanan, yaitu saudara Mayoor Ali Djajengprawiro ada beberapa motor speed boat yang selalu beroperasi menembus blockade Belanda, biasanya dari Singapore atau Malaja ke Riau daratan, Pakanbaru atau Rengat, kadang-kadang juga dari Penang ke Aceh. Mungkin dengan dipakai untuk melarikan orang-orang atau senjata. Speedboat ini tidak bisa kembali lagi ke Singapore dan Malaja, sebab pemerintah Inggris dan intelnya yang begitu efficient dan up to date segera akan mengetahui semuanya. Bagi saya yang terpenting adalah menyediakan fondsen.
         Di Singapore saya menunggu kedatangan saudara Noordin Ibrahim. Setelah beberapa lama saudara ini datang dari Sumatra dengan membawa macam-macam barang eksport, tetapi bukan untuk saya, melainkan untuk usahanya sendiri dengan Devisie Banteng. Malahan hasil pendjualan barang-barang eksportnya hampir belum cukup untuk membayar hutang hutang yang telah dibikin oleh saudara Noordin untuk membawa bermacam-macam barang masuk.                                                                                          
         Untuk saya hanya ada surat dari Panglima Sumatra Jenderal Soehardjo yang menjanjikan fondsen segera disediakan. Bersama saudara Noordin Ibrahim ikut juga wakilnya dari Bukit Tinggi yang tinggal di Singapore kira kira seminggu atau 10 hari. Padanya saya titipkan surat lagi buat Jenderal Soehardjo mendesak supaya selekas mungkin disediakan fondsen, karena saya telah mulai bekerja.
         Lama saya menunggu fondsen ini, akhirnya toch tidak datang juga. Dalam pada itu sambil menunggu terjadi perkembangan sendiri dalam tubuh Malay Regiment di Port Dickson itu. Karena semangat meluap luap timbul insiden insiden antara perwira dan bintara-bintara orang Inggris, sehingga ada yang di sel, ada pula yang dipecat, banyak pula yang dipindahkan baik unit ataupun tempatnya hingga pegangan kita dalam grup ini buyar sama sekali. Andaikata pada waktu itu datang fondsen, untuk rencana ini sudah tidak mungkin berbuat apa apa lagi.
         Saya ingat dengan waktu kita, yaitu saya dan saudara Simbolon, saudara Harun Sohar mempersiapkan pemberontakan di zaman Jepang untuk melawan Jepang, selalu terdjadi insiden karena anak buah yang telah kita bakar semangatnya itu sudah melawan pada Jepang, kalau dimarahi mereka melawan, kalau dipukul mereka memukul kembali. Saudara Robani misalnya sampai empat lima kali berkelahi dengan seorang sersan Jepang dari pasukannya sendiri, karena setiap kali bertemu dengan sersan itu oleh saudara Robani sersan itu dipukul, dan bagi sersan itu sebagai orang Jepang dizaman itu tentu saja tidak bisa menerima dipukul oleh seorang Indonesia. Komandan Robani (orang Jepang) tidak sanggup membereskan soalnya. Melalui taitjo nya meminta bantuan saya. Terpaksa saya memperingati Robani, bahwa ia akan merusak semua persiapan kita djika ia tidak pandai menahan diri. (penulis: rencana pemberontakan Gyugun ditulis juga di buku ulang tahun Korps Sriwijaya)
         Demikianlah kesempatan untuk mendapat senjata ini terlepas begitu saja dari tangan kita, karena kita tidak mempunyai persiapan keuangan diluar negri. Di Malaya dan Singapore waktu itu mulai terjadi perobahan perobahan besar. Orang-orang komunis Malaya yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Cina kembali masuk hutan dan melakukan pemberontakan bersenjata, dan pemerintah Inggris mengumumkan keadaan darurat diseluruh Malaja dan Singapore. Seperti kita ketahui dalam sejarah orang orang komunis bukan sadja di Malaya memberontak pada waktu itu, tetapi juga di India, Burma dan pada bulan September tahun itu juga di Indonesia terjadi juga, yang terkenal dengan pemberontakan PKI di Madiun.
         Pemerintah Inggris mengawasi dengan ketat segala gerakan keadaan. Diadakan peraturan Pas Badan (indentity card). Partai Kebangsaan Melayu Malaya juga mengalami tekanan. Banyak pemimpin pemimpinnya yang ditangkap, baik didaerah, maupun dipusat antara lain saudara Tahu Kala. Saudara Dokter Burhanuddin sendiri masih bebas, tetapi keadaannya sangat dipersulit. Pada waktu itu saudara Burhanuddin rapat sekali pergaulannya dengan kita. Ia selalu datang kerumah di Minto Road 4 yaitu rumah saudara Hasan Basri Brori, yaitu kakak almarhum Kapten Hamid Brori, yang sejak tahun dua puluhan tinggal di Singapore. Ada pula disana saudara Aly Gathmyr seorang peminpin NU dari Palembang.  Pada bulan Juni atau Juli 1948 datang seorang Cina kerumah saudara Hasan Basri mengaku datang dari Palembang. Ia bicara Indonesia dengan logat Palembang. Ia mau ketemu dengan saya dan memperkenalkan diri bernama Tong Joo, dan dikemudian hari dia banyak membantu selama saya di Singapore.
         Dalam pada itu telah datang di Singapore saudara Mu’min seorang perwira perbekelan dari Resimen Lampung, yang mengurus urusan export dan import dari Lampung. Ia banyak membantu saya. Dari Panglima Komandemen hingga akhirnya tidak ada kiriman apa-apa, Usaha saya mencari senjata saya teruskan juga. Saudara Sjachrudin, orang kedua dari bagian ekonomi dari perwakilan di Singapore, (orang pertama adalah Doktor Saroso) yang selalu bertukar pikiran dengan saya mengenai politik, mengenai ekonomi, dan juga mengenai pembelian senjata. Pada kira-kira setelah pemberontakan PKI di Madiun, mengatakan kepada saya ada senjata yang bisa didapat dari Filpina. Senjata ini berasal dari tentara Amerika bekas perang dunia ke II, dan senjata ini cukup banyak jumlahnya, berapa keperluan kita bisa dilayani. Dan pembayarannya tidak perlu cash, jadi berhutang tetapi harus ditanda tangani oleh seorang yang mempunyai mandat dari pemerintah Indonesia atau dari Tentara Indonesia, jadi saya dapat menanda tangani kalau membeli, karena saya mempunyai Surat Perintah untuk mengurus segala keperluan Komandemen yang ditanda tangani Panglima Komandemen Jenderal Soehardjo. Selanjutnya seorang terkemuka Filipina akan ikut menjamin kepada yang punya senjata, yaitu orang Amerika. Tetapi syarat pengangkutan harus diadakan sendiri oleh pembeli, baik speed boat atau kapal terbang. Senjata itu bisa disediakan disuatu tempat jang ada landasan terbang yang bisa dinaiki oleh Skymaster.
         Jadi soalnya kembali kepada Fondsen dari Jenderal Soehardjo tidak bisa diharapkan apa-apa lagi dan kabarnya pula ia telah dipindahkan ke Jawa dan diganti oleh Kolonel Hidajat.  Bagi saya sulit untuk melaporkan soal urusan ini kepada Kolonel Hidajat yang saya tidak kenal secara pribadi, kecuali saya dapat bertemu muka sendiri dan memberikan penjelasan mondeling kepada Kolonel ini. Saya berusaha meneruskan usaha ini dengan bantuan saudara Noordin dan Mu’min.
         Pada permulaan Desember 1948 saudara Noordin Ibrahim bersama saudara Hasan Basri berangkat ke Jambi membawa kapal dan barang dagangan yang sebahagiaan besar kepunyaan Cina untuk ditukar dengan barang hasil bumi. Demikian pula saudara Mu’min berangkat ke Lampung membawa kapal dan barangan dagangan. Bagi saudara Noordin Ibrahim saya beri “rekomendasi” untuk Kolonel Abundjani di Jambi. Tetapi malang kedua usaha ini gagal semua, belum lama mereka sampai di tempat tujuan masing masing pecahlah perang kolonial kedua, yaitu pada 19 Desember 1948. Mereka pulang dengan tangan hampa ke Singapore. (kedua mereka memakai surat sebagai pelaut dari Singapore)
         Bagi kita keadaan itu adalah gelap sekali, tanah air telah porak peranda oleh Belanda. Gambar-gambar tentang menjerahnya Bung Karno dibesar besarkan oleh pers yang tidak senang dengan kita, gambar kota-kota republik yang sekarang dikuasai oleh Belanda, antaranya Yogyakarta dan Bukit Tinggi. Untunglah diantara kawan-kawan tidak ada yang patah semangat, malahan sebaliknya setiap orang berusaha dalam bidangnya untuk membantu perjuangan di tanah air. Waktu itu saudara Norrdin Ibrahim sangat aktif. Karena dia meskipun orang Indonesia (lahir di Padang), tetapi karena dia bersekolah di Malaya (Malaka) dan pernah bekerja sebagai pegawai negri (polisi), maka ia mendapat pengakuan sebagai orang Malaya (British Subject), dengan sendirinya geraknya lebih bebas. Dia mendirikan sebuah badan penyokong Indonesia, dan mengirim kawat kepada Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru agar India melakukan boikot kepada Belanda dan agar Nehru mendesak kepada PBB supaya menghukum tindakan Belanda yang imperialis.                                                            
         Kawat ini rupanya mendapat perhatian dari Perdana Menteri Nehru. Saudara Noordin menerima jawaban dengan ucapan terimakasih serta akan diperhatikan usul dan desakannya. Kawat balasan itu dahulu disimpan oleh saudara Noordin, dan mungkin masih ada. Dan betul saja, dalam tempo pendek India melarang kapal laut dan kapal terbang Belanda untuk singgah di India, sehingga perusahaan kapal terbang Belanda (KLM) harus merubah routenya. Tentu bukan disebabkan semata mata saudara Noordin maka tindakan Nehru begitu tegas kepada Belanda, tetapi biar sedikit sekalipun kawat saudara Noordin itu ikut juga menjadi sebab dari keputusan yang diambil oleh Perdana Menteri India ini.
         Kitapun tahu, bahwa Nehru sebelum tgl. 19 Desember 1948 mengirim pesawat untuk menjemput Sukarno ke India, agar bila Belanda menyerang Republik dan menduduki kota-kotanya, Sukarno dapat bertindak dan diakui dunia sebagai pemerintahan “in Exile”.  Waktu dizaman Orla pemerintah Sukarno bersikap sangat bermusuhan terhadap India atas desakan Cina Komunis dan untuk keuntungan Cina Komunis, maka saudara Noordin dan saya tidak dapat lain dari pada menangis dalam hati karena sedih dan malu.
         Pada waktu itu semua pelabuhan penting di Sumatra telah diduduki Belanda. Pada suatu hari dalam bulan Januari 1949, saudar Mu’min yang mempunyai info sendiri tentang Lampung mengatakan kepada saya bahwa pelabuhan Menggala masih ditangan kita dan dia tahu benar di Menggala itu ada tersedia berpuluh ton lada untuk di export. Kita berunding lalu diputuskan lada ini harus dijadikan ongkos pengangkut senjata dari Filipina itu. Waktu itu pengaruh Belanda di Singapore besar sekali. Kapal-kapal kecil (pelayaran pantai) dari Singapore yang hendak berlayar kesalah satu pelabuhan, mendapat pembatasan membeli minyak (fuel), menurut jauhnya perjalanan dan pemakaian kapal. Pembatasan ini tentu saja ditujukan untuk melumpuhkan segala kegiatan orang Republik di Malaya dan Singapore.
         Jadi pada awal Februari 1949 kita mempersiapkan kapal dan segalanya untuk perjalanan kita itu, dan pada kira-kira pertengahan Februari kita keluar dengan kapal berukuran 20 ton dari pelabuhan Singapore dengan tujuan resmi Tanjung Pinang dan mendapat ration minyak bakar cukup untuk pulang pergi dari Singapore ke Tanjung Pinang. Dengan sendirinya kita tidak ada niat untuk singgah di Tanjung Pinang.
         Untuk menambah kekurangan minyak, hingga cukup pulang pergi Singapore - Menggala, maka kita harus membeli minyak curian dari pulau Sambu, maka tujuan kita yang pertama adalah suatu pulau kecil yang terletak disuatu selat sempit, dimana hanya ada satu warung Cina dan beberapa rumah nelayan.
         Menunggu disitu seminggu lebih, karena minyak itu diangkut sedikit-sedikit, dalam satu hari satu drum paling banyak dua drum. Setelah sembilan atau sepuluh hari cukuplah persediaan kita dua belas drum yang ditegakkan dan diikat keras keras memenuhi dek kapal yang kecil ini. yang melakukan ini semua Cina.
         Selama kami menunggu dikumpulkannya minyak, dan berlabuh diselat sempit itu, beberapa kali kami melihat, jauh sayup-sayup di muara selat kapal motor patrouille Belanda lewat, tetapi selat ini tidak pernah diperhatikan karena mungkin tidak penting.
         Setelah cukup persediaan minyak kita berangkat meminggirkan pulau Sambu dan masuk ke selat Singapore. Yang kami tinggalkan kira kira sepuluh hari yang lalu. Sekarang kami menuju ke Timur, kami berempat yaitu; saudara Noordin Ibrahim, saudara Mu’min, saudara Hasan Basri Brori dan saya sendiri. Semua kawan itu secara garis besar tahu apa tujuan kita, yaitu mengambil lada dari Menggala dan setelah dijual dan uang digunakan untuk mengangkut senjata ke Sumatra.
         Kemungkinan diangkut dengan Skymaster pada malam hari dan dijatuhkan dengan parachute di tempat yang diberi tanda dengan api, dan kita merundingkan dengan orang dalam code yang dipakai, misalnya permintaan lagu tertentu pada radio Malaya, oleh orang yang tertentu untuk orang yang tertentu.
         Crew kapal terdiri dari 6 orang Cina, didalam 6 orang ini termaksud tokeh yang punya barang, sedangkan nachoda adalah seorang Indonesia dari Riau yang mempunyai ijazah Kleine Vaart. Nachoda ini baru kita kenal  diatas kapal dengan sendirinya tidak kita percayai, dan kelihatannya ia takut dengan kita, dan takut pula dengan orang Cina itu.
         Resminya kita adalah crew kapal, ada yang menjadi juru masak, ada yang mendjadi pembantu masinis dll. Saudara Noordin dan saudara Hasan memakai nama sendiri, sedangkan saudara Mu’min memakai nama Cina Aw Mo Mien dan saya mengaku orang Melayu bernama “Ahmad bin Hadji Nuh dan dipanggil sehari hari Tjik Mat.”
         Kita berlayar diselat Singapore menuju ke Timur sampai Batu Putih yaitu satu Mercu Suar di ujung tanjung jazirah Melaju dan setelah melewati Batu Putih itu kita membelok ke selatan memasuki laut Cina Selatan (South Cina Sea), tujuan kita adalah selat Karimata. Maksud kita setelah kita melihat pulau pulau kecil di selat Karimata, kita akan membelok ke Barat menuju pulau Sumatra.
         Dari Batu Putih sampai ke selat Karimata kira kira lima atau enam hari kita dijalan, karena kapal berlajar kira kira 7 mil sejam. Setelah kira kira dua hari kita meninggalkan Batu Putih datanglah anging yang sangat kencang yang akhirnya merupakan badai betul betul, lamanya hampir dua hari dua malam. Pada waktu itu bertiup se dahsyat dahsyatnya, maka motor kecil kita itu benar benar seakan akan sepotong sabut adanya. Dan kita manusia yang ada diatas kapal ini tidak lain dari pada hanya berserah kepada Tuhan.
         Setelah topan mereda dan lautan lambat laun menjadi tenang, waktu menjelang tengah hari terlihatlah suatu pemandangan yang sangat luar biasa yaitu diseluruh laut di sekeliling kapal sejauh memandang terlihat ikan berlompatan, yaitu ikan tongkol. Pernah saya lihat suatu spectacle semacam itu tetapi dalam dimensi yang kecil, yaitu di sungai waktu ikan turun hendak menghamburkan telur di muara sungai, atau waktu ikan mudik, sesudah menghaburkan telur. Pemandangan ini seumur hidup tidak bisa saya lupakan.
         Setelah kelihatan pulau pulau Karimata, kita membelok ke Barat menudju Sumatra, dan karena di kapal tidak ada kompas tujuan kita muara sungai Tulang Bawang itu diambil dengan kira kira saja. Setelah berlayar  dua hari dua malam, kita sampai sedikit disebelah utara sungai Mesuji. Kita belok ke selatan menyusur pantai dan tiada berapa lama kita sampai di muara sungai Mesuji. Kita lihat didalam muara dipinggiran sungai ada ber puluh puluh perahu kecil, rupanya nelayan memancing buaya. Kami menurunkan sauh di dekat sekelompok tukang tukang pancing itu dan bertanya pada mereka. Dari percakapan itu kami mengetahui bahwa di daerah itu dalam kira kira dua bulan sekali didatangi oleh patrouileboot Belanda dari Jakarta dan tinggal di daerah itu kira kira sepuluh hari atau 2 minggu mundar mandir masuk sedikit ke sungai Tulang Bawang keluar lagi ke laut. Waktu itu baru patrouilleboot keluar dari sungai Mesuji menuju Tulang Bawang, dan baru datang kira kira empat lima hari dari Jakarta. Jadi beradanya kapal itu disana mungkin masih enam hari atau seminggu lagi.
         Kami mundur ke Utara, berlayar per lahan-lahan ke selat Bangka, tidak berani berhenti karena takut menarik perhatian kapal kapal yang lalu lintas disana. Malam hari turun angin yang merupakan badai kecil, dan dalam keadaan begitu, tiba tiba timbul perselisihan mulut antara jurumudi dengan awak kapal (sama sama orang Cina), hingga juru mudi melepaskan kemudi dan pergi tidur. Keadaan gelap gulita dan kapal terombang ambing karena tidak berkemudi. Saudara Hasan Basri berangkat dari sisi kami (kami berempat memang tidur berkelompok dan waktu itu sudah mulai tidur), dan didekati jurumudi yang pura pura tidur, dan dibentaknya; “Kembali kekemudi kau, kalau tidak aku pukul.” Cina-Cina yang lain datang dan kami bertiga mendekati saudara Hasan. Cina-Cina itu menyanggupi memegang kemudi dan jangan dihiraukan jurumudi itu karena ia sedang kehabisan candu. Hingga demikian insiden itu.
         Hubungan antara kita dan orang orang Cina di kapal itu biasa saja, tidak bermusuhan dan tidak juga pernah terlalu intim betul, karena kami menjaga agar mereka tidak usah mengetahui apa apa tentang diri kami orang Republik dan tujuan kita semua mengambil Lada  dari Lampung, selebihnya mereka tidak tau. Sekarang suasana di kapal mendjadi tegang, bisa terjadi apa apa.
         Besok paginya kita keluar dari selat Bangka. Sewaktu makan pagi terjadi lagi insiden antara saudara Hasan dengan Cincu, yaitu Cina yang dikuasakan barang oleh tokeh. Oleh Hasan Cina ini dipukul, Cina yang lain maju seakan akan mau menolong, dan kami bertiga pun berbaris disisi Hasan dengan sikap mengamankan. Cina itu mundur disabarkan oleh wakil Cincu yang dalam soal umur adalah yang tertua diantara mereka. Kira kira seperempat jam setelah itu datang Cincu dan wakilnya meminta maaf kepada kami.
         Sesungguhnya kita harus berunding dengan Cina itu dimana kita harus sembunyi kira kira satu minggu, lalu menuju ke Tulang Bawang lagi, dan memang diantara Cina itu ada yang kenal betul perairan Malaya dan Sumatra, tetapi karena keadaan bekas tegang walaupun sudah maaf-maafan tidaklah ada suasana untuk berunding dan ber discussie. Karena persediaan air minum sudah mulai berkurang, Cina-Cina itu mengajak kita ke suatu teluk di kepulauan Riau. Saya masih menanyakan apakah ada polisi Belanda disitu, dijawab tidak. Kita menduga tempatnya seperti tempat kita mengambil minyak tempo hari, karena mereka yang punya barang sedang kami hanya awak kapal saja.
         Pagi keesokan harinya masuklah kami disuatu pelabuhan kecil yang nantinya ternyata bernama Senayan, dimana ada seorang Camat (ass. Wedana) atau dalam istilah daerah itu pembantu Amir. Dari jauh telah kelihatan bendera Belanda di Pelabuhan, untuk mundur sudah tidak bisa lagi, sebab orang dipelabuhan sudah melihat kapal kita.
         Semua surat surat saya, rencana-rencana tanda dan code yang akan dirundingkan dengan orang dipedalaman untuk mengsynchroniseer waktu dan tempat, kalau senjata harus dijatuhkan dengan kapal terbang, semua terbungkus baik dan kecil dan selalu saya ikatkan dengan kapak kecil dan selalu berada dibawah bantal saya. Selama ini kapak itu dianggap senjata saya, sedang saya mengatakan bahwa kapak itu mainan. Saya pergi ke WC yang di buritan kapal, pura pura buang air lalu saya jatuhkan semua benda itu kedalam air. Kira kira seperempat jam atau lebih setelah itu kapal kita sudah merapat disuatu boom yang kecil.
         Orang Cina (Cincu dan jurumudi) segera naik kedarat, katanya untuk membeli air dan makanan. Kira kira seperempat jam mereka sudah datang kembali dengan 4 orang Polisi pemerintah Belanda (berkebangsaan Indonesia). Mereka naik kekapal, memeriksa kapal dan kami diperiksa satu persatu. Lalu kami berempat disuruh turun dari kapal dan dibawa ke kantor polisi. Pakaian dll. ikut dibawa. Kami di tempatkan di rumah kecil dalam tangsi yang kecil itu. Kami boleh berjalan-jalan sedikit asal tidak jauh. Malamnya pembantu Amir mendatangi kami. Dia seakan akan maklum bahwa kami orang Republik. Tetapi karena keadaan darurat perang dia tidak berkuasa kepada polisi, cuma diberi tahunya pengaduan Cina-Cina terhadap kami, yaitu kami orang Republik, ikut sebagai anak kapal dari Singapore menuju Tanjung Pinang, waktu sudah dekat Tanjung Pinang kami berempat memaksa mereka untuk ke Lampung, lalu berlayar berputar putar lalu sampai ke Senayan. Entjik Mat Nuh, yaitu saya ada kelihatan membuang sesuatu benda ke laut waktu akan masuk Senayan.
         Kita berempat bermufakat bagaimana membikin jawaban. Selama di Senayan itu kita sama sekali tidak ditanyai atau diperiksa. Keesokannya kira kira tengah hari datang satu kapal motor polisi dengan setengah lusin polisi dan bersenjata lengkap, serta beberapa orang reserse berpakain preman. Mereka membawa kita naik motor itu dan lalu berangkat menuju Dabo. Sorenya sampai kita di Dabo (pulau Singkep), dan kita langsung dibawa kekantor polisi, dan kita langsung dimasukkan kedalam kamar tutupan (cel). Di cel ini tidak ada bangku bale bale, jadi kita duduk dan tidur dilantai semen. Untung tikar dan bantal kita dari kapal boleh dibawa.                                        
         Tempat mandi dan WC jauh dipinggir kandang dan kita hanya dapat kesana bersama dibawah pengawalan yang kuat. Setelah mandi kita diantari makanan (nasi). Tidak usah diceritakan, bahwa makanannya sembrono dan tempat mengantarnya serta tempat makan kami sangat kotor dan jelek.
         Keesokan harinya kami mulai diperiksa orang perorang, yang meriksa mentri polisi orang Indonesia. Kadang kadang hadir juga kepala polisinya orang Belanda totok. Pada malam hari penjagaan tidak begitu ketat, cel dibuka kita boleh duduk dengan penjaga-penjaga diantaranya ada pula resersir preman. Mungkin maksudnya untuk memancing-mincing keterangan dari kita. Kita tetap mengaku hanya anak kapal saja, yang berbangsa Melayu tetapi keturunan Indonesia, dan banyak keluarga Indonesia dan bergaul dengan orang Indonesia, sebab itu kita dengan mudah mengikuti segala logat bahasa Indonesia, kecuali saudara Mu’min yang mengaku peranakan Cina dari Indonesia tetapi telah bertahun tahun tinggal di Singapore. Kita mengatakan, bahwa kita diajak oleh Cina-Cina itu hendak masuk Sumatra, hendak smokkel barangkali, tetapi kita tidak mau, sebab destination kapal adalah Tanjung Pinang.
         Dua hari kita diperiksa berturut turut, sesudah itu didiamkan, mungkin mereka memeriksa Cina itu ditempat lain, karena kita mendapat kabar, bahwa kapal motor kita bersama crew Cina nya juga telah sampai di pelabuhan Dabo. Mungkin mereka meminta info dari tempat lain seperti Tanjung Pinang dan Pekan Baru. Mungkin ada pula didatangkan orang orang untuk mengenali kita, sebab kalau kita diperiksa diluar selalu berdiri banyak orang, dan pada waktu malam, selain polisi dari tangsi itu yang menjaga, yang telah mulai kita kenal, senantiasa ada orang lain yang katanya baru pulang tugas. Setelah beberapa hari diam, kita diperiksa lagi, tetapi soalnya begitu juga, karena mereka tidak punya gegevens tentang kita sedangkan tuduhan Cina itu bisa kita balikkan.
         Dalam hal ini saudara Noordin Ibrahim banyak jasanya, karena dia adalah bekas perwira Polisi pemerintah Inggris yang terlatih. Saya juga mempunyai pengalaman sedikit dalam soal kepolisian dan pengadilan. Akhirnya mereka menjebak saya. Saya dipanggil masuk dan dihadapkan kepada Mantri Polisi dan kepala Polisi Belanda. Mereka setelah menyuruh saya duduk disebuah bangku tidak menanya saya langsung, tetapi mempercakapkan soal saya dan memperdebatkan soal saya dalam bahasa Belanda. Sesudah itu mereka berdebat pula tentang keadaan politik di Indonesia ini dsb., tetapi saya diam saja sambil menundukkan kepala, seakan akan sama sekali tidak mengerti. Sesudah itu saya ditanyai lagi, yaitu pertanyaan yang lain juga.

         Sesudah itu kami didiamkan pula beberapa hari lamanya, dan akhirnya datang pula Amir dari Dabo dan pembantu Amir dari Senayan yang waktu itu rupanya ada di Dabo, bercakap-cakap dan menanya kami dan satu dua hari sesudah itu kami dikenakan tahanan kota, artinya boleh keluar dari tahanan polisi. Kami menumpang disebuah kedai Cina yang kosong di pasar.
         Tahanan kota ini memakan waktu kira kira tiga minggu lebih. Meskipun masih tahanan kami lebih bebas terutama dalam soal makan, dan orang Cina kapal kami, karena melihat tuduhannya tidak berhasil mulai berbaik kepada kami. Mereka merasa Amir dan pembantu Amir berpihak kepada kami dan merasa takut pula kepada majikan nya di Singapore, sebab itu mereka mulai memberi uang kepada kami. Setelah habis semua penyelidikan dan mungkin stukken processen verbal telah kembali dari Tanjung Pinang akhirnya diputuskan oleh kepala pemerintah setempat, bahwa perkara ini dihabiskan dan muatan (barang barang dagangan) harus dijual di Dabo, sedangkan kapal boleh kembali ke Singapore tetapi harus singgah di Tanjung Pinang. Dengan alasan kami tidak berani lagi sekapal dengan orang orang Cina itu maka kami di izinkan kembali ke Singapore dengan kapal terbang KNILM, yang seminggu sekali singgah di Dabo. Kami pun kembali ke Singapore.
         Demikianlah kira kira awal Mei kita telah berada di Singapore kembali. Pada watu itu, pendapat umum dunia sudah sebagian besar memihak pada Republik. Kalau tadinya masyarakat Barat pada permulaan perang Kolonial ke II ini banyak mengejek, karena kelihatan Belanda begitu mudah menguasai daerah Republik, maka sekarang setelah beberapa bulan berperang Belanda ternyata tidak sanggup meng sificeer daerah yang dikuasainya, dan setelah TNI mengadakan serangan besar besaran atas Yogyakarta (Serangan Umum 1 Maret 1949, penulis), Bukit Tinggi, dan hingga saat itu Belanda tiada nampak akan sanggup mengadakan serangan besar besaran atas Aceh, maka kembali timbul rasa respect dan hormat atas perjuangan bangsa Indonesia.
         Kami sendiri di Singapore masih berusaha mencari kapal dan financiering untuk meneruskan ataupun mengulangi usaha yang kandas tempo hari itu, tetapi tidak berhasil. Pada suatu hari dalam bulan Juni 1949, saya yang pada waktu itu tinggal di Minto Road 4, pada pagi-pagi didatangi oleh 2 orang reserse CID yaitu, Haji Ridwan seorang Melayu keturunan Jawa dan Busu seorang Melayu asli yang membawa saya kekantor CID di Robinson Road. Saya dihadapkan kepada kepala bagian politik (political section), seorang pejabat tinggi kepolisian berkebangsaan Inggris.
         Bannons ini memberitahukan, bahwa mereka mengetahui bahwa saya ini seorang Kolonel TNI dan aktivitas saya mengurus pengiriman barang barang untuk Republik, terutama dengan saudara Noordin Ibrahim. Dicurigai pula hubungan saya yang sangat rapat dengan orang orang MNP. Jadi dalam tanya jawab yang berbelit belit dan yang memakan waktu sehari suntuk itu jelas kecurigaan mereka kepada saya, yaitu menyelundupkan senjata dan menghasut orang orang Melayu. Untungnya tidak satu buktipun mereka temukan.
         Persoalan Port Dicson sama sekali tidak diketahui mereka. Tentu saja saya menolak segala tuduhan dan kecurigaan. Saya menjelaskan bahwa saya telah berhenti dan sekarang berdagang bersama saudara Noordin Ibrahim. Setelah pukul 3 saya diperbolehkan pulang tetapi besok pagi harus datang kembali. Esoknya saya disuruh meneken verbaal pemeriksaan, dan disamping dengan tegas diperingatkan kepada saya, bahwa saya selalu akan diperhatikan dalam  soal penyelundupan senjata dan menghasut bangsa Melayu untuk berontak.
         Keadaan di Indonesia menunjukan kemajuan terus menerus, dengan adanya pernyataan Ruum-Royen, cease fire agreement dan akhirnya Konferensi Meja Bundar. Di luar negri kegiatan semacam kita berhenti sama sekali, yang sibuk adalah kegiatan diplomatik. Dari diplomat-diplomat kita yang mundar mandir Jakarta keluar negri, saya mendapat pesan pertama dari Dokter AK Gani, Gubernur Militer Sumatra Selatan, dan dari Jenderal Soehardjo, Inspektur Jenderal TNI di Yogjakarta, supaya lekas pulang.
         Saya sibuk mencari ongkos untuk pulang. Saudara Mu’min sudah pulang terlebih dahulu, dan usaha saudara Noordin masih macet dengan belum dibayarnya hutang hutang dari Jambi dan Bukit Tinggi. Akhirnya saudara Noordin dapat juga mencarikan beberapa ratus dollar untuk ongkos saya, maka sayapun terbang pulang ke Palembang.
         Saya tiba di Palembang pada permulaan November 1949. Waktu itu di Palembang ada saudara Hasan Kasim yang mengepalai perwakilan RI dan mengurus keuangan untuk TNI. Pangkatnya waktu itu ialah major, setelah tadinya dia ini menjadi Kolonel bersama saya, dan merupakan salah satu tokoh perjuangan dan salah seorang pelopor Pembina TNI di Sumatra Selatan. Dalam keadaan luka karena tembakan dia ditawan Belanda. Dan didalam tawanan ia dibujuk Belanda untuk kerjasama, untuk dijadikan Kepala Pasukan Pengawalan dan keamanan di Sumatra Selatan, tetapi ia menolak dan memilih Kamp tahanan.
         Pada tingkat formalnya ada pula Negara Sumatra Selatan. Antara orang orang Negara Sumatra Selatan dan orang orang Republik ini pergaulan sosialnya biasa saja seakan akan tidak terjadi suatu apa. Seakan akan Indonesia (Palembang) ini tidak mengalami pendudukan Jepang, tidak mengalami revolusi 45 dan perjuangan fisik. Dalam sekali pengaruh kekeluargaan, pengaruh adat. Sesuatu yang interessant sekali bagi “Sociologen dan historici.”
         Pada keesokan harinya saya tiba di Palembang itu saya dipanggil TIVG yaitu security tentara Belanda. Oleh karena tidak mengetahui betul letak kantornya saya diantarkan oleh Letnan Syamsu Bahri (sekarang – 1967 - Komandan Kodim Bengkulu), yang tertawan oleh Belanda sesudah suatu pertempuran sengit dengan Belanda didekat Pagar Alam. Sesudah cease fire keadaan tawanannya dilonggarkan Belanda, sekarang tinggal macam tahanan kota lagi, hanya setiap hari harus melapor pada TIVG.
         Komandan TIVG dikota Palembang itu seorang Majoor. Katanya pada saya; “Wekom thuis in uw eigen land. Wij hebben u gevraagd hier te komen voor een paar kleine formaliteiten. U weet evengoed als wij hoe de zaken nu stas, binnenkort gaan wij allemaal toch al naar huis.” yang hendak diketahuinya ialah kapan saya persisnya datang (meskipun dia tentu sudah mempunyai informasi lengkap), menginap dimana dan kapan hendak terus ke Merapi dan Lahat.
         Saya singgah di kantor Hasan Kasim, dan disitu saya diberi pesangon beberapa ribu gulden. Tentu saja sebelumnya kita berpeluk pelukan dan saling cerita pengalaman.
         Beberapa hari kemudian saya berangkat ke Merapi terus ke Lahat menemui keluarga saya, yang tidak pernah saya lihat selama lebih dari 2 tahun lamanya. Sebagai kebanyakan keluarga PEJUANG mereka cukup mengalami kesulitan dan penderitaan.
Adik saya Letnan Bakri dan kedua ipar saya Letnan Hamid dan Letnan Muis masih didalam hutan, meskipun sesudah case fire, sekali kali sudah pulang, karena pasukannya dekat sekali, jaitu di Ulak Pandan. Adik saya Letnan Bakri mengurus supply pasukan Robbani dalam satu kontak senjata dengan Belanda kena tembak dan mendapat luka parah, sekarang sudah baik betul. Istri saya dan kedua adik perempuan saya pernah ditawan Belanda dan dikenakan tahanan kota di Lahat beberapa bulan, karena ada hubungan dengan gerillya.
         Sepuluh hari sesudah itu saya ke Palembang lagi. Suasana sangat gembira. Dimana mana yang dipercakapkan orang tentang KMB segera akan berhasil dan lantas akan disusul penyerahan kedaulatan. Di Palembang saya dicari saudara Saddak yang mendjadi anggota DPR, dari Negara Sumatra Selatan. Dia mengetuai golongan oposisi didalam DPR itu dan dianggap membawa fikiran fikiran Republik. Ia mengatakan kepada saya, kalau perjanjian KMB ditanda tangani segera akan dipilih anggota anggota Parlemen untuk RIS dan dari Sumatra Selatan akan dipilih empat anggota. Suara di DPR Sumatra Selatan ialah hendak memilih orang Republik dan orang pro Republik.
         Nama saya sudah disebut sebut hendak dicalonkan, apakah saya bersedia? Nama lain yang disebut adalah Kyai Achmad Azharie. Saya minta tempo dulu untuk memberikan jawaban yang pasti. Saya pertimbangkan soalnya dengan sematang matangnya sebelum saya diskusikan dengan kawan kawan (orang Republik).
         Parlemen RIS adalah parlemen sementara dengan anggota anggota yang ditunjuk, bukan dipilih. Selekas mungikn RIS harus mengadakan pemilihan umum, untuk itu keadaan didalam RIS hendaklah tenang dan stabil, jadi perlu Parlemen RIS ini dikuasai oleh orang orang Republik,

sedangkan menurut perjanjian KMB Republik menunjuk 50 orang dari 150 orang anggota Parlemen itu, berarti daerah yang diduduki Belanda  akan menunjuk 100 orang. Jadi harus diperjuangkan jumlah 100 ini diisi oleh sebanyak mungkin orang Republik atau orang bersempati pada Republik.
         Besoknya saya menemui Kyai Achmad Azhari, dirumah diseberang Ulu. Saya kenal Kyai Achmad ini dengan baik sekali. Dia seorang peminpin islam yang berani dan Militant, sebelum perang kalau tidak salah partainya ialah PSII. Pada awal 1947 dia diangkat oleh pemerintah RI sebagai Menteri Agama, tetapi karena perhubungan ke Yogyakarta sulit, dan tenaganya sangat dibutuhkan di Sumatra Selatan, maka ia tidak pernah menduduki kementriannya. Waktu Clash ke I ia ditangkap Belanda di Muara Enim, kemudian dilepas lagi. Waktu Clash ke II ia ditangkap kembali bersama orang terkemuka yang dianggap pro Republik. Saya memang telah lebih dahulu berpesan akan datang ke rumahnya, hingga Kyai Achmad telah menunggu saya. Sesudah bersalaman ia mengangkat tangan  dengan jempol keatas dan berkata kata Consequent. Setelah duduk saya tanyakan apa yang dimaksudkannya dengan kata consequent itu. Jawabnya; “Dulu perdjuangan fisik, kita telah melakukan perjuangan menurut kesanggupan kita masing-masing, sekarang tiba perjuangan politik, harus kita isi Parlemen RIS itu.” Rupanya dia langsung membicarakan inti persoalan – ia mendengar saya tidak akan kembali ke Tentara lagi – dan bahwa saya telah di approach oleh saudara Saddak, dan pendapatnya sama dengan fikiran saya sendiri. Tetapi saya katakan, saya hendak konsultasi terlebih dahulu dengan saudara Hasan Kasim, pejabat Republik tertinggi yang ada di kota Palembang.

         Setelah diceritakan dengan saudara Hasan Kasim, maka diapun sangat menjetujuinya. Lalu saya sampaikan kepada saudara Saddak bahwa saya bersedia menerimanya.
         Memang setelah parlemen RIS terbentuk ternyata banyak sekali orang orang Republik, atau orang orang yang terang-terangan pro Republik masuk di Parlemen RIS melalui pengangkatan bermacam-macam Negara bagian. Saya temui misalnya dari Indonesia Timur saudara Ida Bagus Manuabe, yang pada waktu pemberontakan Ngurah Rai di Bali, lebih dari 2 tahun lamanya dimasukan Belanda dalam penjara. Ada lagi saudara Mr. Tadjuddin Noor, saudara Andi Gappa, saudara Anton Manoppo, saudara Olii dan lain-lain. Dari Jawa Timur saudara Djaswadi Suprapto, saudara Arso dari Madura, saudara Zainal Halim yang sesudah dua tahun jadi Anggota kembali Kepolisian, karena asalnya dia dari polisi RI. Dari Jawa Barat hampir seluruhnya adalah orang Republik.
         Sayang setelah terbentuknya Parlemen RIS dengan sebagian besar anggotanya orang Republik atau orang yang pro Republik, timbul perjuangan kepartaian yang sangat sengit, yang akibatnya sama-sama kita alami sekarang.
         Saya sendiri terpilih bersama Kyai Achmad Azhari, saudara Saddak, dan Saudara Hasan oleh DPR Negara Sumatra Selatan untuk menjadi anggota Parlemen RIS dan pada awal bulan Februari Parlemen ini dilantik dan kita bersumpah setia kepada Negara RIS yaitu suatu Negara Indonesia yang souverein dan merdeka.
         Sekian sejarah saya sejak diperintahkan Bung Hatta ke luar negri sampai menjadi anggota Parlemen RIS.
         Selandjutnya komentar dari saya mengenai saya tidak berjuang dan saya federalis.
         Tentang yang pertama dapatlah dipersaksikan dengan sejarah yang saya paparkan ini. Menurut hemat saya, saya telah berusaha melakukan tugas saya sebagai seorang PATRIOT dalam kondisi dimana saya berada, saya telah berusaha untuk merugikan pemerintah Belanda dengan mempertaruhkan keselamatan dan nyawa saya.
         Tentang yang kedua dapat saya jelaskan seperti berikut; Saya tidak pernah bekerja atau bekerja sama dengan Belanda ataupun mencari kompromi dengan Belanda. Malahan setiap kontak saya tolak, baik seperti saya ceritakan melalui nenek saya maupun di Singapore, ataupun sewaktu saya tertangkap di Dabo, Singkep, dimana sebetulnya dengan mudah saya melepaskan diri dari segala kesulitan materieel yang saya hadapi dengan mengatakan kepada Kepala Polisi Singkep; Ik wil de heer Wijnmaalen persoonlijk spreken, ik ben zoo en, hij kent mij.” (Saya akan bicara pribadi dengan Mr. Wijnmaalen – tahun 1934 Wijnmaalen menjadi controeler di Lahat –  pada waktu itu bapak menjadi Pasirah, otomatis kenal dengan Wijnmaalen – Menurut Ahmad Bastari   - mantan Gubernur Sumatra Selatan – bapak adalah  Pasirah termuda di Sumatra sebelum perang dunia kedua – lihat surat Bastari – penulis). Ataupun dari Singapore baik sebelum ataupun sesudah ditangkap di Singkep, dengan ongkos hanya 30 sen dollar Malaya saya dapat berkirim surat langsung ke Mr. Wijnmaalen.
         Mengatakan saya Federalis berarti menuduh saja “pengkhianat”. Tentang persoalan pengkhianatan ini hendak saya kupas sedikit. Dalam sejarah dunia banyak kejadian pengkhianatan yang terkenal, kita tinjau beberapa kejadian yang paling terkenal sebagai contoh.
         Labienus seorang Panglima bawahan Julius Caesar, mengkhianati Caesar ini dan memihak pada musuhnya yaitu Pompeyus, karena Labienus ingin mendapat kedudukan lebih tinggi. Pompeyus memberinya kekuasaan atas Yunani dan Asia Minor. Judas Askeriot mengkhianati Nabi Isa karena uang Ringgit. An Lu Shan seorang Panglima dari Kaisar Cina dynasti Tong, mengkhianati kaisar itu karena ia sendiri hendak membentuk suatu kerajaan diwilayah Cina sebelah Barat.                                                                           
         Benedict Arnold, seorang Jenderal dibawah George Washinton dalam perang kemerdekaan Amerika Serikat mengingingkan kehidupan yang sangat mewah dan luxieus yang tidak bisa dibayar dengan gaji ataupun kekayaan pribadinya. Fouche, menteri dalam negri (yang menguasai polisi) dari kaisar Napoleon mengkhianati pada Louis ke XVIII Bourbon, untuk menyelamatkan diri dan pangkat.
         Demikian beberapa contoh yang saya kutip dari sejarah dunia. Kalau kita lihat dalam daerah yang diduduki Belanda, orang yang bekerja sama itu kebanyakan untuk menyelamatkan diri dan atau pangkat. Di top nya ada pula yang hendak mencari pangkat dan uang. Maka dapat saya katakan: “Bagi diri saya tidak ada apapun yang hendak saya selamatkan dari Belanda.” Sewaktu masih di Yogyakarta, adik saya “Muis” waktu itu Letnan, mengawatkan kepada saya, bahwa rumah kita dikampung karena kosong diduduki oleh Belanda, mungkin akan dibakar oleh anak-anak kita sendiri. Saya kawatkan kembali “silahkan”. Tidak ada pula yang saya takuti atau khawatiri, karena saya tidak berdiam didaerah Belanda sewaktu dia masih berkuasa.                                                         
         Waktu saya pulang kekuasaannya sudah hampir lenyap untuk selama lamanya. “Kalau saya menginginkan Pangkat atau Harta dengan tidak memilih dari mana asalnya, maka saya harus mendekati Belanda pada tahun 1948, yang mana saya sebut dengan mudah dapat saya lakukan, tetapi saya tidak punya jiwa pengkhianat, dan sejarah membuktikan bahwa saya tidak melakukan itu. 
         Mengenai suara, bahwa saya hendak menjual negara pada Amerika, karena terjadinya masih baru sekali, dan semua pelakunya masih hidup, yaitu pelaku dalam Gerakan Daerah, maka saya cukup mengatakan; “Saya tidak pernah mendekat pada Amerika atau pun agen-agennya, baik didalam negri ataupun diluar negri.” Ini cukup diketahui, baik oleh Kolonel Barlian maupun Mayoor Nawawi, ataupun saudara Harun Sohar.
         Mengenai pendapat dan pendirian serta sikap saya terhadap Sukarno, Orla dan PKI, maka dua kejadian yang saya gambarkan dibawah ini dapat menjadi gambaran dan ukuran.
         Pada suatu hari diujung tahun 1963 saya ketemu saudara Hasan Kasim, di jalan Tanah Abang II, lalu kita singgah di kantor Noordin Ibrahim untuk ngobrol, karena saudara Hasan Kasim dan saya walaupun sama-sama tinggal  di Jakarta, tetapi telah berbulan bulan tidak ketemu, apa lagi ngobrol atau bertukar fikiran. Saudara Hasan Kasim sejak dari muda saya hormati, sejak dia memimpin Indonesia Muda dan saya menjadi anggota biasa.               
         Kita telah biasa bertukar fikiran berdiskusi ataupun berdebat. Di zaman Jepang, di zaman perjuangan, sesudah penyerahan kedaulatan, di zaman gerakan daerah dan sesudahnya. Kita tidak senantiasa bertemu pendapat, tetapi saya tetap hormat padanya karena pendapatnya senantiasa jujur, tidak pernah dipengaruhi kepentingan diri, tidak pernah bersifat munafik.
         Pada hari itu saya terus menyerang dia, karena dalam politik Sukarno mengganyang Malaysia ini jullie di DPR diam saja. Apakah keuntungan yang dapat ditarik Indonesia dari Konfrontasi ini?  Tidak ada, malahan dengan konfrontasi ini kita bukan saja akan berselisih dengan Negara Barat, tetapi semua Negara netral akan menjauhi dan mencurigai kita.        
         Bukankah dalam konfrontasi ini kita mencampuri urusan dalam negara lain. Jadi sama dengan Hitler yang mencampuri urusan dalam negri Cheko, Austria, Polandia, lalu menaklukkannya. Atau Italy dengan Abessynia. Apa lagi negri kita bukan sama sekali Negara Industri, semua perlengkapan perang harus dibeli dari negara lain dengan devizeen, produksi kita masih rendah sekali, ekonomi kita bisa hancur. Malahan Inggris yang kita jadikan sasaran bertubi-tubi baik didalam negri maupun diluar negri akan lebih menarik keuntungan dari situasi ini dari pada kita sendiri.
         Dalam keadaan terjepit karena konfrontasi ini Malaysia tentu akan minta tolong pada Inggris dalam segala soal. Pasukan, senjata, semuanya memperkuat Poundsterling, apa lagi ekonomi Malaysia tambah akan merapatkan diri kepada Inggris.
         Jadi melalui logika malahan konfrontasi Indonesia menguntungkan Inggris. Tetapi yang paling untung tentu RRT yang hendak menguasai seluruh Asia Tenggara. Dengan ketegangan konfrontasi, partai-partai Komunis, baik di Indonesia ataupun Malaysia bertambah kuat, dan untuk ini semua RRT tidak perlu keluar apa apa. Indonesia semua yang bayar, dengan darah putra-putranya, dengan memencet produksi sehingga perekonomian akan berantakan. Terhadap kita, yang betul Nekolim ialah Cina itu.                 
         Saudara Hasan Kasim mula-mula mempermainkan saya. Dia senantiasa menginterupsi saya, memuji Sukarno, mengatakan Tengku Nekolim, hingga serangan saya bertambah bersemangat, tetapi ia akhirnya mengatakan; “Apa kau kira hanya kau saja yang bisa menganalisa begini. Tetapi katakan, coba katakan dengan terang-terangan dan kuat-kuat, hingga seluruh dunia mendengar. Kau akan ditangkap, mungkin harta bendamu akan di beslagh dan dibagi-bagi, anak istrimu akan terlantar dan menderita, dan tidak seorang pun akan menoleh kau. Kalau kita tidak beranak istri atau berkeluarga bisa  kita menjadi “martelaar”, seperti Gandhi yang telah melepaskan ikatan maatschappelijk, yang menganggap seluruh dunia ini adalah keluarga sekandungnya, yang tidak mempunyai harta pribadi apapun, kecuali yang dipakainya.                                                                                                
         Tetapi kita manusia biasa, kewajiban kita yang pertama adalah terhadap anak istri kita. Apa kau kira saya tidak sadar bahwa Sukarno sudah menjadi diktator yang zalim?  Waktu mengangkatnya menjadi presiden seumur hidup, saya tidak mau hadir, padahal telah dipanggil berulang ulang. Saya tetap di Bandung (tempat MPRS bersidang),  tetapi saya tidak mau memberikan suara saya untuk Sukarno. Saya tidak sanggup untuk menentang Sukarno secara terbuka.” Saya terdiam, karena dalam hati saya kagum pada saudara Hasan Kasim. Ia tidak mencari alasan yang berbelit-belit yang akhirnya tidak memuaskan siapapun juga untuk membela dirinya, atau untuk membenarkan politik Sukarno.
         Kejadian kedua adalah sebagai berikut: Pada pertengahan 1964 saya datang ke Palembang dari Jakarta untuk melihat keluarga. Sekali hari saya mampir dirumah Sajuti Rozak di jalan Mayor Ruslan. Saya dengar dirumahnya acap kali bermalam orang-orang PKI dari Ogan Komering Ilir. Karena Sajuti ini saya anggap sebagai adik, iapun dalam revolusi pernah ikut saya ke Prapat, dan tadinya dia menjadi anggota PSI, maka saya tanyakan padanya kenapa ia sekarang rapat dengan orang-orang PKI. Maka jawabannya demikian; “Ini hanya taktik saja. Soalnya begini, Bupati Kota Agung saudara Nuh Matjan ditarik oleh Panglima, karena terlalu banyak tuduhan korupsi. Sekarang kedudukan Bupati lowong, dan saya hendak mencalonkan diri, orang-orang PKI Ogan Komering Ilir ini mau menyokong saya.” Saya peringatkan padanya; “Awas kau hati-hati, PKI tidak pernah menyokong seseorang atau suatu golongan, kecuali orang atau golongan itu dapat dipergunakan untuk kepentingannya”.
         Sedangkan dalam Nasakom dan Front Nasional ini yang jalan sebetulnya hanja strategi PKI. Ini bukan kebetulan, tetapi suatu keputusan Komintern menetapkan, orang komunis tidak boleh bersekutu dengan orang lain, kecuali persekutuan itu dapat digunakan untuk kepentingan Komunis. Dan ini dibuktikan dalam sejarah, misalnya Front Populaire di Perancis pada pertengahan tahun tiga puluhan benar di iutbuiten oleh komunis. Di Spanyol, dimana semua golongan penentang fasis bersatu dalam pemerintah, termaksud komunis. Mereka ini, (waktu itu terjadi perang saudara antara Golongan pemerintah melawan Jenderal Franco), mengintimidasi dan membunuh untuk menguasai pemerintah dan tentara.
         Stalin mengirim Jenderal nya yang terpandai untuk membantu perang dan disamping itu Jenderal GPU, Gestapo nya yang terlihai untuk dapat menguasai dari dalam. Tetapi setelah terbuka bagi Stalin jalan langsung untuk berunding dengan Hitler, yang menyokong Franco, maka oleh Stalin pemerintah yang sah Spanyol ini, ditikam dari belakang sehingga Franco yang menang. Tetapi Stalin dapat bersahabat dengan Hitler yang termaktup dalam perjanjian Agustus 1939, yang  bersifat non agressie, dan kedua pembagian Polandia, membagi satu negara yang merdeka dan berdaulat.
         Orang komunis berdisiplin sebagai seorang tentara, dan yang membuat rencana dan policy adalah orang-orang yang ahli dan berpengalaman. Jadi Sajuti Rozak harus hati-hati sekali, dan soalnya jangan dianggap enteng. “Tetapi kau sekarang telah dekat dengan mereka, tidak apalah asal kau dekati Panglima Makmun Murod, dan kau laporkan soal PKI ini semua kepadanya. Akhirnya PKI ini tentu akan merebut kekuasaan. Semua kekuatan partai-partai politik termaksud Sukarno, lambat laun dikuasai oleh PKI, sampai masuk kantongnya betul-betul, kecuali tentara. Hanya tentara yang dapat menghalangi komunis merebut kekuasaan di Indonesia. Untuk itu kau laporkan semua gerak gerik dan omongan orang PKI itu kepada Brigadir Jenderal Makmun Murod.                                                       
         Biarpun bagaimana disiplinnya mereka toch manusia juga, jadi tidak luput dari nyombong dan membual. Mungkin laporan-laporan kau dapat digunakan oleh Panglima untuk menilai situasi dan mengambil sikap.
         Sayang dia tidak berhubungan terus menerus dengan Panglima waktu itu, hingga sesudah Gestapu ia ditahan sebentar, mungkin dicurigai terlalu dekat dengan beberapa oknum PKI.


Demikianlah adanya



Muhammad Noeh

       Saya berusaha menelusuri  riwayat bapak yang dituliskan disurat tersebut diatas. Ada keinginan saya untuk suatu waktu dapat melakukan napak tilas kisah yang ditulisnya. Mulai dari Singapore memakai perahu layar menuju ke kepulauan Riau, terus ke selat Bangka hingga muara sungai Mesuji. Ditangkap di satu tempat yang disebut Senayan, hingga akhirnya dibawa ke Dabo dan ditahan. Namun hingga kini belum terlaksana.

         Sekitar bulan agustus 1989 saya mencari tempat bapak tinggal saat di Singapore, Minto Road no 12 sesuai dengan apa yang bapak ceritakan dalam suratnya. Ternyata nama jalan itu sudah tidak ada. Saya bertanya kepada warga keturunan Melayu yang usianya sudah lanjut, sekitar usia enam puluhan yang mungkin mengetahui alamat itu. Seorang Melayu yang sudah cukup berumur, mengonformasikan bahwa jalan itu dahulu memang ada yang sekarang masuk di area  Beach Road.
         Sekitar  Beach Rood, ternyata  sudah menjadi puluhan rumah susun hingga agak sulit bagi saya mengawali pencarian. Di lantai dasar rumah susun pada umumnya  terdapat toko kecil dan kedai kopi. Yang biasa duduk-duduk di kedai kopi itu  orang-orang  Melayu yang sudah masuk usia pensiun. Saya hampiri beberapa  kedai kopi seraya menanyakan apakah mengenal orang Melayu  berasal dari Palembang bernama Hasan, dengan ciri berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Setelah mendatangi beberapa kedai kopi, salah seorang yang  cukup berumur memberi petunjuk bahwa  di tower 15 sering duduk-duduk di kedai kopi ciri-ciri orang yang saya tanyakan.                                     
         Di kedai kopi  tower 15 kembali saya bertanya dan seseorang memberitahukan tempat tinggal orang yang saya cari, Hasan dari Palembang, tinggal di lantai 8 no. 6. Saya naik lift ke lantai 8. Ternyata lift hanya berhenti di lantai 5, 10 dan 15. Tower itu memiliki 18 lantai. Saya keluar di lantai 10 dan turun ke lantai 8 melalui tangga menuju apartemen no 6.  Saya mengetuk pintu, keluar seorang perempuan berusia sekitar 20 tahunan membuka pintu dan menyusul kemudian keluar  seorang tua berusia lebih delapan puluh tahun. Saya menanyakan apakah ia Hasan Brori? Ia balik bertanya siapa saya. Lalu saya jelaskan indentitas saya. Spontan ia memeluk saya. Walau sudah uzur ingatannya masih baik dan saya diajak masuk ke ruang tamu yang tidak terlalu besar, bahkan dapat dikatakan sempit.
         Saya katakan sejak pagi saya mencari tempat tinggalnya berdasarkan alamat yang ditulis bapak yaitu Minto Road no. 12, ternyata alamat itu sudah tidak ada, dan telah berubah menjadi tower-tower apartemen. Setelah ia perkenalkan anak dan istrinya, kami memulai pembicaraan sesuai dengan keinginan saya melacak tapak bapak di Singapore pada saat mendapat tugas mencari senjata disini.
         Hasan Brori Mansur adalah adik dari Mayor Hamid Brori Mansur, salah seorang penjuang kemerdekaan dari Sumatra Selatan. Secara tutur keluarga ia ponakan ibu yang berarti masih sepupu saya, dan  saya menyapanya kakak. Pada tahun 1936 ia terpaksa lari dan menetap di Singapore karena di cari oleh polisi Belanda disebabkan memukul seorang controller Belanda. Pada waktu saya coba gugah ingatannya tentang   pengalaman berlayar dari Singapore bersama Bapak, Noordin, Mukmin, menuju   sungai Mesuji di Lampung, yang akhir tertangkap Belanda dan di penjara di Dabo. Ternyata ia masih ingat walaupun saya harus bicara sedikit keras karena pendengarannya mulai berkurang. Apa yang dituliskan bapak masih diingatnya, termasuk pada saat ia memukul awak perahu. Dengan sedikit emosional Hasan Brori mengatakan; “Om Nuh berjuang dengan uang ringgitnya, kalau dia tidak dianggap pahlawan, saya bersedia menghadap presiden sebagai saksi.” Kata-kata yang diucapkannya dengan nada tinggi dan membekas sangat dalam pada saya. Untuk nama-nama seperti Noordin, Mu’min, tidak pernah berjumpa pada saat saya menelusuri riwayat bapak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar