Selasa, 04 Oktober 2011

Masa Pergerakan Daerah

Pada 15 Fedruari 1958, sejumlah tokoh militer dan sipil di Padang memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia ( PRRI). Peristiwa ini merupakan puncak gunung es dari kemelut yang dihadapi bangsa Indonesia pasca-Revolusi. Yang tidak kurang penting adalah terlantarnya pembangunan ekonomi, yang membawa kemelaratan banyak orang. Pemerintah pusat di Jakarta meremehkan kejadian di Padang itu sebagai suatu “gerakan sparatisme”. Tapi pihak daerah yang bergolak melihat tindakan mereka sebagai upaya mencegah jatuhnya Republik Indonesia ke tangan Komunis.                                                                           
         Sejak pertengahan 1950-an, konflik mulai meningkat dikalangan partai-partai politik yang anti dan pro-komunis. Dalam Pemilu 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) merebut tempat keempat, setelah Partai Nasionalis Indonesia, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Sejak itu, kesadaran akan bahaya komunisme di Indonesia terus meluas. Kekhawatiran itu makin bertambah ketika dalam pemilihan daerah di Jawa pada Juni-Agustus 1957, PKI mengungguli semua partai lain dengan kedudukan nomor satu.
         Partai-partai anti komunis, seperti Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), mempertaruhkan semua kekuatan untuk menghambat PKI. Tapi kecenderungan Presiden Sukarno memihak PKI menjadikan mereka tidak berdaya. Dalam konflik intern, Perang Dingin juga menjadi faktor penting.  PSI dan Masyumi dianggap oleh Sukarno sebagai “antek” Barat, tapi bagi kedua partai itu keberpihakan pada Barat adalah strategi untuk menghambat berkuasanya PKI di Indonesia.                                                                                                                          
         Ketidakberdayaan itu makin dirasakan ketika Mohammad Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada awal Desember 1957. Intimidasi dan provokasi yang dilontarkan media PKI terhadap tokoh-tokoh Masyumi menyebabkan akhirnya, pada Desember 1957, ketua partai itu, Mohammad Natsir, terpaksa menyingkir ke Padang. Dr Sumitro Djojohadikusumo, yang mengalami intimidasi seperti itu, juga terpaksa meninggalkan Jakarta.
         Sementara suhu politik di Jakarta terus meningkat, pada saat yang bersamaan di berbagai daerah muncul kritik yang tajam terhadap pemerintah. Masalah utama adalah kemiskinan dan tidak adanya  pembangunan ekonomi.  Keadaan itu dimanfaatkan oleh para panglima daerah di Sumatra dan Sulawesi untuk mendapat dukungan rakyat atas permasalahan mereka sendiri.                                                             
         Sejak Nasution diangkat kembali sebagai Kepala Staf Angkatan Darat muncul ketidakpercayaan kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), yang pernah dinonaktifkan oleh Soekarno sendiri berkaitan dengan “Peristiwa 17 Oktober 1952” (penolakan militer atas campur tangan sipil dalam “urusan intern militer”). Kekhawatiran muncul ketika itu karena kerja sama Nasution dengan Sukarno diduga bisa memperkuat posisi PKI. Karena itu, ketika Nasution memutuskan untuk melakukan tour of duty (pemindahan tempat kedudukan para panglima), para panglima daerah di luar Jawa membangkang.                                              
         Pembangkangan itu dimulai di Sumatra Tengah,  ketika pada 25 November 1956 Panglima Divisi Banteng Letnan Kolonel Ahmad Husein membentuk Dewan Banteng dan mengambil alih kekuasaan atas provinsi itu. Kemudian Panglima Divisi Bukit Barisan Kolonel Simbolon membentuk Dewan Gajah pada 22 Desember 1957.  Dua hari kemudian (24 Desember 1957), di Palembang, Sumatra Selatan, Kolonel Barlian membentuk Dewan Garuda.  Di Indonesia Timur,  pada 2 Maret 1957, Panglima Divisi Wirabuana Letnan Kolonel Sumual membentuk Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Makasar dan mengambil alih kekuasaan atas provinsi itu.                                               
         Para Panglima itu berhasil membuka hubungan dagang dengan Singapore sehingga menghasilkan uang yang banyak digunakan bagi pembangunan daerah. Bahkan dalam beberapa bulan saja Indonesia Timur menjadi sangat makmur. Akhir Maret 1957, sepuluh perwira staf Markas Besar Angkatan Darat mengambil inisiatif untuk mencari jalan keluar dari kemelut yang sudah meluas menjadi konflik daerah itu. Maksud mereka  dibicarakan dengan Perdana Menteri Djuanda, yang ternyata sangat mendukung upaya rekonsiliasi itu.  Para perwira Markas Besar Angkatan Darat itu dikirim ke daerah-daerah yang bergolak untuk kemungkinan menyelenggarakan suatu pertemuan nasional di Jakarta. Letkol Samual, yang menyadari bahwa inisiatif itu adalah satu-satunya cara penyelesaian, lalu datang ke Jakarta dan menghubungi Djuanda.
         Dengan Djuanda dia sepakat langkah pertama kearah musyawarah nasional itu adalah pertemuan antara tokoh militer dan sipil di daerah bergolak untuk meyakinkan mereka bahwa musyawarah nasional merupakan jalan terbaik. Pertemuan di Palembang yang direncanakan itu berlangsung pada 8 September, dua hari sebelum musyawarah nasional dibuka. Kehadiran Muhammad Natsir jelas mempengaruhi keberhasilan pertemuan itu.                                                                                               
         Bahaya komunisme yang mengancam Indonesia mendapat tekanan khusus dari tokoh politik kawakan ini. Di bawah pengaruhnya, semua eksponen daerah bergolak itu menyatakan solidaritas dan membentuk satu dewan saja dengan  nama Dewan Perjuangan.
         Keputusan yang diambil di Palembang yang dicantumkan dalam “Piagam Palembang” pada dasarnya merupakan usul bersama dari daerah bergolak, yang terdiri atas hal;

1.     Pemulihan dwitunggal Sukarno-Hatta
2.     Penggantian pimpinan Angkatan Darat
3.     Pembentukan Senat (DPD) sebagai wakil daerah di samping Dewan Perwakilan Rakyat
4.     Melaksanakan Otonomi Daerah
5.     Melarang Komunisme di Indonesia

         Musyawarah nasional berlangsung di Jakarta pada 10-15 September 1957. Seluruh usul Dewan Perjuangan ternyata diterima, kecuali pembubaran PKI. Bahkan dibentuk suatu panitia yang terdiri atas tujuh orang untuk merehabilitasi para perwira daerah yang oleh Nasution dianggap sebagai pembangkang.  Keputusan Panitia Tujuh direncanakan akan diumumkan pada 13 Desember dan para “perwira pembangkang” akan direhabilitasi serta dikembalikan ke kedudukan semula.
         Dari kelima usul Dewan Perjuangan itu, dalam perjalanan sejarah, tiga akhirnya terwujud. Pembubaran PKI oleh Orde Baru. Sementara otonomi daerah dan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah – DPD (semacam senat) di samping Dewan Perwakilan Rakyat dilaksanakan pada masa reformasi.
          Namun, sebelum Panitia Tujuh mengumumkan hasilnya, pada 30 November, terjadi upaya pembunuhan Presiden Soekarno ketika ia hendak meninggalkan upacara wisuda putrinya di Perguruan Cikini. Tampa melakukan penelitian yang menyeluruh, pimpinan Angkatan Darat menuduh para perwira daerah sebagai pelaku atau dalangnya. Terutama Kolonel Zulkifli Lubis, perwira intelijen yang disegani, yang menjadi bulan-bulanan.
         Sekalipun tokoh-tokoh daerah bergolak yakin tidak bersalah, hukuman telah dijatuhkan dan mereka terpaksa menyingkir ke Sumatra untuk menghindari penangkapan. Pusat pun mengibarkan bendera perang terhadap daerah-daerah bergolak. Para eksponen pergolakan itu berkumpul lagi di Sungai Dareh, Sumatra Barat, buat membicarakan apa yang harus dilakukan untuk menghadapi permusuhan dari pusat itu. Tokoh politik seperti Mohammad Natsir dan Sumitro Djojohadikusumo ikut aktif dalam pertemuan itu. Bahkan Natsir menganjurkan agar dilakukan perlawanan untuk membela diri.  Nada pertemuan itu sesuai dengan ungkapan civis pacem parabellum (untuk berdamai harus siap perang).                                                      
         Para perwira lain dikirim ke Singapore untuk membeli senjata. Peran Sumitro Djojohadikusumo sangat penting dalam hal ini. Dewan Perjuangan kemudian berapat di Padang dan memutuskan untuk menuntut Presiden Sukarno membubarkan kabinert Djuanda dan membentuk kabinet Hatta-Hamengkubuwono.  Jakarta dengan sendirinya menolak.                                                                 
         Maka, pada 15 Februari 1958, di Padang dibentuk kabinet tandingan dengan nama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Perang pun tidak dapat dihindari. Harus diakui, peran Amerika Serikat dalam kemelut ini juga penting. Melalui kerja sama Dinas Intelijen Amerika (CIA) dan Departemen Luar Negri (Dulles bersaudara), disusunlah sebuah rencana besar untuk membantu pergolakan daerah itu.                       
         Namun keinginan Amerika agar di Padang dibentuk “Negara Sumatra” ternyata tidak dituruti.  Para eksponen yang turut mendirikan Republik Indonesia tampaknya tidak sampai hati menghancurkan apa yang mereka bangun itu. PRRI ternyata adalah pemerintah nasional yang mencakup seluruh Indonesia juga (dengan sistem federal).
         Dari rencana besar CIA-Departemen Luar Negri Amerika Serikat itu, tinggal peran Howard P. Jones yang ikut serta merancang rencana bantuan Amerika tersebut.  Ia kemudian dikirim ke Jakarta sebagai Duta Besar untuk memantau keadaan – berbeda dengan laporan-laporan CIA yang cenderung membesar-besarkan bahaya Komunis. Jones melaporkan bahwa di kalangan pemimpin Angkatan Darat terdapat kekuatan nyata yang anti kominis. Setelah Menteri Luar Negri John Foster Dulles sakit kanker, pada 1961, Amerika Serikat mengubah strateginya untuk mendukung kekuatan anti komunis di kalangan tentara dan melepaskan dukungannya terhadap pergolakan daerah. Sejak 17 Agustus 1961, Presiden Sukarno mengeluarkan amnesty bagi semua tokoh yang terlibat peristiwa PRRI. (Majalah Tempo, 20 Juli 2008 – DR.RZ Leirissa – Sejarawan)
         Sejatinya, sejak pertengahan dekade 1950 terjadi keresahan di Sumatra terutama setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) berhasil jadi partai no 4 di Pemilu l955. PKI yang mengadakan pemberontakan pada 18 September 1948, saat TNI sedang mempersiapkan diri dari agresi meliter Belanda kedua, PKI menikam dari belakang dengan memproklamirkan Republik Sovyet Madiun.                                                
         Pemberontakan PKI di Madiun dapat ditumpas oleh TNI dalam waktu kurang dari 3 minggu. Sayang tidak ada keputusan politik yang tegas dari pemerintah atas pemberontakan PKI di Madiun, hingga partai  ini terus berkembang, dari 9000 orang setelah pemberontakan PKI di Madiun, hingga mendapat 4,7 juta suara dalam Pemilu 1955.
         Keresahan di Sumatra Utara dan Sumatra Tengah melanda juga ke Sumatra Selatan. PKI yang merasa mendapat angin karena didukung Bung Karno, sangat terasa di Sumatra hingga PKI dapat mencegah setiap langkah Panglima di Sumatra yang bertujuan melemahkan posisi mereka. Pergolakan meningkat dengan pengunduran diri Bung Hatta sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956.
         Terjadi dua pendapat untuk mengatasi situasi yang semakin bergolak. Pertama, perbaikan dan stabilitas pemerintahan hanya dapat dicapai dengan memperkuat diri sebagai alat pemerintahan dengan menegakkan sendi-sendi demokrasi dan sendi-sendi hukum dan pendapat bahwa setiap perubahan pemerintahan melalui kekerasan (kudeta) hanya akan menimbulkan tradisi “kudeta berikutnya”. Kedua, pendapat yang hanyut oleh emosi politisi bahwa politik adalah penghimpunan kekuatan dan penggunaan kekuatan itu untuk merubah pemerintahan dan merebut kekuasaan.
         Inilah dasar dan latar belakang dari penyelenggaraan reuni dan lahirnya Dewan-dewan di daerah-daerah, dimana Angkatan Darat di dorong kedepan untuk memelopori “demokrasi kekerasan”.
         Di Sumatra dimulai dengan penyeleggaraan reuni dari pejuang perang kemerdekaan di Sumatra Tengah yang kemudian diikuti oleh daerah lainnya. Tujuan semula dari reuni itu adalah untuk membina persatuan dan kekompakan, terutama di kalangan pejuang kemerdekaan. Pada 20 Desember 1956, Letnan Kolonel Ahmad Husein membentuk Dewan Banteng di Sumatra Tengah, disusul Kolonel Simbolon membentuk Dewan Gajah pada 22 Desember 1956 dan Kolonel Barlian membentuk Dewan Garuda pada 24 Desember 1956.
         Dalam buku “PRRI Permesta – Strategi Membangun Indonesia Tampa Komunis” – tulisan Profesor DR. R.Z. Leirissa – Ketua Jurusan Sejarah Universitas Indonesia  Mengenai Dewan Garuda dituliskan sebagai berikut:                                                                                                        
         Keresahan di Sumatra Utara dan Tengah rupanya melanda Sumatra Selatan pula. Disinipun bergema ketidakpuasan atas jalannya pembangunan daerah ini. Hal ini terutama terasa dalam konperensi dinas di Palembang yang diadakan pada 18 Desember 1956, dua hari sebelum peralihan kekuasaan di Sumatra Tengah dari Gubernur kepada ketua Dewan Banteng. Menyusul tindakan Simbolon di Medan pada 22 Desember 1956, pada 24 Desember 1956, Letnan Kolonel Barlian sebagai Panglima Teritorium II (Sriwijaya), juga menyatakan memutuskan hubungan dengan Pemerintah Pusat.                             
         Akibatnya, pada 27 Desember 1956, Gubernur Winarno pun mengajukan permohonan berhenti pada Menteri Dalam Negri. Sebagai kelanjutannya, pada 15 – 17 Januari 1957, diadakan Konggres Adat Sumatra Selatan, yang melahirkan “Piagam Perjuangan Sumatra Selatan” dan Dewan Garuda.
         Pembentukan Dewan Garuda di Palembang merupakan upaya tiga tokoh daerah Sumatra Selatan: Kolonel (Purn) Muhammad Nuh, Kapten (Purn) Thalib, dan Amin Husein. Kolonel Muhammad Nuh adalah orang yang sangat berpengaruh pada masa Perang Kemerdekaan, dan pernah menjabat sebagai Kepala Staf Komando Sumatra ketika Hardjowardojo menjabat sebagai panglimanya. Dengan pangkat Kolonel, ia merupakan salah seorang perwira senior di wilayah itu. Pengaruhnya cukup luas. Thalib pernah menjabat perwira intel Kolonel Simbolon, tetapi meninggalkan dunia kemeliteran pada 1951 dan berwiraswasta. Amin Husein pun dikenal sebagai pengusaha di wilayah itu.
         Dewan Garuda terdiri atas Kolenel Barlian sebagai ketua, dengan dan anggota-anggotanya, Mayor Nawawi (wakil kepala staf) TT II Sriwijaya, Mayor Alamsyah Ratuperwiranegara (asisten I), Mayor Hariman (asisten II), Mayor Asnawi Mangkualam (asisten IV), Mayor Yusuf Singadikane (asisten V). Komandan-komandan Batalion dan Resimen dalam wilayah ini, seperti Letkol Maraden Pangabean (kelak jadi Panglima ABRI) dan Letkol Worang juga menjadi anggotanya. Demikian pula sejumlah tokoh sipil, antara lain, ketiga tokoh tersebut diatas.

(dikutip dari tulisan Prof. Dr. RZ LEIRISSA dalam buku PRRI PERMESTA – STRATEGI MEMBANGUN INDONESIA TANPA KOMUNIS)
         
         Seberapa jauh keterlibatan Amerika dalam gerakan daerah? Tidak dapat dipungkiri bahwa CIA memainkan peran yang tidak kecil hingga PRRI melakukan proklamasi di Sungai Dareh. Persenjataan PRRI yang lebih cangkih dibandingkan persenjataan TNI pada waktu itu, salah satu bukti bahwa keterlibatan pihak asing dalam pergolakan daerah. Selain bantuan senjata, CIA juga memberikan bantuan keuangan kepada gerakan daerah yang dimotori oleh Kolonel-Kolonel yang menjabat sebagai Panglima di daerahnya.                                                                                                       
         Rapat di Sungai Dareh yang dihadiri antara lain oleh Kolonel Z Lubis, Kolonel M. Simbolon, Kolonel Dahlan Jambek, Letnan Kolonel A. Husein, Mohamad Natsir, Mr. Syafrudin Prawiranegara, Dr. Sumitro Joyohadikusumo. Sebagai penasihat Ketua Dewan Garuda,  Muhammad Nuh  melarang Kolonel Barlian menghadiri undangan A Husein untuk ikut rapat di Sungai Dareh. Dewan Garuda mengutus Mayor Alamsyah Ratuperwiranegara dan Kapten Satar Lenggang untuk menghadiri   rapat tersebut,  sebagai utusan Dewan Garuda. Tentu saja Letkol A Husein kecewa atas ketidak hadiran ketua  Dewan Garuda, mereka mengharapkan Kolonel Barlian dapat hadir pada rapat itu, seperti Ketua Dewan Gajah Kolonel Simbolon yang menghadiri rapat tersebut.
         Pertimbangan bapak mencegah Kolonel Barlian menghadiri rapat itu antara lain adalah; Gerakan Daerah yang dilakukan Dewan Garuda tidak melenceng dari tuntuntan awal sesuai dengan 5 tuntutan (1. Pemulihan Dwitunggal Sukarno-Hatta. 2. Penggantian pimpinan Angkatan Darat. 3. Pembentukan Senat (DPD) sebagai wakil daerah di samping DPR. 4. Melaksanakan Otonomi Daerah. 5. Melarang Komunisme di Indonesia) yang tertuang dalam “Piagam Perjuangan Sumatra Selatan”. Tiga tuntutan Gerakan Daerah pada dekade tahun lima puluhan pada akhirnya terlaksana di era reformasi. Pertama pembentukan DPD, kedua Otonomi Daerah dan ketiga melarang Komunisme di Indonesia (yang ketiga sudah sejak tahun 1966).                         
         Gejala bahwa rapat di Sungai Dareh menjurus ke Proklamasi yang berarti melepaskan diri dari NKRI sudah ditenggarai oleh pimpinan Dewan Garuda. Peran pihak asing, dalam hal ini Amerika yang di wakili oleh CIA sudah terasa sejak awal pergerakan daerah. Mereka mempengaruhi dan lebih jauh lagi melakukan campur tangan untuk memecah belah NKRI. Pihak asing yang dimotori CIA sangat berkepentingan agara NKRI pecah berkeping-keping.   
         Setelah menghadiri rapat di Sungai Dareh, Kapten Satar melaporkan kepada pimpinan Dewan Garuda hasil rapat tersebut yang antara lain ancaman A Husein kepada pemerintah pusat untuk memisahkan diri dari NKRI jika tuntutannya diabaikan.                              
         Kapten Satar Lenggeng yang sempat saya wawancarai menjelaskan: Setelah pimpinan Dewan Garuda mengadakan rapat membahas laporannya, Muhammad Nuh memutuskan untuk mengutus ex Kapten Satar Lenggang menghadap Bung Hatta agar dapat memberitakan kepada beliau apa yang terjadi dirapat Sungai Dareh dan meminta Bung Hatta untuk menasehati A Husein agar tidak terprovokasi agen asing (CIA) dan tidak melakukan langkah yang pada akhirnya akan memecah belah NKRI.

         Pertimbangan Bapak untuk meminta Bung Hatta menasehati A Husein agar tidak bertindak lebih jauh adalah karena pusat kedudukan Dewan Banteng dan A Husein berasal dari Sumatra Barat, tentunya Bung Hatta sebagai  tokoh paling disegani dari  daerah tersebut sangat mungkin akan  didengar nasihatnya oleh Ahmad Husein. Bapak cukup mengenal Bung Hatta, pada masa revolusi, pada akhir tahun 1947, Bung Hatta memerintahkan Kolonel Muhammad Nuh mencari senjata dan obat-obatan ke luar negri. Silaturahim terus berlanjut terlebih setelah Bung Hatta mundur dari sebagai Wakil Presiden.
         Satar berangkat ke Jakarta menemui Bung Hatta. Kepada Bung Hatta, Satar menjelaskan apa yang terjadi pada rapat di Sungai Dareh. Tentunya Bung Hatta sangat prihatin atas keadaan yang terjadi di Sumatra Barat, daerah dari mana ia berasal. Dan Bung Hatta memenuhi permintaan pimpinan Dewan Garuda untuk membuatkan surat yang isinya menasehati A Husein agar tidak melakukan tindakkan lebih jauh yang melanggar konstitusi.
         Setelah mendapatkan surat dari Bung Hatta, Satar kembali ke Palembang dengan pesawat udara dan akan berangkat ke Sungai Dareh melalui jalan darat. Sayang sebelum surat itu dapat disampaikan ke A Husein, pada 15 Februari 1958 setelah pusat menolak ultimatum hasil rapat Sungai Dareh, A Husein memproklamasikan PRRI dan melantik Kabinet PRRI sebagai berikut:
1.    Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri.
2.    Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Menteri   Keuangan.
3.    M. Simbolon sebagai Menteri Luar Negri.
4.    D. Jambek sebagai Menteri Dalam Negri.
5.    Mr. Burhanuddin Harahap sebagai Menteri Pertahanan.
6.    Mr. Burhanuddin Harahap sebagai Menteri Kehakiman.
7.    Dr. Sumitro Joyohadikusumo sebagai Menteri Perhubungan
8.    Moh. Syafei sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran
9.    Moh. Syafei sebagai Menteri Kesehatan.
10.           Y.F. Warrouw sebagai Menteri Pembangunan
11.           S. Sarumpaet sebagai Menteri Pembangunan umum
12.S. Sarumpaet sebagai Menteri Perburuhan.
13.M Lintang sebagai Menteri Agama.
14.Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan.
15.A Gani Usman sebagai Menteri Sosial.

         Bung Hatta sangat kecewa atas tindakan yang dilakukan oleh A Husein. Beliau beranggapan bahwa suratnya untuk A Husein yang disampaikan melalui Kapten Satar Lenggang telah sampai dan dibaca oleh A Husein dan Bung Hatta beranggapan bahwa A Husein sama sekali mengabaikan nasehatnya. Kekecewaan Bung Hatta tercermin dalam ungkapan kalimat; “Kata mamak awak (Bung Hatta) tidak didangakan, mamak lain (mamak Simbolon, mamak Syafruddin didanga.” (Perkataan paman sendiri tidak didengar, paman yang lain ‘Simbolon, Syafrudin’ didengarkan) Bagaimana saya bisa menerima orang seperti itu. Ujar Bung Hatta.                                                                        
         Sampai Bung Hatta wafat dia tidak bersedia bertemu dengan A Husein. Mungkin Bung Hatta mengira suratnya untuk A Husein yang disampaikan melalui Satar Lenggang sudah sampai dan dibaca oleh  A Husein, tapi dia tidak mengindahkan nasehat Bung Hatta. Padahal sesungguhnya surat itu tidak pernah sampai ke A Husein karena sebelum Satar melanjutkan perjalanan ke Sungai Dareh, A Husein sudah memproklamirkan PRRI. Berakibat Sumatra Barat (Padang) digembur tentara pusat dengan sandi Operasi 17 Agustus dipimpin Kolonel A Yani. Bung Hatta adalah orang yang konsisten dengan sikap dan pendiriannya. Sebagai contoh yang lain dapat di lihat dari sikap Bung Hatta yang tidak bersedia menjejakkan kaki di Singapore, setelah dua orang penjuang Dwikora, Usman dan Harun di hukum gantung di Singapore.
         Setelah terjadi ultimatum dari Padang (pada 10 Februari 1958 A Husein mengultimatum pemerintah pusat), pada 14 Februari 1958 KSAD Kolonel Nasution, mengutus Deputi II KSAD Kolonel Dr. Ibnu Sutowo (Komandan Operasi Sadar) ke Palembang untuk menjaga jangan sampai Sumatra Selatan (Dewan Garuda) ikut bergabung ke “Padang.” Kolonel Ibnu Sutowo menemui Kepala Staf TT II Letnan Kolonel Harun Sohar dan berusaha agar Panglima Kolonel Barlian tidak bergabung dengan PRRI. Kolonel Barlian sendiri tidak berada di kota Palembang dan berada di satu tempat  di Kabupaten Lahat.                                                                 
         Hasil perundingan Kolonel Ibnu Sutowo dengan Letkol Harun Sohar memutuskan mengirin utusan yaitu Mayor Nurdin Panji (Ayah Gubernur Sumatra Selatan, Alex Nurdin) ke Lahat untuk menemui Ketua Dewan Garuda Kolonel Barlian.  Atas petunjuk Kepala Staf TT II Sriwijaya Letkol Harun Sohar (Harun Sohar adalah ajudan bapak pada waktu menghadiri Konperensi Besar TKR yang pertama pada 12 Nopember l945 di Yogya – Sejak bapak menjadi Pasirah di Merapi , Harun Sohar sudah mejadi kawan karibnya terlebih karena sama-sama berasal dari Kabupaten Lahat – Walau dalam posisi kritis ,hubungan personal kekerabatan tetap terbina, bapak masih ada kontak dengan Kepala Staf TT II Letkol Harun Sohar), untuk bertemu dengan Barlian di Lahat. Nurdin Panji akan diterima dengan cara yang ditentukan oleh pihak Barlian. Nurdin Panji harus berangkat seorang diri tanpa ditemani siapapun menuju Lahat dan dilanjutkan ke arah Pagar Alam.
         Siang itu juga Nurdin Panji berangkat seorang diri dengan mengendarai Jeep ke Lahat karena Kolonel Ibnu Sutowo harus kembali ke Jakarta esok hari untuk melapor kepada KSAD Kolonel Nasution berkenaan dengan   sikap Dewan Garuda terhadap ultimatum A Husein pada pemerintah pusat.                                                                                                                        
         Sampai di Lahat sudah lewat Mag’rib, tampa berhenti Nurdin Panji mengarahkan Jeepnya ke kota Pagar Alam. Mendekati dusun Jati, dari arah berlawanan parkir sebuah Jeep yang mengedipkan lampu 3 kali kearah kendaraan Nurdin Panji. Kode ini sudah diketahui sebelumnya oleh Nurdin berdasarkan arahan dari Letkol Harun Sohar. Nurdin Panji menghentikan kendaraannya dan 2 orang yang tadi memberi kode dengan mengedipkan lampu mobil menyeberangi jalan menghampiri mobil Nurdin Panji.                                                                                                       
         Rupanya kedatangan Nurdin Panji sudah diketahui yang berarti Letkol Harun Sohar yang memberi petunjuk pada Nurdin untuk bertemu Kolonel Barlian tentu sudah berkomunikasi. Lalu kedua orang yang ditugaskan itu mengantarkan Nurdin Panji untuk bertemu dengan Kolonel Barlian.                                                                         
         Kendaraan yang ditumpangi Nurdin Panji dari Palembang di tinggal dan bertiga mereka naik Jeep yang sengaja menunggu kedatangan Nurdin Panji. Kendaraan yang tadinya menghadap kearah kota Lahat berbalik kearah kota Pagar Alam. Dalam kendaraan tidak ada pembicaraan apapun dan kedua orang yang menjemput itu seolah sudah tahu tugasnya hanya menjemput Nurdin Panji. Suasana mencekam saling mencurigai ditambah kegelapan malam yang pekat hingga hanya lampu mobil saja yang menjadi sumber cahaya membelah hutan dikiri kanan jalan.

         Mendekati dusun Jati mulai terlihat cahaya lampu sintir dari rumah-rumah penduduk. Mobil terus berjalan keluar dari dusun Jati. Beberapa saat setelah keluar dari dusun Jati kembali kepekatan malam menyelimuti jalan yang disusuri. Selang beberapa menit kendaraan berhenti, kedua orang pejemput mempersilahkan Nurdin Panji turun dari mobil. Saat lampu mobil dimatikan gelap sangat pekat. Berbekal lampu senter ketiganya menyusuri  jalan setapak. Tak lama berjalan  tampak beberapa rumah penduduk tapi tidak ada yang menyalakan penerangan atau lampu sintir.                                                                            
         Setelah melewati beberapa rumah yang tidak memiliki penerangan, mereka tiba di satu rumah panggung yang agak besar, didepan rumah berdiri beberapa orang, ini dapat terlihat karena hanya rumah itu yang menyalakan dua obor di depan rumah. Setiba didepan anak tangga Nurdin Panji dipersilahkan naik ke atas rumah panggung itu. Ketika pintu dibuka Nurdin Panji cukup terkejut karena di ruang tengah telah duduk puluhan orang melingkar dan ruangan cukup terang dari cahaya lampu petromaks. 
         Terlihat Muhammad Nuh didampingi Omar Jati disebelah kiri dan di kanan tersisa tempat kosong yang sepertinya disengaja untuk tempat duduk Nurdin Panji. Sebelum berangkat tadi, Nurdin Panji telah mendapat penjelasan dari Letkol Harun Sohar bahwa dia harus juga menemui dua orang tokoh yang menjadi penasihat Kolonel Barlian.
         Kedua tokoh itu adalah Kolonel (Purn) Muhammad Nuh yang menurut Prof DR. R.Z. Leirissa adalah orang yang sangat berpengaruh pada masa perang kemerdekaan, sedangkan Omar Jati adalah orang yang disegani didaerah Lahat dan pernah menjadi Wedana di Muara Enim dan Bupati Kabupaten Lahat. Tampak juga Kapten Satar Lenggang, sedang Kolonel Barlian tidak ada.                                                                                                                      
         Nurdin Panji menyalami yang hadir sambil berjalan ke tempat Muhammad Nuh lalu duduk ditempat yang telah disediakan. Pada tahun 1943, bersama ratusan pemuda lainnya, Nurdin Panji dan bapak sama-sama mengikuti pendidikan Gyugun di Pagar Alam karenanya mereka kenal akrab.                                                            
         Setelah duduk diantara Muhammad Nuh dan Omar Jati, Nurdin Panji menceritakan tujuannya bahwa ia diutus oleh  Deputi II KSAD Kolonel Ibnu Sutowo yang sekarang berada di Palembang, untuk mendapat kepastian bagaimana sikap Dewan Garuda terhadap ultimatum yang di sampaikan Dewan Banteng kepada pemerintah pusat. Karena waktu sangat mendesak untuk pemerintah pusat mengambil keputusan, Kolonel Ibnu Sutowo harus kembali besok ke Jakarta untuk  melaporkan sikap Dewan Garuda  kepada KSAD Kolonel Nasution.                                                                                                    
         Atas misi yang dibawa Nordin Panji, bapak menjelaskan bahwa untuk sementara Nurdin Panji tidak bisa bertemu dengan Kolonel Barlian karena situasi yang tidak mengijinkan. Selanjutnya bapak menjelaskan bahwa ia bersama Omar Jati selaku penasihat ketua Dewan Garuda, mewakili Kolonel Barlian untuk menjelaskan sekaligus mendapat mandat untuk memutuskan  sikap Dewan Garuda sehubungan dengan  langkah yang  diambil oleh A Husein sebagai ketua Dewan Banteng.                                       
         Lebih lanjut bapak menjelaskan sikap Dewan Garuda untuk disampaikan ke pemerintah pusat melalui Nurdin Panji sebagai utusan Kolonel Ibnu Sutowo. Pertama, Dewan Garuda tidak terlibat atas ultimatum yang dikeluarkan Dewan Banteng pada pemerintah pusat. Kolonel Barlian selaku ketua Dewan Garuda tidak hadir rapat di Sungai Dareh yang pada keputusannya  mengultimatum pemerintah pusat. Utusan Dewan Garuda yang berstatus sebagai peninjau pada rapat itu adalah Mayor Alamsyah Ratuperwiranegara dan Kapten Satar Lenggang. Hal itu  membuat Letkol A Husein merasa tidak didukung oleh Dewan Garuda, karena ketua Dewan Gajah Kolonel Simbolon dan Wakasad non aktif Kolonel Zulkifli Lubis dan tokoh-tokoh lainya seperti Syafruddin Prawiranegara, Kolonel Dahlan Jambek,  Mohamad Natsir, Dr Sumitro Joyohadikusumo adalah tokoh-tokoh yang mengikuti rapat dan memutuskan untuk mengultimatum pemerintah pusat. Kedua, Dewan Garuda tidak ikut terlibat dalam keputusan rapat tersebut yang berarti   tidak ikut terlibat mengultimatum pemerintah pusat. Ketiga, tuntutan Dewan Garuda kepada pemerintah pusat sesuai dengan 5 (lima) butir yang dihasilkan dalam Piagam Palembang. Keempat, Dewan Garuda bertindak sesuai dengan konstitusi dan cita-cita kemerdekaan Proklamasi 1945 serta tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.                        
         Selanjutnya bapak menjelaskan kepada Nurdin Panji bahwa jika Dewan Garuda ikut dalam bagian “Ultimatum Padang” yang dicetuskan di Sungai Dareh, berarti sudah  melanggar konstitusi, serta Sumpah Prajurit dan Sapta Marga.” Dewan Garuda tidak akan melakukan hal tersebut”. Pada hakekatnya tokoh-tokoh pergerakan daerah adalah orang-orang yang turut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan tidak akan berkhianat pada cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.
         Mendengar penjelasan dari Muhammad Nuh yang didampingi oleh Omar Jati, Nurdin Panji merasa sangat puas karena apa yang dikhawatirinya jika Dewan Garuda bergabung dengan Dewan Banteng tidak terjadi.
         Setelah itu pembicaraan beralih pada hal-hal yang ringan sambil makan malam, di luar konteks Dewan Garuda hingga larut malam, juga sudah disiapkan tempat untuk Nurdin Panji jika ingin  bermalam.                                   
         Karena informasi yang didapatnya sangat penting untuk disampaikan kepada Kolonel Ibnu Sutowo, larut malam itu juga Nurdin mohon pamit untuk  kembali ke Palembang. Dua orang yang menuntunnya ketempat pertemuan, kembali mengantarkan ketempat Jeep Nurdin Panji ditinggalkan.                                               
         Sesampai ditempat Jeep yang ditinggalkan tadi,  terlihat dua orang berdiri didekat Jeep itu,  sengaja menjaga.  Walaupun kondisi badan sangat lelah, ditambah kantuk yang tidak tertahankan, membuat Nurdin Panji harus beristirahat beberapa kali di perjalanan dan mengakibatkan ia tiba di Palembang sudah hampir tengah hari dan langsung ke Markas Kodam II Sriwijaya.                                                                
         Ternyata Kolonel Ibnu Sutowo sudah berangkat ke lapangan terbang Talang Betutu. Turut mengantar staf Kodam termasuk Kepala Staf Letkol Harun Sohar. Bergegas Nordin Panji menyusul ke Talang Betutu dan beruntung pesawat belum berangkat hingga ia dapat melaporkan pertemuan tadi malam kepada Kolonel Ibnu Sutowo.                                                                                                            

         Nordin Panji melaporkan hasil pertemuannya dengan Muhammad Nuh dan Omar Jati dan yang terpenting adalah masalah sikap Dewan Garuda yang tidak ikut campur atas tindakan yang dilakukan A Husein. Kolonel Ibnu Sutowo nampak  puas atas laporan Nordin Panji yang tentunya akan menjadi berita gembira bagi KSAD Kolonel Nasution bahwa Dewan Garuda tidak “ikut” ke Padang.                                            
         Terbukti kemudian kota Padang dan beberapa tempat di Sumatra Tengah diserang oleh pasukan TNI, dan dikenal sebagai Operasi 17 Agustus dibawah komando Kolonel Ahmad Yani.
         KSAD Kolonel Nasution merasa bersyukur bahwa Panglima Barlian tidak bergabung ke PRRI, yang berarti Kodam Sriwijaya (Dewan Garuda) tidak memisahkan diri dari NKRI. Tapi timbul kesulitan baru karena ada tuntutan dari Jakarta agar Panglima Barlian ditindak.                                                                                                       
         Nasution menolak cara seperti ini karena akan menimbulkan kesulitan baru. Dalam kondisi seperti itu tidak bisa bertindak hanya berpegang pada disiplin formal saja. Dimensi persoalan jauh lebih luas dari pada itu. Juga terjadi masalah di Dewan Garuda karena Mayor Nawawi tidak sepakat pada keputusan kolektif pimpinan Dewan Garuda yang tidak sejalan dengan tindakan yang dilakukan Dewan Banteng terhadap pemerintah pusat.                                                                                                                      
         Sebagai  reaksi ketidak setujuannya Mayor Nawawi dengan membawa beberapa kompi pasukan berangkat ke Bengkulu. Keputusan taktis militer dan politis yang dilakukan oleh pimpinan Dewan Garuda menghindarkan Sumatra Selatan (Palembang) dari serangan tentara pusat yang tentunya akan menimbulkan korban pada rakyat di kota Palembang, jika sampai Operasi Sadar mengadakan penyerangan seperti yang terjadi di Sumatra Barat (Padang) hingga ke Riau. Betapa banyak korban sia-sia atas pertikaian sesama anak bangsa.
         Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh KSAD Kolonel Nasution dalam menangani Dewan Garuda adalah menarik Kolonel Barlian ke Jakarta untuk dipersiapkan menjadi Atase Militer.  Mayor Nawawi, Komandan Garnisun Kota Palembang yang nyata-nyata berpihak pada PRRI, digantikan oleh Mayor Makmun Murod yang pada waktu itu sedang bertugas di Kodam Siliwangi. Kepala Staf Letnan Kolonel Harun Sohar dipromosikan menjadi Panglima Kodam Sriwijaya.  
         Seperti telah saya pertanyakan diatas, seberapa jauh keterlibatan asing (CIA) atas “pergolakan daerah” yang meluas hingga ke Indonesia Timur dengan dibentuknya Dewan Mahuni, Permesta, hingga bergabung dengan Darul Islam – Tentara Islam Indonesia (DITII) dibawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosiwirjo.
         Pada dekade tahun lima puluhan, kerja sama Angkatan Darat dengan Amerika berjalan dengan baik khususnya dalam bidang pendidikan. Kolonel A Yani sendiri misalnya, adalah tamatan Sekolah Staf dan Komando di Amerika (General Staff College di Fort Leavenwort, Kansas, USA). Tapi dibalik itu ,para pejabat penting dalam pemerintahan Eisenhower (1952-1960) ternyata telah berencana bagaimana memecah belah Indonesia.                                       
        Bagi mereka Presiden Sukarno adalah batu ganjalan. Politik luar negrinya yang bebas aktif (yang tegas dipamerkan pada Konferensi Asia Afrika pada 1955), hujatannya berulang kali terhadap Imperialisme Barat, dan kesediaannya merangkul PKI sebagai bagian integral dalam politik Indonesia, ditafsirkan oleh Washinton sebagai bukti kesetian Sukarno kepada Moskow dan Beijing.                              
         Eisenhower dan Allen sebagai kepala CIA serta John Foster sebagai Kepala Departemen Luar Negri – memandang semua pemimpin Nasionalis Dunia Ketiga yang ingin tetap netral di tengah-tengah perang dingin sebagai antek-antek Komunis.
         Dengan penuh keyakinan akan hak mereka untuk memilih-milih pemimpin di Negara dunia ketiga, Eisenhower dengan menggunakan operasi rahasia CIA untuk menumbangkan pemimpin-pemimpin Nasionalis Dunia Ketiga yang ingin tetap netral di tengah-tengah perang dingin antara Amerika dan Rusia.
         Dengan arogan Amerika mengatur dan memilih-milih pemimpin di Negara-negara non blok, dengan mempergunakan operasi rahasia CIA, Amerika menumbangkan pemimpin-pemimpin Nasionalis seperti: Mossadegh di Iran pada 1953, Arbenz di Guatemala pada 1954, dan Souvanna Phouma di Laos pada 1960.
         Amerika pun melihat Sukarno sebagai tokoh yang menjengkelkan dan harus disingkirkan dari panggung dunia. Sesudah PKI menjadi 4 besar pada Pemilu 1955, sudah masuk dalam rencana Amerika untuk menumbangkan Sukarno.                                                                               
         Sikap lunak Sukarno pada Komunis dianggap sebagai melapangkan jalan bagi Komunis masuk ke istana. Nasihat Duta Besar AS di Jakarta John Allison yang mengatakan bahwa ancaman komunis tidak cukup gawat untuk pembenaran penggulingan Sukarno di abaikan oleh pemerintah Amerika.                                          

         Dalam menghadapi komunis di Asia, prinsip yang menjadi pedoman pemerintah Eisenhower ialah membagi negara-negara menjadi kawasan komunis dan non komunis. Pelajaran dari lepasnya Tiongkok pada 1949 ialah lebih baik merelakan yang sudah lepas dan membiarkan sesuatu wilayah jatuh ke tangan komunis, ketimbang memperpanjang perang berlarut-larut di seluruh negri. Oleh karena itu Amerika mau membagi Korea dan Vietnan menjadi wilayah utara dan selatan.                                                                                                            
         Pada 1957 pemerintah Eisenhower berpendapat bahwa kebangkitan PKI, khususnya di pulau Jawa, berarti telah datang saatnya untuk memecah-belah kepulauan di Indonesia menjadi satuan-satuan yang lebih kecil. Pembangkangan yang dilakukan oleh kolonel-kolonel Angkatan Darat di daerah-daerah  Sumatra dan Indonesia Timur serta Jawa Barat oleh Kartosuwiryo, dilihat oleh pemerintah Eisenhower sebagai kendaraan sempurna untuk mengisolasi pulau Jawa.                                                                                                                
         Letnan Kolonel Ahmad Husein, Panglima Sumatra Barat, merebut kekuasaan dari gubernur pemerintah sipil pada 20 Desember 1956. Kolonel Simbolon, panglima seluruh belahan utara pulau Sumatra (yang bermarkas di Medan), mencanangkan dirinya sebagai gubernur wilayah itu dua hari kemudian. Kolonel Barlian, Panglima wilayah Sumatra bagian Selatan (bermarkas di Palembang), menyusul rekan-rekannya dengan mendongkel gubernur di wilayahnya pada Maret 1957. Tiga orang Kolonel tersebut menuntut otonomi yang lebih luas bagi provinsi-provinsi mereka dalam berhadapan dengan pemerintah pusat, pembubaran kabinet yang ada, dan mengembalikan kekuasaan Muhammad Hatta, seorang tokoh politik dari Sumatra yang telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956.
         Demi alasan yang sama panglima militer seluruh bagian timur Indonesia (termasuk Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara) memberontak terhadap pemerintahan sipil dan menyatakan wilayahnya dalam keadaan perang pada Maret 1957.                          
         Letnan Kolonel Sumuel, yang bermarkas di kota Makasar, mengumumkan apa yang dinamakannya “Perjuangan Semesta Alam” yang terkenal dengan akronim ”Permesta”. Ia juga mengulangi tuntutan tiga kolonel rekan-rekannya di Sumatra. Semua perwira pembangkang ini pada dasarnya menginginkan pemerintah pusat yang “direformasi”, bukan pecahan negara-negara merdeka yang berserakan.
         Sementara  Washington menganggap penting pembangkangan yang dilakukan para kolonel di luar Jawa. Proses disintegrasi di Indonesia  terus berlanjut sampai pada tahap tinggal pulau Jawa saja yang masih di bawah kekuasaan pemerintah pusat.
         Angkatan bersenjata di semua pulau-pulau di luar pulau Jawa telah menyatakan kemerdekaan mereka dari pemerintah pusat di Jakarta. Penilaian tidak tepat semacam ini meyakinkan para penentu kebijakan bahwa Amerika Serikat harus berbalik melawan nasionalisme Indonesia.
         Mula-mula Sukarno bersikap tanggap terhadap tuntutan para pemberontak. Pembentukan Kabinet baru pada bulan April, penyelenggaraan konferensi perujukan kembali segera sesudah itu, pengiriman dana tambahan ke daerah-daerah, dan keberlanjutan prospek pengembangan karier dalam ketentaraan nasional bagi para kolonel itu sendiri adalah semua faktor yang meredakan kekerasan hati para pembangkang                                                                               
         Tapi pemerintah Eisenhower, melalui kontak-kontak rahasianya dengan para kolonel pembangkang, tetap berpendapat bahwa mereka melawan bujuk rayu Sukarno. Sebuah komite ad hoc untuk Indonesia dalam Dewan Keamanan Nasional AS (NSC- National Security Council) dalam September 1957 menyimpulkan bahwa Amerika Serikat harus memperkuat kebulatan tekad, kemauan dan kepaduan pasukan anti komunis di pulau-pulau luar Jawa, sehingga mereka berperan sebagai titik penggalangan kekuatan jika kaum komunis menguasai pulau Jawa.                         
         Dukungan material Amerika menumbuhkan kepercayaan diri pada para pemberontak untuk menolak setiap penyelesaian yang dirundingkan. CIA memberikan uang muka sebesar US$.50.000,- kepada Kolonel Simbolon di Sumatra Utara pada awal Oktober 1957 dan mulai mengirim senjata pada bulan berikutnya.
         Walaupun pemberontakan-pemberontakan ini tidak mulai dengan maksud mendongkel Jakarta, mereka kemudian mempunyai maksud demikian pada awal 1958, terutama oleh pengaruh pemerintah Amerika. Para Kolonel itu, karena dibanjiri dolar dan senjata oleh CIA, lalu menjadi ambisius.                                                        
         Pada 15 Februari 1958, Kolonel Ahmad Husein mengumumkan pemerintah nasional baru, yaitu Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, atau disingkat PRRI. Ia menuntut agar Negara-negara asing membekukan aktiva Jakarta di luar negri dan memindahkan kedutaan besar-kedutaan besar mereka dari Jakarta ke Sumatra Barat.                                                                                                       

         Menghadapi pernyataan perang yang terang-terangan itu, pemerintah Sukarno memutuskan bahwa pilihan satu-satunya hanyalah menjawabnya dengan kekuatan militer. Tindakan ofensif tentara Indonesia dilancarkan sepekan sesudah pengumuman Kolonel A Husein.
         Angkatan Udara membom sasaran-sasaran penting PRRI dan menerjunkan dari udara batalyon batalyon dari Jawa ke Sumatra. Karena tidak memiliki pesawat terbang, senjata penangkis serangan udara, dan kapal selam, para kolonel pemberontak di Sumatra rentan terhadap pemboman melalui udara dan laut. Kekurangan  lainnya  ialah moral. Banyak pasukan-pasukan kolonel-kolonel itu tidak mau berperang melawan tentara Indonesia.                                                          
         Satu demi satu kota-kota penting di Sumatra Barat jatuh dalam Maret dan April sampai ibu kota PRRI, kota pegunungan Bukit Tinggi, direbut pada 4 Mei. Walaupun sisa-sisa pasukan pemberontak yang tersebar beralih masuk hutan dan melancarkan perang gerilya sporadik selama tiga tahun berikutnya, PRRI di Sumatra dapat diselesaikan oleh pemerintah pusat.                                                     
         Kemenangan Jakarta di bagian timur Indonesia memerlukan waktu lebih lama karena CIA memberi bantuan kekuatan udara kepada para pemberontak. Beroperasi dari pangkalan Udara Manado, sebuah kota di ujung utara Sulawesi yang dekat dengan pangkalan udara Amerika di Filipina, CIA melepas satu armada dengan delapan atau sembilan pesawat terbang yang diawaki pilot-pilot berkebangsaan Amerika, Taiwan, dan Filipina.                               

         Armada udara kecil ini sangat merintangi tentara Indonesia dengan pemboman atas kapal-kapal dan pelabuhan-pelabuhan udara di seluruh kawasan Indonesia Timur.                                                            
         CIA serta merta menghentikan bantuan udaranya pada akhir Mei 1958 ketika pilot Amerika, Allen Pope, ditembak dan jatuh ditangkap hidup-hidup sesudah melakukan pemboman atas kota Ambon – serangan membabi buta yang membunuh sekitar tujuh ratus penduduk sipil. Segera sesudah pesawat-pesawat udara CIA tidak beroperasi, Jakarta dengan cepat berhasil menundukkan para pemberontak di Manado.
         Allen Pope  dalam sidang Mahkamah Militer di vonis hukuman mati. Istrinya khusus datang dari Amerika dan memohon kepada Presiden Sukarno agar Allan Pope diberi “grasi”. Bung Karno luluh tidak tega menghadapi permohonan yang dibarengi dengan derai air mata seorang perempuan. Allen Pope diberi grasi dan pulang ke Amerika.                        
         Pemerintah Eisenhower mulai menilai kembali strateginya ketika para kolonel pemberontak jatuh dan kalah. Dunia impian penuh petualangan dari aksi rahasia Amerika mulai berantakan. Melihat bahwa perwira-perwira Indonesia yang menumpas kolonel-kolonel pemberontak adalah perwira-perwira anti Komunis (seperti Nasution dan Yani). Washington menyadari bahwa menyabot  tentara Indonesia adalah kontra produktif.                                          
         Dukungan Amerika kepada para kolonel pemberontak berarti mengadu perwira-perwira anti komunis satu sama lain. PKI tampil dengan popularitas lebih besar karena kebijakannya tentang Imperialisme Amerika menjadi dikukuhkan oleh pengalaman.

         Dengan persenjataan Amerika yang ditemukan di Sumatra dan pilot AS ditembak jatuh di atas Ambon, bangsa Indonesia bisa melihat langsung bahwa Amerika Serikat memang benar-benar berusaha mencerai-beraikan tanah air mereka.
         Hasil peninjauan kembali strategi pemerintahan Eisenhower ialah pembalikan kebijakan Washington. Alih-alih mencoba melucuti Indonesia, Amerika mendukung para perwira Angkatan Darat yang anti Komunis di Jakarta dan bersandar kepada mereka untuk mencegah gerak PKI.                                                                                    
         Kebijakan baru ini memperoleh perumusannya secara sistematik di dalam sebuah dokumen Dewan Keamanan Nasional (NSC- National Security Council) “Laporan Khusus Tentang Indonesia” yang ditulis pada Januari 1959. NSC melihat Angkatan Darat sebagai perintang utama terhadap perkembangan kekuatan komunis lebih lanjut. Kekuatan sipil Non Komunis di dalam partai-partai politik dengan dukungan Angkatan Darat sebagai perintang utama terhadap perkembangan kekuatan Komunis lebih lanjut.                                                                                    
         Kekuatan sipil non Komunis didalam partai-partai politik dengan dukungan Angkatan Darat bisa berbalik melawan partai Komunis di gelangang politik. Dokumen NSC menganjurkan Eisenhower agar memperkuat hubungan Amerika dengan tentara Indonesia agar institusi ini mampu memerangi kiprah kaum Komunis. Untuk memastikan bahwa pimpinan Angkatan Darat mau dan mampu memenuhi peranannya sebagai ujung tombak kekuatan anti Komunis, Gedung Putih menyumbang perlengkapan dalam jumlah besar-besaran.
         Strategi baru Amerika untuk memerangi PKI ini sungguh canggih, terutama jika dibandingkan dengan kekerasan strategi yang lama. NSC menyadari bahwa PKI sudah mendapat kepercayaan nasional yang tak terbantahkan. Partai ini terorganisasi dengan sangat baik, berdisiplin tinggi, dan luar biasa populer.                                
         Menurut penilaian NSC, PKI mungkin sekali tumbuh sebagai partai terbesar di Indonesia, jika Sukarno tidak menangguhkan pemilu yang dijadwalkan pada tahun 1959. Angkatan Darat tidak bisa asal menyerang kaum Komunis dengan cara berangasan.  
         Tindakan terang-terangan menindas PKI akan sulit dibenarkan atas dasar politik dalam negri, dan akan menghadapkan pemerintahan siapapun yang mengambil tindakan tersebut kepada tuduhan telah takluk kepada tekanan barat. Angkatan Darat harus mendekati PKI dengan kelihaian musang berbulu ayam. Setiap serangan terhadap PKI harus bisa dibenarkan sesuai dengan rambu-rambu nasionalisme Indonesia yang diperjuangkan oleh partai itu sendiri.
         Siasat yang dipergunakan adalah terus menerus memprovokasi PKI agar melakukan tindakan gegabah yang akan menampilkan partai tersebut sebagai anti Nasional. Dokumen NSC tahun 1959 menekankan bahwa dalam memberikan bantuannya kepada Angkatan Darat, Amerika Serikat harus memprioritaskan permintaan bantuan untuk program dan proyek yang akan membuka kesempatan untuk mengisolasi PKI, menggiring partai ke posisi bertentangan secara terang-terangan dengan pemerintah Indonesia, sehingga dengan demikian terciptalah alasan-alasan untuk melakukan tindakan represif yang secara politik bisa dibenarkan dari sudut kepentingan Indonesia sendiri.                            
         Strategi tetap Amerika dari 1959 sampai 1965 ialah membantu para perwira Angkatan Darat mempersiapkan diri untuk melakukan serangan hebat terhadap PKI. Howard Jones, Duta Besar di Jakarta selama tujuh tahun (1958-1965) dan salah seorang arsitek utama kebijakan tersebut, memasok anasir kesinambungan yang penting bagi tiga pemerintahan di Amerika, yaitu; Eisenhower-Kennedy-dan Johnson.
         Campur tangan Amerika melalui CIA dalam bergerakan daerah sangat kasat mata. Bantuan mereka pada kolonel-kolonel yang mengajukan protes pada kebijakan pemerintah pusat, sejatinya bertujuan agar NKRI pecah berkeping-keping atau menjadi negara federalis.
         Konsep Negara federalis pernah diusung oleh Amin Rais pada awal reformasi. Patut dipertanyakan mengapa kehendak Amin Rais bisa seiring sejalan dengan rencana Amerika.                                         
         Kembali pada peran CIA pada pergolakan daerah. Terbukti bahwa CIA tidak berhasil mempengaruhi Dewan Garuda agar bergabung dengan Dewan Banteng dan ikut dalam proklamasi di Sungai Dareh.                                                                                         
         Sebagai fakta bahwa Dewan Garuda tidak terlibat PRRI , KSAD Kolonel Nasution hanya memecat; Letnan Kolonel A Husein, Kolonel Simbolon, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dahlan Jambek. Sedang Kolonel Barlian (ketua Dewan Garuda) dimutasi ke Mabes AD dan direncanakan untuk menjadi atase militer di satu negara. Mayor Alamsyah Ratu Perwiranegara juga di mutasi ke Mabes AD yang kemudian memiliki peran yang tidak kecil di awal Orde Baru.
         Kapten Satar Lenggang menceritakan bahwa pada waktu itu Dewan Garuda memiliki  dana sisa dari hasil “barter” sebesar Rp.30,- juta. Sebagai pembanding nilai uang pada waktu itu, Satar mengatakan bahwa harga mobil waktu itu tidak lebih dari Rp.100,000,-. Atas perintah bapak uang tersebut semuanya diberikan kepada pemerintah pusat. Satar sempat protes agar setidaknya disisihkan sebagian untuk keluarga. “Kita sedang berjuang dan tentu harus juga memikirkan keperluan keluarga yang ditinggal”. Ucap Satar Lenggang. Muhammad Nuh mengatakan pada Satar; Serahkan semua uang itu. “Jangan kotori perjuangan karena uang”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar