Selasa, 04 Oktober 2011

Sekitar Terpilihnya Asnawi Mangkualam menjadi Gubernur Sumatra Selatan

         Pada bulan Mei 1990 saya  berkunjung ke Monumen Perjuangan Rakyat (Mompera) di Palembang. Di museum itu saya berkenalan dengan Letkol (Pun) Nur Teguh, ketua Mompera.   Ternyata pak Nur Teguh selama ini telah berusaha mencari keluarga ex Kolonel Muhammad Nuh untuk mendapatkan data tentang bapak maupun benda bersejarah milik bapak untuk mengisi museum itu.                           
        Saya katakan kepada bapak Nur Teguh, kami (keluarga) tidak memiliki benda bersejarah apapun berkaitan dengan peran bapak sebagai Kolonel TNI yang berasal dari Sumatra Selatan, karenanya tidak ada benda bersejarah yang dapat saya berikan untuk Monumen itu, selain hanya foto bapak bersama Panglima Komandemen Sumatra ketika menghadap Panglima Besar Jenderal Soedirman. Juga saya berikan riwayat hidup singkat. Setelah gambar bapak dipajang di Mompera Pak Nur Teguh mengabarkan kebanyakan pengunjung  mempertanyakan, siapa Kolonel Muhammad Nuh ?. Ternyata bapak sangat tidak dikenal.
         Saya berkeliling mengamati benda bersejarah yang di pajang di Mompera. Ada patung setengah badan Dr.A.K. Gani, Kolonel Barlian, Jenderal Bambang Utoyo, Jenderal Hasan Kasim. Pak Nur Teguh mengatakan  atas petunjuk  Sainan Sagiman, Gubernur waktu itu, bapak pun sudah di rencanakan untuk di buatkan patung yang sama, sayang tidak dapat menghubungi ahli warisnya. Tidak saya katakan bahwa keluarga tidak setuju jika bapak di abadikan dalam bentuk patung.
         Di perpustakaan saya amati buku-buku yang menuliskan perjuangan tokoh-tokoh  dan rakyat Sumatra Selatan dalam mempertahankan kemerdekaan Proklamasi 1945. Salah satu buku biografi Asnawi Mangkualam yang berjudul “Pada Mu terletak Qadar”. Di buku ini Asnawi menceritakan bagaimana proses dia terpilih menjadi Gubernur Sumatra Selatan. Kisah yang tidak pernah saya ketahui dari pihak manapun, termasuk dari bapak sendiri. Saya minta ijin untuk mengcopy buku itu, dan inilah tulisan Asnawi Mangkualam prihal terpilihnya ia menjadi Gubernur, yang saya kutip utuh sebagai berikut:
                  Sementara politik yang hangat dalam suasana konfrontasi dengan Malaysia, oleh PKI pada setiap kesempatan dipergunakan untuk mematangkan situasi guna mencapai tujuan akhirnya, tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga menjalar di daerah daerah.                                                                                                              
          Dalam situasi politik yang tajam, yang gejolaknya juga dirasakan sampai ke Sumatra Selatan, pada tahun l964 Achmad Bastari, seorang perwira tinggi kepolisian meletakkan jabatannya sebagai gubernur /kepala daerah karena diganyang PNI.
          Sampai terjadinya pengkhianatan G30S/PKI, pemerintahan di Sumatra Selatan dijalankan oleh seorang pejabat Gubernur yang definitive belum berhasil dipilih. Dari kalangan Angkatan Darat telah 2 kali mengajukan calon yaitu pertama Kolonel Sulaiman Amin dan kedua Kolonel Makmun Martadinata. Tetapi tidak pernah ada berita dari pemilihan-pemilihan tersebut dan keduanya tidak pernah diangkat.                                             
          Untuk mengisi jabatan gubernur Sumatra Selatan yang masih lowong – yang pada waktu yang singkat akan diadakan pemilihan gubernur kembali – oleh kalangan senior dari Korps Sriwijaya  diusahakan untuk mengajukan calon baru dalam pemilihan yang ketiga.                                                                                                           
          Dari Korps Sriwijaya Cabang Jakarta, telah diadakan pertemuan di rumah saya di jalan Surabaya no 14, karena pada waktu itu saya menjabat Ketua Korps Sriwijaya Cabang Jakarta. Hadir dalam pertemuan tersebut para anggota dan perwira-perwira senior dari Korps Sriwijaya, di antaranya Kolonel Purnawirawan Muhammad Nuh, Kolonel Purn. Barlian, Mayjen Harun Sohar, Mayjen Ryacudu, Kol. Dani, Brigjen Alamsyah, dan Kol. Idham Danal.
          Dalam pertemuan tersebut telah dibicarakan mengenai kesempatan mengajukan calon gubernur dari Korps Sriwijaya Cabang Jakarta. Melalui berbagai pertimbangan telah dicapai kata sepakat untuk memilih satu dari 3 calon yang diusulkan, yaitu Barlian, Harun Sohar, dan saya sendiri Asnawi Mangkualam.
          Karena Korps harus kompak dan mengajukan seorang calon saja, maka diadakan lagi negosiasi dengan berbagai pertimbangan antara yang hadir. Pada kesempatan tersebut Kolonel Purnawirawan Mohammad Nuh mengemukakan pertimbangannya; “Kalau dicalonkan Barlian, takut kurang dapat diterima oleh pemerintah pusat. Kalau Harun Sohar yang dicalonkan masih ada sesuatu persoalan sehingga tidak atau kurang menguntungkan. Tinggal saudara Asnawi Mangkualam yang dapat kita calonkan. Terhadap dirinya tidak terdapat hal-hal yang dapat menjadi hambatan.”

         Pertimbangan dan saran Kolonel Nuh selaku seorang senior rupanya dapat diterima oleh kawan-kawan lain, sehingga tercapai kesepakatan untuk mengajukan saya sebagai calon dari Korps Sriwijaya Jakarta.                                                                                                             
         Dengan kesepakatan tersebut maka dimintakan restu dari korps Sriwijaya Cabang Jakarta kepada Penglima Kodam IV Sriwijaya  yang juga merangkap Ketua Korps Sriwijaya yaitu Brigjen Makmun Murod.                    
         Dengan restu Panglima Kodam IV Sriwijaya maka telah diusahakan pula memperoleh restu KASAD yang waktu itu dijabat oleh Jenderal M Panggabean. Dengan restu KASAD, akhirnya saya menjadi calon tunggal Angkatan Darat untuk pemilihan Gubernur Sumatra Selatan yang berlangsung di gedung DPRDGR Tingkat 1 Sumatra Selatan dalam bulan April 1967.
         Ada 4 orang calon yang maju dalam pemilihan tersebut, yaitu Abdullah Kadir dari Kepolisian yang masih menjabat  Wali Kota Palembang, Mayor Purnawirawan M. Nurdin Panji, Mr. Makmun Sulaiman yang mendapat dukungan dari partai-partai politik Islam, dan saya sendiri selaku calon dari Angkatan Darat.
         Antara saya dengan Makmun Sulaiman sebenarnya ada hubungan pribadi dan merupakan kawan akrab. Pada aklhir l966, beberapa waktu sebelum kami sama-sama maju dalam pemilihan, saya pernah menghadiri undangan makan di rumahnya di jalan Gresik 12A, Jakarta, yaitu ketika ia mengundang tokoh-tokoh partai Islam.
         Dalam percakapan pribadi dengan saya Makmun menyatakan keinginannya agar saya dapat menjadi Panglima Kodam IV Sriwijaya. Rupanya yang tersirat di balik kata-katanya itu ialah bahwa ia sendiri ingin maju sebagai calon dalam pemilihan gubernur Sumatra Selatan  yang tidak lama lagi akan diadakan itu.
         Ketika ternyata kami berdua sama-sama maju sebagai calon dalam pemilihan, sementara banyak yang mengetahui bahwa antara kami berdua ada hubungan yang akrab sekali, maka saudara Makmun Sulaiman saya telpon dan katakan,; “Saya tidak mengetahui, dan tidak pula diberi tahu bahwa Saudara akan mencalonkan diri. Kalau saya tahu tentu saya tidak akan mencalonkan diri. Karena sudah terlanjur, tidak apalah saya tetap calon dari Angkatan Darat dan you terserah you untuk tetap mencalonkan diri atau tidak,”
         Pada saat-saat menjelang pemilihan, terlontar isu-isu tidak baik terhadap diri Makmun maupun terhadap diri saya. Mengenai Makmun dikatakan bahwa ia pernah sekolah di daerah pendudukan Belanda, yaitu di Padang selama Perang Kemerdekaan II, tahun l948/1949.                                                                                        
         Mengenai saya dilontarkan isu bahwa di waktu Perang Kemerdekaan II saya pernah menyerah kepada pihak Belanda. Ini jelas-jelas merupakan fitnah yang sengaja dilontarkan oleh Kolonel Dani Effendi untuk menjatuhkan nama baik saya dalam pemilihan.
         Masalah saya ini sebenarnya sudah lama di-clear-kan oleh Letjen Bambang Utoyo yang dalam tahun l955 pernah menjabat sebagai KASAD dan dalam Perang Kemerdekaan adalah Komandan atasan saya.                                                                   
         Memang benar, bahwa saya pernah minta free passage di Muara Dua untuk terus ke Kota Way bersama pasukan melalui daerah yang diduduki Belanda. Hal itu dapat diterima komandan detasemen Belanda karena dilaksanakan setelah diberlakukannya cease fire, yaitu Oktober l949.
         Setelah diadakan pemeriksaan terhadap syarat syarat calon, maka ke empat calon dapat diterima, dan pemilihan telah dapat dilaksanakan.
         Adapun hasil pemilihan yang telah dilangsungkan di gedung DPRDGR Tingkat I Sumatra Selatan dalam bulan April l967 seperti telah diutarakan di atas ialah sebagai berikut:
-         Abdullah Kadir mendapat 13 suara
-         Asnawi Mangkualam mendapat 10 suara
-         M Nurdin Panji mendapat 8 suara
-         Makmun Sulaiman mendapat 7 suara
Dua anggota DPRDGR tidak hadir.
         Menurut tata tertib, DPRDGR dapat melakukan pemilihan kedua antara dua calon yang mendapat suara terbanyak. Namun hasil pemilihan tahap pertama seperti yang telah dilaksanakan itu, oleh Ketua DPRDGR Drs. Zaidan Jauhari, dinyatakan bahwa karena calon-calon hanya berjumlah empat orang, sedangkan seharusnya lima orang, maka keempat calon dengan hasil-hasil pemilihan tersebut akan diajukan kepada Pemerintah Pusat dan terserah keputusan untuk menjadi Gubernur Sumatra Selatan ditentukan oleh Pemerintah Pusat.                                   
         Ternyata calon yang diajukan oleh Angkatan Darat, Asnawi Mangkualam, ditetapkan sebagai Gubernur Sumatra Selatan.                                            
 (dikutip dari buku: PADAMU TERLETAK QADAR – Otobiografi Asnawi Mangkualam - oleh H Asnawi Mangkualam – penerbit CV Haji MasAgung – hal 21 s/d 23)
        
         Dalam buku biografinya,  secara substantif Asnawi Mangkualam mengakui terpilihnya dia sebagai Gubernur Sumatra Selatan tidak terlepas dari  pertimbangan/saran yang disampaikan oleh Kolonel Muhammad Nuh pada rapat Corps Sriwijaya Cabang Jakarta, yang pada waktu itu menghadapi situasi dead lock dalam rangka mengajukan satu nama  dari Angkatan Darat untuk diusulkan kepada Kepala Staf  Angkatan Darat (KSAD) sebagai calon Gubernur Sumatra Selatan.
         Yang saya ingat pada sekitar tahun 1967, seperti terjadi kesibukan di rumah. Banyak tamu yang datang ke rumah yang kemudian saya ketahui diantaranya  Barlian, Alamsyah,  Asnawi, Thalib dan beberapa orang lagi yang tidak saya ketahui namanya. Mungkin hiruk pikuk tamu di rumah berkaitan dengan pemilihan gubernur Sumsel. Bapak sendiri tidak pernah bercerita kesibukan kunjungan para tamu ke rumah, dan tidak ada pula yang menanyakan. Nampak seperti kunjungan silaturahim biasa yang kemudian sepi kembali.
         Dukungan bapak kepada Kolonel Asnawi Mangkualam yang berasal dari daerah Komering, membuat calon Gubernur yang berasal dari Lahat, tempat Muhammad Nuh juga berasal merasa di abaikan karena tidak didukung, lalu menyebarkan  isu bahwa bapak federalis. Perjuangannya pada waktu revolusi mempertahankan Proklamasi 1945 diragukan. Alih-alih mempersoalkan perannya pada waktu itu, masalah peran dan perjuangan sebagai Kolonel TNI saja tidak pernah ia klaim. Dibuktikan oleh bapak dengan tidak pernah menerima gaji dan tidak mengurus hak pensiunnya sebagai Kolonel TNI semasa hidupnya. “Jika berjuang untuk menerima gaji adalah bekerja, bukan berjuang.” Ungkapan yang pernah di ucapkannya.
        Bapak tidak pernah mengurus hak pensiunnya sebagai Kolonel TNI, padahal kondisi keuangan keluarga sudah sangat minimalis. Isu yang mengatakan bapak federalis sangat menggores rasa patriotismenya hingga ia menolak penunjukan dirinya sebagai anggota MPRS pada tahun 1967. Sebagai anggota kehormatan Corps Sriwijaya, bapak membuat surat kepada Ketua Corps Sriwijaya untuk klarifikasi,  sikap dan perannya pada waktu mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, sekaligus minta ketegasan, jika isu itu benar – bapak minta di pecat dari anggota kehormatan Corps Sriwijaya.
         Keputusan bapak mendukung Asnawi Mangkualam sebagai calon gubernur dari Angkatan Darat hingga dia terpilih menjadi gubernur Sumatra Selatan, juga mendapat protes dari sepupunya, Mayor Jenderal Polisi (Purn) Taslim Ibrahim, biasa saya panggil Mang Taslim (Mang sama dengan Om atau paman). Di penghujung tahun 1969,  Mang Taslim  yang pada waktu itu Kolonel Polisi dan menjabat sebagai Asisten I Polda Sumsel, datang menemui bapak di rumah, jalan Lamandau III no 5, Jakarta Selatan.
         Dengan nada emosi campur kecewa, mang Taslim menceritakan bahwa dia dipindahkan ke Surabaya karena akan membongkar kasus penyimpangan keuangan yang melibatkan gubernur. Sebetulnya kasus itu sudah dia laporkan ke Kejaksaan Tinggi Sumatra Selatan, tapi tidak ada tindakan lebih lanjut hingga akhirnya mang Taslim melaporkan ke Menteri Dalam Negri, Panglima ABRI dan Jaksa Agung. Alih-alih ditanggapi malah sebaliknya, mang Taslim dimutasi ke Surabaya tanpa jabatan struktural di Polda Jawa Timur.  
         Mang Taslim memprotes menggunakan bahasa Lahat; “Ngape kak Nuh merekomendasikan Asnawi jadi gubernur, aku kecewa. Hancur Plimbang digasaknye. Nak kubongkar kasus nye malah aku dipindahka jeme”.  (Kenapa kak Nuh merekomendasikan Asnawi jadi gubernur. Hancur Palembang di buatnya. Akan ku bongkar kasusnya malah aku dipindahkan).
         Bapak terdiam sejenak mendengarkan protes sekaligus kemarahan adik sepupunya Taslim Ibrahim. Setelah tensi marah agak turun, bapak menjelaskan; “Pertimbangan aku ngajuke die, sebab die bejanji nak sungguh-sungguh membengun Sumata Selatan. Die lah beduit, lebih kaye dari calon lain, empok lah yang lain tu jeme kite. Aku dewek di isu ka jeme begawi nge Belande, federalis. Pertimbangan aku mak’ini; Asnawi tu la sega, dide ke macam-macam. Ame jeme buntu jadi gubernur kalu nak  beladasan nyakau duet saje. Die bekas Wakil Direktur Angkutan Angkatan Darat – lah beduit nian – ame jeme buntu jadi gubernur kalu nak beladasan nyakau duit.” Taslim membantah argumen bapak. “Buktinye ape?, die sekeluarge lah ngelantak gale, babas bingkas pelimbang digasaknye”. Mang Taslim menumpahkan uneg-unegnya kepada bapak, walau keputusan mutasi tetap dijalaninya.                                                 
         Saat saya tanyakan apa kesannya kepada bapak? Ia mengatakan, sejak dari kecil ia sudah mengagumi bapak. Sejak bapak menjadi Pasirah di Merapi, kurang lebih 30 km. dari dusun Jati, tempat Mang Taslim tinggal. Usia mereka terpaut sekitar sepuluh tahun. “Kak Nuh jadi panutan kami, terutama dalam hal bersikap. Pengetahuaannya tentang politik dan kemiliteran sangat luas, dia pembaca yang tekun dan menjadi tempat kami bertanya.
         Beberapa tahun bertugas di Surabaya, datang kabar ia akan dimutasi ke Mabes Polri atas perintah Kapolri Muhammad Hasan. Jenderal Polisi Muhammad berasal dari Lahat, akrab dipanggil Hasan Belande karena berperawakan tinggi dan putih seperti Belanda, menggantikan Hugeng Imam Santoso  sebagai Kapolri pada awal dekade tahun tujuh puluhan. Keputusan mutasi ke Mabes Polri tidak serta merta di terima oleh Mang Taslim. Dia begitu kecewa karena kerja kerasnya hendak mjembongkar kasus korupsi di Palembang malah diganjar dengan “pembuangan” ke Polda Jatim tampa jabatan strukturar. “Aku kecewa dengan polisi, biar aku pensiun di Surabaya.” Ujar Mang Taslim. Setelah Kapolri mengutus Asisten Personalia ke Surabaya baru Mang Taslim bersedia mutasi ke Mabes Polri dan di promosi menjadi Brigadir Jenderal Polisi. Yang patut di catat dengan tinta emas tentang Mang Taslim adalah – mungkin beliau satu-satunya Jenderal Polisi bintang dua yang hingga pensiun tidak memiliki rumah pribadi. Kami bangga memiliki paman yang memiliki integritas yang tinggi pada nilai-nilai ke imanan serta kejujuran.
         Dalam satu kesempatan ke Palembang pada 1990, saya berkesempatan mengunjungi ex Kapten Sanaf, mantan Sekretaris Gubernur Asnawi Mangkualam. Pada waktu pertempuran lima hari di Palembang, awal Januari 1947, Kapten Sanaf menjabat sebagai Komandan Batalyon TPKA Resimen XVII sedang Letnan Asnawi Mangkualam menjadi Kepala Staf di batalyon itu. Kepada Pak Sanaf
“Ame nak tau riwayat perjuangan Kak Nuh…bapang saya tanyakan apa yang diketahuinya tentang bapak. Setelah terdiam beberapa jenak ia mengkisahkan sebagai berikut:                                           
kaba…..aku kasian nge kaba. Pertame banyak jeme dindak ngungkap peran Kak Nuh..sejak masa revolusi… mangkenya sejarah Kak Nuh pecak tenggelam. Kedua memang jeme itu dide tau ape gawi Kak Nuh jaman gerilya dulu. Kak Nuh tuh jeme gerok..tahun 45 lah kolonel. Banyak ige peran Kak Nuh….untuk jeme yang tau…, empoklah die lah dide aktif…masih sesepuh Sumsel, jeme masih  ngargai die. Salah sikonye…make Asnawi pacak jadi Gubernur…dek banyak jeme yang tau.., tapi die dide minta ape-ape ke Asnawi…sijak dek katek permintaan die. Aku nih Sekretaris Gubernur..jadi tau nian. Maksud ku tuh…ape minta proyek…ape minta ape. Aku teringat sikok kejadian yang merinding ame aku nginngatnye. – Satu hari bapang kaba datang ke Palembang nemui gubernur. Masuk die ke ruang gubernur…betige kami di dalam. Ape yang dikatekah bapang kaba? – Asnawi, kau nih jadi gubernur bebener..kontrol wong yang begawi... turun kelapangan…jangan duduk di kantor saje. Adik kau tuh suruhlah belari dari pelimbang…kage akan nyusahke kau bae. – Tulis…nurut Asnawi , di tulisnye ape yang dikateka bapang kaba. Aku nih…empoklah die Kepala Staf aku pada waktu revolusi…dek pacak…mak ini die gubernur. Maksud aku tuh…ape ,,,ape die ngateke…Pak Gubernur, saya sarankan ini..itu. Dide…di pantau namenye…tapi ame ditengah jeme rami die mantau Pak Gubernur. Nah itulah bapang kaba. Ade siko lagi saran bapang kaba yang dituruti leh Asnawi…..nyelamatke die lah. Asanawi waktu itu ampir diberentika jeme. Waktu itu Taslim plisi ngelaporke kasus Asnawi sampai ke pusat. Gunjang kedudukan Asnawi. Jaksa Agung, Mahkamah Agung, Mendagri…. Di laporka gale leh Taslim. Kabarnya sampe ke presiden. Laju bapang kaba datang ke Palembang betemu nge Asnawi. Lalu Kak Nuh ngenjok petunjuk,  ngajong Asnawi ngajak makan segale sesepuh Sumatra Selatan di Jakarta di....tuapeh ceh name ristoran besa jaman itu – (berfikir sejenak) – Oasis- …….Restoran Oasis. Dituruti le Asnawi, di undangnye  sesegale tokoh Sumsel di Jakarta makan disitu. Bisoknya masuk surat kabar..masuk tv…Asnawi bejalan diiringi Alamsyah, Makmun Murod, Ryacudu, Harun Sohar, Barlian, banyak lagi temasuk bapang kaba. Mungkin tekina le Presiden…same jeme gerok Jakarta… Oh… Asnawi masih didukung tokoh-tokoh Sumsel… selamet die dari kasus itu. Nah, mak’itulah care bapang kaba nyelamatkah Asnawi. Make urong Asnawi dipecat jeme. Dek banyak jeme yang tau. Aku nih saksi idupnye.                                                         
         Kembali kepada pemilihan Gubernur Sumatra Selatan. Walaupun dalam pemilihan di tinggkat DPRD Asnawai Mangkualam hanya memperoleh suara nomer dua, namun kemudian Pemerintah Pusat (Presiden) menetapkan Asnawi Mangkualam yang di calonkan oleh Angkatan Darat di tunjuk sebagai Gubernur Sumatra Selatan. 

Apa pertimbangan bapak menyarankan pada rapat Korps Sriwijaya Cabang Jakarta yang dihadiri oleh Kolonel Purn Barlian, Mayjen Harun Sohar, Mayjen Ryacudu, Kolonel Dani, Brigjen Alamsyah dan Kol. Idham Danal untuk mengajukan Asnawi Mangkualam sebagai calon dari Angkatan Darat?  Tutur kakanda Ottoman Nuh almarhum yang pernah menanyakan hal ini, pertimbangannya antara lain: Jika Kolonel Barlian yang di calonkan, masih belum tuntas status perannya sebagai Ketua Dewan Garuda pada waktu PRRI, pemerintahan awal Orde Baru dibawah Presiden Suharto, berpendiriaan bahwa  “gerakan daerah” adalah pembangkangan pada pemerintah pusat. Usaha Safrudin Prawiranegara dan Muhammad Natsir untuk merehabilitasi sekaligus mengaktifkan partai Masyumi tidak di tanggapi. Keterlibatan tokoh-tokoh Masyumi dan PSI dalam PRRI adalah bagian sejarah yang tidak bisa dihapuskan.  Jika Mayjen Harun Sohar yang diajukan, masih akan mendapat resistensi karena dia mantan Atase Militer di Rusia, sedang nuansa kecurigaan pada blok Timur pasca pemberontakan G30S/PKI tahun 1965 masih sangat kental. Karenanya hanya Asnawi Mangkualam calon dari Angkatan Darat yang tidak mempunyai hambatan atau resistensi apapun.
         Masukkan dari Muhammad Nuh, akhirnya secara aklamasi disetujui dan menjadi keputusan rapat Korps Sriwijaya Cabang Jakarta untuk mengajukan satu calon gubernur Sumatra Selatan dari Angkatan Darat yakni Asnawi Mangkualam,  ternyata berdampak ketidak senangan dari calon gubernur yang berasal dari Lahat, kabupaten dimana Muhammad Nuh juga berasal. Fanatisme sempit sub eknis  masih sangat subur di Sumatra Selatan, tapi bapak melihat dan mempertimbangkan dari segi nasionalis dan strategis. Disesali orang yang di dukung ingkar pada janjinya dan berdampak tanggung jawab moral bagi bapak.

1 komentar: