Selasa, 04 Oktober 2011

Kepala Staf Komandemen Sumatra

Pidato singkat Bung Karno usai ia membacakan teks Proklamasi pada 17 Agustus 1945, pukul 10.00, di jalan Pegangsaan Timur no 56, yang sekaligus menjadi tempat tinggal Bung Karno pada waktu itu, sayang rumah yang sangat bersejarah ini dipunahkan, dan  dijadikan sekedar Gedung Pola pada masa Soekarno menjadi presiden. Mengapa Soekarno yang selalu mendengung-dengunkan jangan melupakan sejarah malah menafikkan rumah yang paling bersejarah dalam kaitan kemerdekaan Indonesia?
         Gelegar “proklamasi” menggema keseluruh pelosok Nusantara, bagai badai “tsyunami” menggelotor kesemua sudut Indonesia, setelah 350 tahun menahan dahaga kemerdekaan. Gema itupun terdengar di Bumi Sriwijaya. Berita proklamasi pertama kali diketahui oleh Maelan dari meja tugasnya sebagai operator/redaktur Domei Palembang dan ia pula yang menyebarkan berita ini di Palembang. (1)
         Baik kiranya diketahui proses teks proklamasi itu dibuat. Pukul 02.00 menjelang fajar 17 Agustus 1945, Sukarno-Hatta kembali dari Rengasdengklok, setelah di culik oleh kelompok pemuda yang dipimpin oleh Sukarni yang menghendaki agar kedua tokoh itu segera menyatakan Indonesia merdeka.                                                   
         Berkumpul di rumah Maeda (seorang Laksamana Angkatan Laut Jepang yang bersimpati pada perjuangan Indonesia) Sukarno-Hatta dan semua anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ditambah sekitar 50 orang tokoh-tokoh terkemuka kelompok pemuda.                                                                                            
         Sebetulnya teks proklamasi sudah dibuat pada pada 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta. Tapi tidak seorang di antara mereka yang membawanya. Bung Karno dan Bung Hatta begitu tergesa-gesa menghadiri rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) setelah mereka di culik kelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Karenanya, malam itu juga harus dibuat teks proklamasi. Dibuat panitia kecil yang terdiri dari Sukarno dan Hatta bersama dengan Subarjo, Sukarni dan Sayuti Melik. Mereka  masuk satu ke satu ruangan di rumah Maede,  duduk mengitari sebuah meja untuk membuat teks ringkas proklamasi kemerdekaan Indonesia. (2)
         Sukarno berkata: “Aku persilahkan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu, sebab bahasanya ku anggap yang terbaik. Sesudah itu kita persoalkan bersama.-sama. Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muka sidang lengkap yang sudah hadir di ruang tengah,” Hatta menjawab: “Apabila aku mesti memikirkannya, lebih baik Bung menuliskan, aku mendiktekannya.” Lalu Hatta mendiktekan dan Sukarno menuliskannya disecarit kertas. “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.” (3)                                                            
        Kalimat ini hanya menyatakan kemauan bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, kata Hatta. Lalu ia mendiktekan kalimat berikutnya. “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat singkatnya.” Setelah berdiskusi sebentar, teks itu disetujui oleh mereka berlima dan dibawa ke ruang tengah . Sukarno membuka rapat dan membacakan teks proklamasi perlahan-lahan dan berulang ulang. Lalu ia bertanya kepada yang hadir apakah dapat menyetujui? Gemuruh suara semua yang hadir menyatakan setuju ! (4)                                                                                                                                                                              
         Sesudah itu Hatta bicara mengemukakan: “Kalau saudara semuanya setuju, baiklah kita semua yang hadir di sini menandatangani naskah proklamasi Indonesia Merdeka ini sebagai dokumen yang bersejarah. Ini penting bagi anak cucu kita. Mereka harus tahu, siapa yang memproklamirkan Indonesia Merdeka. Ambilah contoh kepada naskah proklamasi Kemerdekaan Amerika Serikat dahulu. Semuanya yang memutuskan ikut menandatangani keputusan mereka bersama.” Sejenak rapat diam dan tidak terdengar diskusi apapun tentang yang di usulkan oleh Hatta. (5)                                                                                                                                              
         Tidak lama sesudah itu Sukarno maju kemuka, menyatakan dengan suara lantang. “Bukan kita semuanya yang hadir di sini harus menandatangani naskah itu. Cukuplah dua orang saja menandatangani atas nama rakyat Indonesia yaitu Bung Karno dan Bung Hatta.” Ucapan ini disambut oleh seluruh yang hadir dengan tepuk tangan yang riuh dan muka berseri tanda setuju. Hatta merasa kecewa, karena ia berharap mereka ikut menandatangani suatu dokumen yang bersejarah, yang mengandung nama mereka untuk kebanggaan anak cucu di kemudian hari. (6)
         Lalu apa kata Bung Karno tentang detik-detik menjelang proklamasi?  Setelah membacakan teks proklamasi 17 Agustus 1945, Sukarno berkata: “Tidaklah pernyataan ini dituliskan diatas perkamen dari emas. Kalimat-kalimat ini hanya digoreskan pada secarik kertas. Seseorang memberikan buku catatan bergaris-garis biru seperti yang dipakai pada bukutulis anak sekolah. Aku menyobeknya selembar dan dengan tanganku sendiri menuliskan kata-kata proklamasi sepanjang garis biru itu.” (7)                                                                                                                   
         Sukarno tidak menceritakan peran Hatta sebagai konseptor Teks Proklamasi. Sukarno tidak mengakui bahwah teks itu didiktekan oleh Hatta dan ia hanya menuliskan.                                                           
         Lebih lanjut Sukarno bertutur: “Rakyat sudah berkumpul. Ucapkanlah Proklamasi ! Badanku masih panas, akan tetapi aku masih dapat mengendalikan diriku. Dalam suasana dimana setiap orang mendesakku, anehnya aku masih dapat berpikir tenang. Hatta tidak ada, kataku. Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada. Tidak ada orang yang berteriak – Kami menghendaki Hatta !, Aku tidak memerlukannya. Sama seperti juga aku tidak memerlukan Syahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri disaat pembacaan proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannya sendirian. Didalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada.” (8)                                                                                                                                                      
         Mencermati pernyataan dua tokoh proklamator pada biografinya masing-masing, kita disajikan pada dua fakta sejarah yang berbeda. Siapakah yang membuat konsep teks proklamasi yang sesungguhnya? Orisinal pemikiran Sukarno? Atau pemikiran Hatta yang di tulis oleh Sukarno. Dengan arogan Sukarno mengatakan bahwa pada saat-saat yang menegangkan itu, ia tidak membutuhkan siapapun, baik Hatta atau Syahrir. “Aku melakukannya seorang diri, peranan Hatta dalam sejarah tidak ada” Kata Sukarno.

         Dalam pendahuluan buku ini sudah saya tuliskan bahwa – Journal est L’homme – (jurnalistik adalah pribadi). Bahwa sesungguhnya tulisan sejarah manapun tidak akan lepas dari pandangan atau visi si penulis. Yang menjadi catatan saya, bahwa para politisi sipil yang menjadi motor penggerak proklamasi pada akhirnya membuka ruang sejarah bahwa mereka sesungguhnya tidak padu sejak awal republik ini berdiri, benih-benih konflik antar para politisi sudah mulai tersemai sejak kemerdekaan, berlanjut panen berlimpah ruah di era reformasi sekarang ini. Lalu berapa lama lagi rakyat memiliki daya tahan menonton “Brata Yudha para politisi?”                                                                                       
         Setelah Hatta mundur sebagai Wakil Presiden, Syahrir di benamkan sebagai tahanan politik hingga wafat. Sukarno menjadi peminpin digjaya dengan dalih demokrasi terpimpin.
         Kembali pada gema  proklamasi yang mengelegar di Palembang. Mailan menyebarkan berita itu ke masyarakat terutama pada Dr. A.K. Gani yang dianggap sebagai tokoh politik di Sumatra Selatan.                                                                                                                                                               
         Pada tanggal 22 Agustus beberapa Opsir Gyugun berkumpul di Palembang menemui Dr. A.K. Gani membicarakan tentang perlu adanya satu badan untuk menjaga keamanan dan mempertahankan proklamasi. Dalam pertemuan tersebut antara lain hadir ex Kolonel Zainal Abidin, Kolonel Hasan Kasim, Mayor Dani Efendi dan ex Kolonel M Nuh. Selanjutnya Dr. A.K. Gani mengorganisir mantan opsir Gyugun membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). (9)  
         Pada 24 Agustus 1945, datang ke Palembang membawa salinan teks proklamasi, Mr. Teuku Muhammad Hasan, Mr Abas dan Dr. Amir. Pada hari itu juga diadakan rapat untuk mengatur dan mempersiapkan Pemerintahan Republik Indonesia di Sumatra Selatan. Rapat tersebut didukung oleh segenap lapisan masyarakat mulai dari mantan Gyugun, pemuda dan  politisi di Sumatra Selatan.                                                                                                                                                                 
         Pada malam itu juga disiapkan segala kekuatan sesuai dengan kemampuan yang ada untuk bergerak menyusun kekuatan yang kompak. Seiring dengan ini di rumah Matcik Rosak telah berkumpul pemuda-pemuda revolusioner diantaranya, Abi Hasan Said, Zaelani, Husin Ahmad, Mailan, membuat pamflet dan semboyan di kota Palembang. (10)
         Oleh mantan Opsir Gyugun dan pemuda-pemuda revolusioner dibentuk pula Badan Keamanan. Organisasi inilah yang kelak menjadi inti Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) di Sumatra Selatan. Dalam taraf permulaan mereka bergerak sendiri-sendiri dan dalam arah stabilisasi untuk mencapai kesempurnaan. Palembang adalah pusat kegiatan politik, pusat kosentrasi tentara Sekutu dan Belanda. Dengan sendirinya kota Palembang menjadi pusat garis penentuan taktik, strategis, militer, politik dan ekonomi di Sumatra Selatan. (11)
         Pembentukan Barisan Keamanan dimulai dari Palembang yang dipimpin oleh Kolonel Hasan Kasim, Letnan Kolonel Bambang Utoyo, Mayor Dani Efendi, Letnan M Abdullah, Mayor Rosad, Mayor Arif. Barisan Keamanan di kabupaten Lahat dibentuk oleh Kolonel Muhammad Nuh, Letnan Kolonel Barlian, Ali Jati, Karim, Mat Rabin, Maris dan Letnan Kolonel Umar Ibrahim. Sedang di Muara Enim oleh Letnan Kolonel Idham Danal dan Letnan Muis. (adik ipar Kolonel M. Nuh)  (12)

         Dengan sebuah maklumat, pada 5 Oktober 1945, Pemerintah membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Maklumat yang singkat itu berbunyi sebagai berikut:
        
Untuk memperkuat perasaan keamanan umum,
maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat

Jakarta, 5 Oktober 1945
Presiden Republik Indonesia

Soekarno

         Berdasarkan maklumat itu, Soeprijadi, tokoh perlawanan PETA di Blitar ditetapkan sebagai Pimpinan Tertinggi TKR dengan pangkat Jenderal, dan mantan Mayor KNIL Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai Kepala Staf Umum dengan pangkat Letnan Jenderal. Ternyata kemudian Soeprijadi yang di kenal sebagai tokoh pemberontakan PETA di Blitar tidak pernah muncul, hingga akhirnya Pak Oerip memandang perlu untuk mengadakan Konferensi Besar TKR untuk menyusun organisasi tentara di Indonesia. Konferensi dihadiri oleh seluruh  Panglima Divisi dan Komandan Resimen di Jawa dan Sumatra pada 12 Nopember 1945, yang kemudian memilih Pak Dirman sebagai Panglima Besar TKR. (13)
         Pada tanggal 6 Oktober 1945, Residen Palembang Dr. A.K. Gani menerima pengangkatan dari Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat (MBTKR) sebagai Koordinator/Organisator TKR seluruh Sumatra. Tindakan pertama usaha dari A.K. Gani adalah mencari orang yang acceptable, yang dapat diangkat menjadi Panglima TKR seluruh Sumatra.                                          
         Kepada seluruh Residen daerah Sumatra telah dikirim kawat agar melaporkan jika di daerahnya masing-masing terdapat tenaga yang telah melalui pendidikan Militer KMA Breda. Penjelasan yang didapat dari seluruh daerah, bahwa tenaga yang dimaksudkan tidak ada, hanya dari Lampung mendapat penjelasan bahwa ada seorang yang pernah menjadi Opsir Mangkunegaran. Yang dimaksud adalah Raden Soehardjo Hardjowardojo.                                         
         Kalau akan diadakan perembukan-perembukan atau rapat-rapat guna memilih jabatan tersebut diatas, sudah tentu memakan waktu yang lama sedangkan yang dihadapi malah pekerjaan dan perjuangan yang besar. Figur A.K. Gani sebagai ahli Politik dan Pemerintahan Sipil dapat pula menyelenggarakan dan membangun dalam arena organisasi militer di Sumatra.
         Mengingat efisiensi dan urgensi maka A.K. Gani menetapkan Raden Soehardjo Hardjowardojo sebagai Panglima Komandemen Sumatra dengan pangkat Jenderal Mayor dan Muhammad Nuh sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra dengan pangkat Kolonel.         
         Dengan pengangkatan dua perwira tersebut, mulailah lembaran baru dalam sejarah pembentukan Tentara di Sumatra. Dan di Sumatra Selatan pemerintah terasa adanya pimpinan kemiliteran. Komandemen Sumatra mula-mula berkantor dibekas gedung Holandche Beton Mij di jalan Talang Jawa Lama, Palembang. (14)

         Kemudian Markas Komandemen Sumatra pindah ke Bukit Tinggi di Sumatra Barat dan  Prapat,  Sumatra Utara. Dilakukannya perpindahan Markas Komandemen Sumatra, semata berdasarkan kepentingan strategi militer  untuk menghadapi agresi militer Belanda yang kemudian terbukti.                                                                                                                                                    
         Seperti diketahui, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo telah lebih dahulu memindahkan Markas Besar Tentara dari Jakarta ke Purwokerto lalu ke Yogjakarta, baru pemerintahan sipil menyusul kemudian.  Pemindahan Markas Besar TKR dengan memperhitungkan strategi militer tentunya. (15)
         Tepatnya pada Juli 1946, Jenderal Mayor Soehardjo Hardjowardojo beserta  stafnya pindah  dari Bukit Tinggi ke Prapat, Sumatra Utara. Staf Komandemen Sumatra terdiri dari Kolonel Muhammad Nuh dari Palembang sebagai Kepala Staf, Kolonel Simbolon, bekas Panglima Divisi di Palembang (Organisasi), Kolonel Abunjani, bekas Komandan TRI Jambi (Siasat) dan Letnan Kolonel Kartawirana dari Jambi (Perhubungan dan Penerangan). Juga Kolonel Hasan Kasim, bekas Panglima Sumatra Selatan, ditempatkan di Prapat selaku wakil A.K. Gani dalam kedudukannya sebagai wakil dari Menteri Pertahanan di Sumatra. (16)
         Pada pertengahan bulan Oktober 1945, sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra, Kolonel Muhammad Nuh ditugaskan oleh Koordinator Tentara di Sumatra Dr. A.K. Gani untuk berangkat ke Yogyakarta dengan tujuan untuk menghadiri Konferensi Besar TKR yang pertama, dan juga guna meminta petunjuk dan penjelasan dari Kepala Staf Umum Markar Besar TKR Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo berkenaan dengan strategi pertahanan/perjuangan  Tentara di Sumatra.                                                                                                                                                                
       Selain menghadiri Konferensi Besar TKR, bapak juga  menghadiri Konggres Pemuda Seluruh Indonesia bersama Harun Sohar (kemudian menjadi Mayor Jenderal – Panglima Kodam Sriwijaya). Walaupun secara defacto bala tentara Jepang telah menyerah kepada Sekutu, sambil menunggu kedatangan pasukan Sekutu, tentara Jepang diwajibkan melakukan statusqo sampai pasukan Sekutu datang. Karenanya, tentara Jepang membuat peraturan melarang masyarakat bepergian dari Sumatra ke Jawa atau sebaliknya.

Tentunya penugasan bapak ke Yogyakarta harus menghindari dari pengawasan tentara Jepang, lebih-lebih bapak membawa uniform sebagai Kolonel lengkap dengan pedang Samurai (seragam opsir pada waktu itu). Bersama Harum Sohar, bapak meninggalkan Palembang menuju Tanjung Karang. Dari situ dilanjutkan ke pelabuhan Panjang. Dengan menyewa perahu nelayan mereka menyeberang ke Merak, terus dilanjutkan ke Jakarta.                                                  
         Di Jakarta Muhammad Nuh bertemu dengan Dr Ery Sudewo dan   beberapa Mahasiswa yang tinggal di Jalan Prapatan no 10, untuk mendapatkan informasi situasi perjuangan di pulau Jawa. Setelah itu menemui Kolonel Didi Kartasasmita di Jalan Ikada Selatan untuk membicarakan masalah ketentaraan terutama mengenai kesiapan menghadiri Konferensi Besar TKR di Yogjakarta. (17)
           Pada waktu bapak sedang berada Yogjakarta, pada 14 Oktober 1945 di Pagar Alam, bekas Opsir-opsir Gyugun yang merasa bertanggung jawab dan memiliki jiwa muda serta cinta tanah air, berusaha menyusun satu organisasi tentara  sebagai salah satu aparat negara yaitu: “Satu Angkatan Bersenjata” di Sumatra Selatan.                                                                                                                         
         Mantan Opsir Gyugun itu dipimpin oleh Pangeran Emir Muhammad Noor, dengan menyandang pangkat sebagai Jenderal Mayor. Mantan Opsir Gyugun yang hadir di rapat itu ialah:

Dari Lampung            : M. Ryacudu, Alamsyah, A Hakim
Dari Palembang                  : Hasan Kasim, Bambang Utoyo dan Mursedo
Dari Lahat                             : M Simbolon, Bastari.
Dari Bengkulu             : ex Mayor Iskandar, ex Kapten Neva.
Dari Jambi                             : Abunjani.
            
         Lain-lain perwira Gyugun yang datang pada waktu itu (yang dapat meninggalkan tugas) membawa/mewakili suara-suara Opsir Gyugun yang tidak datang. Dalam rapat tersebut Pangerang Emir Muhammad Noor menunjukkan satu konsepsi dari organisasi tentara yang di organisir. Daerah Sumatra Selatan dijadikan satu komando dan di tiap-tiap keresidenan di bentuk Divisi. Bapak tidak hadir di rapat itu karena bersama Harun Sohar sudah berangkat ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat pemuda seluruh Indonesia sekaligus mengikuti Konferensi TKR yang pertama. Struktur Tentara yang dibentuk  Jenderal Mayor Pangeran Emir Muhammad Noor berdasarkan hasil rapat di Pagar Alam adalah sebagai berikut:

Panglima Sumatra Selatan                   :  Jenderal Mayor Pangeran Emir
                                                           Muhammad Noor.
Kepala Staf                                    :  Kolonel Muhammad Nuh
Komandan Div. Palembang Ulu          :  Kolonel M Simbolon
Komandan Div. Palembang Ilir  :  Kolonel Hasan Kasim
Komandan Div. Lampung          :  Soehardjo Hardjowardo
Komandan Div. Lampung          :  Kolonel Abunjani
Komandan Div. Bengkulu           :  Kolonel Barlian

         Formasi yang dimaksudkan diatas adalah menurut sistem organisasi tentara Jepang. Kita nilai apa yang tersiar dalam jiwa dan idée tersebut, sehingga lahirlah Angkatan Bersenjata, walaupun organisasinya belum sempurna. Tetapi hal ini harus diakui kenyataannya, bahwa hasil dari rapat tersebut adalah sebagai landasan pertama untuk bangunan Angkatan Perang di Sumatra Selatan. (18)
         Walau demikian, tentu saja apa yang dilakukan oleh Pangeran Emir Muhammad Noor adalah suatu tindakan insubordinasi. Dengan mengangkat dirinya sebagai Jenderal Mayor sekaligus menetapkan dirinya sebagai Panglima Sumatra Selatan.                                                                                                                                                                                 
         Dr. A.K. Gani yang sudah mendapat mandat melalui kawat/telegram dari pemerintah pusat sebagai Koordinator/ Organisator Tentara di Sumatra, dan berdasarkan mandat itu ia telah menetapkan Jenderal Mayor Soehardjo Hardjowardojo sebagai Panglima Komandemen Sumatra dan Kolonel Muhammad sebagai Kepala Staf  Komandemen Sumatra.
        Desember 1945 bapak tiba kembali di Palembang setelah mengikuti Konferensi Besar TKR di Yogyakarta, dengan  membawa pesan-pesan dan surat pengangkatan Dr. A.K. Gani sebagai Koordinator/Organisator Tentara di Sumatra dari Presiden Sukarno.                                                                                                                             
         Kemudian Dr. A.K. Gani ditunjuk sebagai Menteri Kemakmuran, dan pada Nopember 2007 ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Sebelumnya, Sultan Mahmud Badarudin II telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Hingga kini, dari Sumatra Selatan, hanya mereka berdua yang menyandang gelar Pahlawan Nasional.
         Jika sebelumnya hanya memutuskan Panglima Komandemen Sumatra Mayor Jenderal Soehardjo Hardjowardojo dan Kepala Staf Komandemen Sumatra Kolonel M Nuh. Pada 27 Desember 1945, Koordinator/Organisator Tentara di Sumatra Dr. A.K. Gani menetapkan Komandemen Sumatra dengan organisasi yang lengkap sebagai sebagai satuan tentara yang utuh untuk seluruh Sumatra.

Panglima Komandemen Sumatra                : Jenderal Mayor Soehardjo 
                                                                                  Hardjowardojo
Kepala Staf Komandemen Sumatra  : Kolonel Muhammad Nuh
Komandan Divisi I Sumsel-Lahat :  Kolonel M Simbolon
Komandan Divisi II Palembang            :  Kolonel Hasan Kasim
Komandan Divisi III Bukit Tinggi            :  Kolonel Dahlam Jambek
Komandan Divisi IV Sumatra Timur     :  Kolonel Ahmad Tahir
Komandan Divisi V Aceh Bireun                   :  Kolonel Samaun Gaharu
Komandan Divisi VI Sibolga                  : Kolonel Muhammad Din (19)

         Selanjutnya, Panglima Komandemen Sumatra Jendral Mayor Soehardjo Hardjowardojo dan bapak sebagai Kepala Staf, bersama staf Komandemen Sumatra, mengadakan perjalanan keseluruh Sumatra dari Lampung sampai ke Aceh, untuk  melantik dan membentuk struktur tentara di Sumatra.           
         Penyusunan yang pertama di Sumatra Selatan, dimana dibentuk 2 divisi. Divisi I meliputi daerah Lampung, Bengkulu dan Palembang Hulu, dan Divisi II meliputi daerah Palembang Hilir, Jambi dan Bangka Belitung. Staf Divisi I berkedudukan di Lahat, sebagai Panglima Divisi I ditetapkan Kolonel Simbolon. Staf Divisi II berkedudukan di Palembang, dan sebagai Panglima Divisi II ditetapkan Kolonel Hasan Kasim. Pada tanggal 27 Januari 1946 di Palembang diadakan pelantikan pertama oleh Panglima Komandemen Sumatra atas Panglima Divisi II Kolonel Hasan Kasim. Komandan Resimen 1 Divisi II Palembang dibawah pimpinan Letnan Kolonel Bambang Utoyo. Resimen 2 Jambi dibawah pimpinan Letnan Kolonel M Insya. Dan Resimen 3 Bangka Belitung dibawah pimpinan Mayor Yunus. Dilantik juga para  Komandan Batalyon, Komandan Kompi, Seksi-serksi dan perwira staf. (20)
         Pada 13 Februari 1946, diadakan pelantikan kedua di Lahat, sebagai Panglima Divisi I Kolonel Simbolon. Dilantik juga 4 Resimen dibawah Divisi I. Resimen 1 Bengkulu dibawah pimpinan Letnan Kolonel Barlian. Resimen 2 Lahat dibawah pimpinan Letnan Kolonel Harun Sohar. Resimen 3 Tanjung Karang dibawah pimpinan Letnan Kolonel Iwan Supardi. Dan Resimen 4 Baturaja dibawah pimpinan Mayor Surbi Bustam. (21)            
         Selesai pelantikan, mereka singgah dan bermalam di rumah Kolonel Muhammad Nuh di dusun Merapi, yang jaraknya sekitar 15 kilometer dari kota Lahat. Di rumah bapak di dusun Merapi.  Pada malam harinya dibicarakan oleh Jenderal Soehardjo, Kolonel Simbolon, Kolonel Hasan Kasim, Kolonel Dahlan Jambek, Kolonel Barlian, Letnan Kolonel Harun Sohar, dan bapak, langkah dan strategi pembentukan tentara di Sumatra sekeluruhan. (22)                                                
         Selanjutnya, Panglima Komandemen Sumatra dan Kepala Staf, beserta staf Komandemen, melantik struktur tentara di Sumatra, mulai dari Resimen XI Divisi I Resemen 3 di Tanjung Karang, hingga Resimen 5 di Kota Raja, Aceh. Dengan sarana perhubungan pada waktu itu, dapat dibayangkan kesulitan perjalanan yang membelah pulau Sumatra untuk melantik sekaligus menertibkan tentara di Sumatra. (lihat surat Let. Jen. TNI Purn Ahmad Taher)                    
         Kapten Satar Lenggang yang menjadi Staf Komandemen Sumatra dan turut serta bersama dengan bapak pada waktu melantik tentara di seluruh Sumatra, menceritakan pada penulis betapa berat tugas yang mereka lakukan. Selain medan yang berat, kendala lain yang harus diatasi adalah  pembangkangan dari tentara-tentara atau laskar-laskar yang sebelumnya sudah terbentuk. Mereka menganggap bahwa tanpa adanya campur tangan pemerintah, tentara dan laskar-laskar telah terbentuk secara swadaya. Mereka mengangkat pemimpinnya sendiri dan berkeras mempertahankannya. Mirip dalam film Naga Bonar, tambah Kapten Satar Lenggang, ajudan bapak, yang mengikuti pembentukan tentara di Sumatra. (23)                                                                                 
         Pada waktu Markas Komandemen Sumatra di Bukit Tinggi, bekerja di Tambang Bara Ombilin,  seorang pekerja bernama Atmo. Ia sangat ahli dalam bidang teknik dan bahan peledak.  Atmo sangat ingin masuk TKR untuk menyumbangkan keahliannya, terutama untuk memperbaiki senjata-senjata yang rusak yang ada di kota Padang sesuai dengan keahliannya, sekaligus membuat senjata yang dibutuhkan oleh TKR.                                                         
         Keahlian Atmo termonitor oleh Markas Komandemen Sumatra dan oleh Panglima Komandemen ditetapkan untuk membantu Markas Komandemen. Kepala Staf Komandemen Kolonel Muhammad Nuh, mengusulkan Atmo untuk dipindahkan dari Ombilin ke Tanjung Enim. Karena Kolonel Muhammad Nuh tahu persis bahwa di tempat itu masih  banyak tersedia bahan-bahan yang bisa dijadikan dinamit, dan di kota Lahat tersedia sebuah bengkel Kereta Api, yang tentu saja peralatannya sangat dibutuhkan untuk memerbaiki dan membuat senjata.
         Usul Kolonel Muhammad disetujui oleh Panglima Komandemen Sumatra.  Lalu Atmo  dipindahkan ke Lahat untuk tugas memperbaiki senjata senjata yang rusak, merawatnya, dan membuat senjata-senjata yang baru bagi kepentingan TKR. Dengan demikian, Atmo yang ditugasi mengkoordinir pekerjaan itu, diberi pangkat Letnan Kolonel, diperintahkan untuk pindah dari Ombilin ke Lahat lalu ke Tanjung Enim, dibawah Panglima Divisi I Lahat.  (24) 
         Setelah seluruh struktur tentara di Sumatra terbentuk dalam satu komando, Komandemen Sumatra menetapkan kota Bukit Tinggi sebagai Markas Besar dan kemudian pindah ke Prapat, Sumatra Utara. (25)

CATATAN
(1)    BUMI SRIWIJAYA BERSIMBAH DARAH
Perjuangan Rakyat Semesta Menegakkan Republik Indonesia di ujung Selatan Sumatra
Oleh: Abi Hasan Said. Penerbit:Yayasan Krama Yudha Jakarta.
(2)    MOHAMMAD HATTA – Memoir
Penerbit Tintamas Jakarta 1979
(3)    Ibid
(4)    Ibid
(5)    Ibid
(6)    Ibid
(7)    BUNG KARNO
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. From Sukarno , an autobiography as told to Cindy Adams.
Alih bahasa oleh: Mayor Abdul Bar Salim
Penerbit Gunung Agung Jakarta 1966 MCMLXVI
(8)    Ibid
(9)    PERANAN TNI ANGKATAN DARAT dalam Perang Kemerdekaan (Revolusi fisik 1945-1950)
Di sunsun oleh: Pusad Sejarah Militer Angkatan Darat
Bandung – PUSEMAD – 1965
(10) Ibid
(11) Ibid
(12) Ibid
(13) 30 TAHUN INDONESIA MERDEKA (1945-1949)
Diterbitkan oleh: Citra Lamtoro Gung Persada
Jakarta – Cetakan keenam – 1985
(14) PERANAN TNI ANGKATAN DARAT dalam Perang Kemerdekaan (Revolusi fisik                   1945-1950)
Di susun oleh: Pusat Sejarah Angkatan Darat
Bandung – PUSEMAD – 1965
(15) TNI – Tentara Nasional Indonesia
Oleh: Jenderal Mayor A.H. Nasution
Penerbitan Yayasan Pustaka Militer – Jilid 1
(16) SEKITAR PERANG KEMERDEKAAN INDONESIA
Jilid 2
Diplomasi atau bertempur
Oleh: DR. A.H. NASUTION
Penerbitan diselenggarakan oleh DISJARAH – AD
Dan Penerbit ANGKASA Bandung
Cetakan ke 1, tahun 1977 
(17) BUNGA RAMPAI PERJUANGAN & PENGORBANAN
Pengalaman Perang Gerilya
Oleh: Mayjen TNI Purn. Harun Sohar
Jilid III. Diterbitkan oleh: Markas Besar Legiun Veteran RI
(18) PERANAN TNI ANGKATAN DARAT dalam Perang Kemerdekaan (Revolusi fisik      
            1945-1950)
Disusun oleh Pusad Sejarah Angkatan Darat
Penerbitan Yayasan Pustaka Militer – jilid 1
(19) KENANGAN TIGA PULUH TAHUN
KOMANDO DAERAH MILITER IV SRIWIJAYA
Oleh: Sejarah Militer Daerah Militer IV Sriwijaya
(20) Tentara Nasional Indonesia – TNI –
            Oleh: Jendral Mayor A.H. Nasution
             Penerbit Yayasan Pustaka Militer – Jilid 1
(21) Ibid
(22) Keterangan dari  ex Kolonel Simbolon kepada saya di rumahnya daerah
            Kampung Melayu. Waktu itu ia menjadi  Komisaris Hotel Pan Pacifik.
Selesai pelantikannya sebagai Komandan Divisi I Sumsel-Lahat, Kolonel Simbolon menceritakan bahwa ia dan rombongan Staf Komandemen Sumatra, termaksud Panglima, Jenderal Mayor Soehardjo, bersama Dahlan Jambek, Hasan Kasim, Barlian, Harun Sohar dan beberapa staf bermalam di rumah M Nuh di dusun Merapi. Mereka bertemu dengan kakek Muhammad Nuh, Pangerang Bahctiar dan istri serta keluarga Muhammad Nuh tentunya. Sampai jauh malam mereka membicarakan strategi pembentukan tentara di Sumatra. Yang tidak terlupakan baginya adalah hidangan yang lezat yang disajikan oleh keluarga Muhammad Nuh. Rumah Pak Nuh cukup besar untuk  kami dan rombongan bermalam di rumah itu. Sangat istimewa di bandingkan barak kami di Pagar Alam pada waktu mengikuti pendidikan Gyugun. Kabarnya, rumah itu adalah rumah kayu terbesar di sepanjang sungai Lematang. Kekerabatan di dusun itu sangat kental, terlebih karena Muhammad Nuh pernah menjadi Kepala Marga (Pasirah) disitu. (Sayang rumah juang itu tinggal puing-puing berserakan)
(23)      Keterngan dari ex Kapten Satar Lenggang
(24)      Patriotisme dan Heroisme dalam Perang Kemerdekaan (1945-
            1950) Di Bumi Sriwijaya Oleh: Drs. A.K. Sindapati –
            Palembang , May 1987 - Kisah Kolonel Atmo
(25)     Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Jilid 1. Oleh Djenderal Major A.H. Nasution
Penerbit: Jajasan Pustaka Militer


Tidak ada komentar:

Posting Komentar