Selasa, 04 Oktober 2011

Wawancara Dengan Jenderal Besar AH Nasution

          Abdul Haris Nasution dilahirkan tanggal 3 Desember 1918 di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Tapanuli, Sumatra Utara. Sejak kecil Ris, begitu pangglilan kesayangannya, konon sudah bercita-cita untuk menjadi perwira militer setelah ayahnya memberikan gambar pahlawan nasional Turki, Kemal Attaturk. Kesempatannya terbuka ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda membuka Akademi Militer di Bandung untuk Korps Perwira Cadangan, sesaat sebelum Perang Pasifi meletus.
          Bergabung dalam pasukan bersenjata Republik begitu Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, karier Nasution menanjak dengan cepat.  Usia 29 tahun menjabat Panglima Siliwangi, usia 31 tahun Panglima Komando Jawa, dan  KSAD ketika usianya baru mencapai 32 tahun. Tetapi, dia lansung tercampak keluar, begitu dalam peristiwa 17 Oktober 1952, Nasution gagal menggertak Presiden Soekarno.
           Setelah tiga setengah tahun berada di luar dinas militer, Presiden mengangkat kembali Kolonel Nasution sebagai KSAD. Bahkan, Presiden sendiri memasangkan pangkat baru Mayor Jenderal di pundak Nasution dalam upacara di depan gelar pasukan Angkatan Darat di Lapangan Banteng.
          Tiga tahun kemudian, 1958, Nasution dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal serta diangkat sebagai anggota Dewan Nasional, di mana dia mencetuskan wacana strategis, “..kembali ke UUD 1945.”
           Tahun 1960, Nasution ditetapkan sebagai Jenderal Bintang Empat, selain sebagai KSAD juga diserahi jabatan prestisius sebagai Ketua Front Nasional Pembebasan Irian Barat.
           Setelah berlangsung hubungan mesra antara Bung Karno dan Nasution, dua tahun sesudah pengangkatan Nasution sebagai Jenderal dengan Empat Bintang, musin semi bagi dirinya berakhir.  Soekarno mulai meng-geser dirinya. Dia dicopot dari jabatan KSAD dan di tendang  ke atas menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) dengan tugas terbatas, koordinasi administrasi. Komando ABRI telah beralih ke Istana, semuanya dirangkap Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar KOTI, Pemimpin Besar Revolusi, Mandataris MPRS, dan tetek bengek gelar serta beragam sebutan lainnya.
          Sebagaimana tesis Jenderal Soemitro, mantan Panglima ABRI/ Panglima Kopkamtib, “…di Indonesia, hubungan antara seorang presiden sipil dan pemimpin militer selalu berakhir dengan pertikaian”. Begitu juga yang dialami oleh Nasution dengan Presiden Soekarno dan juga dialami oleh Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono dan Jenderal Agum Gumelar pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid.
         Pengalaman di-tendang ke atas sekaligus dicopoti wewenangnya dalam komando ABRI terbukti seirama dengan keputusan Ketua CC PKI DN Aidit.  Tiga tahun kemudian, tahun 1965, Aidit, yang pernah diperiksa Nasution saat mengkritik Kabinet Kerja, langsung mencantumkan sosok Nasution sebagai musuh paling utama. Nasution ditetapkan sebagai nomor urut pertama dalam daftar jenderal yang harus diculik.
          Secara mengejutkan, dalam peristiwa nahas Jumat dini hari 1 Oktober 1965, Nasution lolos dari penculikan Gerakan 30 September yang didalangi PKI. Sayang, putri bungsunya, Ade Irma Surjani, yang baru berusia 5 tahun, tewas tertembak. Sementara itu, dari enam orang jenderal yang juga jadi sasaran penculikan, tiga orang tewas ditembak di rumah masing-masing. Sisanya, termasuk seorang ajudan namun keliru disangka Nasution, dibunuh para penculik di Lubang Buaya.
          Tanggal 13 Februari 1967, Jenderal Nasution secara terbuka menuduh Presiden Soekarno terlibat Peristiwa 30 September. Minimal, mengetahui akan terjadi penculikan terhadap tujuh orang jenderal Angkatan Darat. Bukti keterlibatan Soekarno sebenarnya sangat lemah, hanya berdasar pernyataan Brigadir Jenderal Soegandhi di muka Mahmilub tanggal 19 Januari 1967.
          “Pertemua Soegandhi dengan Soedisman, anggota politbiro CC PKI, dan Aidit, Ketua Umum CC PKI. Soegandhi mengaku diberi tahu, PKI sedang menyiapkan aksi revolusioner untuk menghadang gerakan Dewan Jenderal. Tetapi, ketika informasi tersebut dia sampaikan kepada Presiden, Soegandhi justru dibentak dan dituduh terjangkit komunisto-fobi.
          Dua bulan kemudian, Maret 1967, dalam posisi sebagai Ketua MPRS, Jenderal Nasution melantik Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden, menggantikan Soekarno yang dalam Keputusan MPRS dinyatakan tidak bisa menjalankan tugas. Sayang bulan madu mereka hanya sampai tahun 1971.
           Tahun 1972, dalam usia 54 tahun, Nasution dipensiunkan dari dinas militer. Beda pandang dirinya dengan Presiden Soeharto mencapai puncaknya ketika dia ikut menandatangani Petisi 50, mengkritisi pidato Presiden Soeharto dalam Rapim Abri di Pekanbaru bulan Maret serta pada ulang tahun Kopassandha bulan April 1980 di Cijantung.
          Tiga belas tahun kemudian, bulan Juli 1993, Presiden Soeharto melukiskan, “Antara saya dan Pak Nas tetap berhubungan baik. Sewaktu saya melayat Pak Soepardjo Rustam dan Letnan Jenderal Koesno Oetomo, kami berdua juga sudah bersalaman”.
          Dengan Keputusan Presiden tertanggal 30 September 1997, dianugerahkan pangkat Jenderal Besar Bintang Lima kepada tiga orang perwira Angkatan Darat, yang dinilai mempunyai pengabdian berikut prestasi sangat istimewa. “Jenderal Soedirman dikenal sebagai bapak TNI sekaligus Bapak Perang Kemerdekaan, Jenderal Nasution merupakan peletak dasar konsep middle way yang kemudian menjadi Dwi Fungsi ABRI, sedangkan Jenderal Soeharto karena berhasil menyelamatkan negara dan bangsa dari kudeta berdarah G30S/PKI”.
          Abdul Haris Nasution tutup usia tanggal 6 September 2000. Alumnus Pahlawan Revolusi ini dimakamkan dalam upacara kebesaran militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
          Setelah saya menulis surat pembaca di majalah TEMPO, mengkritisi tulisan Pak Nas yang tidak menyebutkan nama Kolonel Muhammad Nuh, satu-satunya perwira dari Sumatra yang hadir di Konferensi TKR yang pertama, 12 November 1945, di Yogyakarta, saya datang beberapa kali ke rumah Pak Nas di jalan Tengku Umar 40. Dalam kesempatan itu saya tanyakan tentang bapak kepada beliau. Berikut catatannya.

Noor Johan Nuh (NJN): Kapan Pak Nas mengenal bapak saya?

Abdul Haris Nasution (AHN): Pada Konferensi TKR yang pertama, di Markas Besar TKR, jalan Gondokusuman, Yogyakarta. Tepatnya 12 November 1945.

NJN: Apa tujuan Konferensi tersebut?

AHN: Pada 5 Oktober 1945, Presiden Soekarno membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan menunjuk Oerip Soemohardjo, mantan mayoor KNIL sebagai Kepala Staf Umum dengan pangkat Letnan Jenderal. Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, pemerintah tidak membentuk tentara sehingga para pemuda yang telah mengikuti pendidikan kemeliteran seperti PETA, HEIHO pada masa pendudukan Jepang, KNIL pada waktu penjajahan Belanda dan laskar-laskar, membentuk sendiri tentara di daerahnya masing-masing. Mereka menetapkan sendiri kepangkatan dan jabatan masing-masing. Organisasi tentara begitu semrawut hingga dianggap penting untuk menertibkannya. Untuk itulah, Kepala Staf Umum TKR Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo mengundang seluruh Komandan Divisi dan Resimen untuk hadir pada Konferensi TKR yang pada mulanya bertujuan menertibkan organisasi tentara karena kita masing-masing menyadari bahwa Belanda masih berkeinginan menjajah Indonesia kembali. Karenanya dibutuhkan organisasi tentara yang solid untuk menghadapi tentara kolonial Belanda. Markas Besar TKR pada mulanya di Jakarta, kemudian oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo di pindahkan ke Yogyakarta dengan pertimbangan Yogyakarta memiliki geo strategis militer untuk mengantisipasi serangan Belanda dari udara maupun laut. Penentuan Markas Besar TKR di Yogyakarta tidak terlepas dari perhitungan bahwa kolonial Belanda masih berkeinganan menjajah Indonesia kembali.

NJN:  Siapa saja yang hadir di Konferensi itu?

AHN: Hampir seluruh komandan Divisi dan komandan Resimen di pulau Jawa. Dari Jawa Timur tidak hadir lengkap karena sedang menghadapi pertempuran dengan tentara Belanda yang  membonceng tentara Sekutu yang mendarat di Surabaya. Di Surabaya terjadi pertempuran yang heroik yang kemudian  dikenal sebagai hari Pahlawan, 10 November.  Perwira yang hadir sebagian besar mantan perwira PETA/GYUGUN dan mantan KNIL seperti saya sendiri, Kolonel Didi Kartasasmita, Kolonel Jatikusumo, Kolonel Gatot Soebroto, Suryadarma dan Pak Oerip Soemohardjo. Juga hadir Sri Sultan Hamengkubuwono IX, GPH Purbonegoro, Kolonel Soedirman yang kemudian terpilih menjadi Panglima Besar di konferensi itu. Ayah ananda, Kolonel Muhammad Nuh sebagai satu-satu utusan tentara dari Sumatra yang hadir di konferensi tersebut, serta beberapa lagi yang saya sudah tidak ingat.

NJN: Dalam kapasitas sebagai apa Pak Nas hadir?

AHN: Pada waktu itu saya sebagai Kepala Staf Komandemen I Jawa Barat dengan pangkat  Kolonel, sebagai Panglima Komandemen Jenderal Mayor Didi Kartasasmita. Komandemen I  Jawa Barat sendiri terdiri dari 3 Divisi. Semua yang hadir didampingi seorang ajudan. Ajudan saya waktu itu  Kapten Umar Wirahadikusuma. Usia kami tidak berbeda jauh, Pak Umar memakai kumis hingga terlihat lebih tua dari saya sehingga yang di kira Kepala Staf malah Pak Umar. Ayah ananda, Kolonel Muhammad Nuh hadir bersama ajudan Mayor Harun Sohar. Kolonel dari Sumatra ajudannya Mayor. (Pak Nas tertawa kecil) Demikianlah keadaan pada waktu itu, tentang kepangkatan belum tertib. Pada waktu terjadi pergerakan daerah di penghujung tahun lima puluh saya banyak berhubungan dengan Harun Sohar, dan dia saya angkat sebagai pejabat Panglima Kodam Sriwijaya menggantikan Kolonel Barlian. Setelah ReRa (Reorganisasi Rasionalisasi tentara atas keputusan Bung Hatta) pada tahun 1948, baru ada penertiban kepangkatan walaupun banyak juga yang tidak puas dengan keputusan ini.

NJN: Apa maksud diadakan Konferensi TKR?

AHN: Pokok utama diadakan konferensi itu adalah untuk mengisi jabatan pimpinan tentara di Markas Besar TKR terutama dengan tidak munculnya Soeprijadi yang telah ditetapkan sebagai Panglima TKR pada 5 Oktober 1945, dan legalisasi jabatan Komandan Resimen dan Komandan Divisi   yang sebelumnya telah membentuk satuan dan menunjuk pimpinan tentara di masing-masing daerah. Rapat dipimpin langsung oleh Kepala Staf Umum TKR Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.

NJN: Apakah pemilihan Panglima Besar menjadi agenda Konferensi?                                                                     

AHN: Pada 5 Oktober 1945 pemerintah membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan  menetapkan Soepriadi, opsir PETA yang memberontak kepada bala tentara Jepang pada bulan Mei 1945 di Blitar sebagai Panglima TKR. Disebabkan sejak pengatan itu Soepriadi tidak muncul-muncul maka dianggap penting untuk menentukan atau memilih Pimpinan Tertinggi TKR. Suasana rapat makin hangat tatkala akan diadakan pemilihan Pimpinan Tertinggi TKR dimulai karena yang hadir belum siap untuk mengajukan calon masing-masing. Atas prakarsa Kolonel Soedirman rapat diskors sebentar. Ketika rapat dimulai lagi, pimpinan rapat dipegang Kolonel Holland Iskandar karena Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo yang sebelumnya memimpin rapat menjadi salah satu calon Pimpinan Tertinggi TKR yang kemudian disebut Panglima Besar TKR.

NJN: Bagaiman proses pemilihan itu dilakukan?

AHN: Pertama dibentuk panitia yang menuliskan nama-nama calon di papan tulis. Selain Pak Urip, Pak Dirman, Suryadarma, Pak Nazir, saya lupa nama calon lainnya. Ananda dapat baca siapa-siapa yang di calonkan sebagai pimpinan TKR di memoar saya jilid pertama. Pemilihan dilakukan dengan hanya mengangkat atau mengacungkan tangan satu persatu setelah nama calon disebutkan oleh panitia. Pemilihan dilakukan tiga putaran hingga putaran terakhir tinggal nama calon Pak Dirman dan Pak Urip. Selisih perbedaan suara antara Pak Dirman dan Pak Urip tidak banyak. Tetapi ayah ananda, Kolonel Muhammad Nuh atas nama 6 divisi di Sumatra, memberikan 6 suara seluruhnya untuk Pak Dirman, hingga Pak Dirman yang terpilih sebagai Pimpinan Tertinggi TKR atau Panglima Besar.

NJN: Apa lagi yang Pak Nas ingat tentang proses pemilihan itu, terutama yang ada kaitannya dengan bapak saya?

AHN: Kolonel Muhammad Nuh mengatakan bahwa ia mewakili 6 divisi di Sumatra, karenanya berhak memiliki 6 suara dalam pemilihan. Hal ini mendapat protes dari peserta konferensi sehingga Kolonel Holland Iskandar mengskors rapat. Kepada Pak Oerip dan Holland Iskandar diperlihatkan oleh Muhammad Nuh pengangkatan dirinya oleh Organisator/Koordinator Tentara di Sumatra Dr. A.K. Gani sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra, yang  sudah di plot bahwa komandemen Sumatra terdiri dari 6 divisi, karenanya Muhammad Nuh sebagi satu-satu wakil dari Sumatra berhak memilki 6 suara. Rapat dibuka kembali dan dijelaskan oleh Kolonel Holland Iskandar argumen dari Kolonel Muhammad Nuh yang pada akhirnya dapat diterima oleh peserta hingga ia berhak mendapat 6 suara dalam pemilihan tersebut.

NJN:  Setelah konferensi itu apakah Pak Nas masih bertemu bapak?

AHN: Tahun 1947, menjelang agresi militer Belanda pertama, Muhammad Nuh bersama yang lain seperti Kolonel Zulkifli Lubis, Simatupang, ditugaskan sebagai staf Pak Dirman di Yogyakarta. Setelah perang kemerdekaan dia meninggalkan dinas militer, saya tidak tahu alasannya dan  menjadi anggota DPR.

NJN: Setelah itu Pak Nas masih bertemu?

AHN: Setelah peristiwa PRRI, Pak Nuh bersama Barlian datang ke rumah saya.

NJN: Apa yang dibicarakan dalam pertemuan itu?

AHN: Saya khusus memanggil Kolonel Barlian dalam suasana politik pada waktu itu berkenaan dengan peristiwa PRRI. Sebelumnya saya memberhentikan Panglima Barlian dan mengganti dengan Kepala Staf Kodam Sriwijaya Letnan Kolonel Harun Sohar. Pada waktu pembentukan dewan-dewan di Sumatra, dimana Simbolon membentuk Dewan Gajah, Ahmad Husen membentuk Dewan Banteng, Barlian membentuk Dewan Garuda, kolonel-kolonel menuntut beberapa point kepada pemerintah pusat, diantaranya menuntut saya berhenti sebagai KSAD karena tour of duty yang saya lakukan. Pada mulanya saya meragukan sikap Kolonel Barlian karenanya saya berhentikan sebagai panglima dan diganti kepala staf Letnan Kolonel Harun Sohar. Kemudian, berdasarkan laporan intelijen terbukti Barlian tidak ikut pada rapat di Sungai Dareh yang esensi rapat tersebut pada akhirnya mewujudkan proklamasi PRRI. Atas sikap Barlian itu kemudian ia saya tarik ke Jakarta walaupun untuk itu saya mendapat protes dari staf di SUAD.

NJN: Mengapa mereka memprotes?

AHN: Pertama, atas perlakuan saya kepada Kolonel Barlian yang dikatakan tidak sama dengan Kolonel Simbolon dan Ahmad Husein, padahal mereka sama-sama ketua dewan yang melakukan protes kepada pemerintah pusat. Kedua, sebagai KSAD saya tidak memberhentikan Kolonel Barlian, sedangkan semua perwira seperti Simbolon, Dahlan Jambek, Zulkifli Lubis, Ahmad Husein, Nawawi,  yang ikut dalam pergerakan daerah telah diberhntikan dari dinas militer.

NJN: Apa pertimbangan Pak Nas tidak memecat Barlian?

AHN: Barlian sebagai ketua Dewan Garuda tidak ikut proklamasi PRRI yang dilakukan di Sungai Dareh. Artinya Dewan Garuda tidak terlibat dalam proklamasi tersebut. Ini pertimbangan saya menarik Barlian ke Jakarta, dan sudah saya rencanakan menempatkannya sebagai atase militer di luar negri. Menghadapi PRRI saya membentuk tim operasi penumpasan yaitu Operasi 17 Agustus dibawah pimpinan Kolonel A Yani, yang melakukan operasi militer di daerah Dewan Banteng, tepatnya di Sumatra Barat. Dewan Gajah dibawah Kolonel Simbolon tidak mendapat dukungan dari perwira-perwiranya dan ia bergabung ke Sumatra Barat. Sedang Dewan Garuda tegas menolak proklamasi PRRI, artinya Kolonel Barlian tidak terlibat dengan proklamasi PRRI. Untuk menyelesaikan masalagah Dewan Garuda saya membentuk tim Operasi Sadar dibawah pimpinan Kolonel Ibnu Sutowo. Tidak ada operasi militer di Sumatra Selatan, hanya operasi intelijen. Laporan dari Kolonel Ibnu Sutowo tentang sikap Dewan Garuda yang tidak terlibat  proklamasi PRRI menjadi pertimbangan saya menarik Kolonel Barlian ke Jakarta. Sedangkan Kolonel Ahmad Husein, Kolonel Simbolon, Kolonel Zulkli Lubis dipecat dari TNI, kemudian mereka mendapat amnesti dari Presiden. Saya sedih karena kawan-kawan yang dahulu berjuang bersama mempertahankan kemerdekaan proklamai 17 Agustus 1945 harus mengalami kejadian seperti ini.

NJN: Apakah Dewan Garuda terlibat proklamasi PRRI?

AHN: Tidak. Jika terlibat tentu Barlian sudah saya pecat seperti saya lakukan terhadap Simbolon, Zulkifli Lubis, Ahmad Husein.

NJN: Apa kesan Pak Nas pada Muhammad Nuh?

AHN: Saya tidak pernah dalam satu kesatuan dengan almarhum. Kalau dapat dikatakan kesan maka peran almarhum pada waktu pemilihan panglima besar, dimana alamarhum begitu gigih meyakinkan peserta konferensi bahwa ia sebagai wakil 6 Divisi di Sumatra memiliki hak 6 suara dalam pemilihan tersebut, itu merupakan satu sikap yang saya hargai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar