Sabtu, 01 Oktober 2011

7. Pasirah Termuda di Sumatra

Pasirah Termuda di Sumatra
 
     Merapi adalah   satu dusun (desa) yang terletak diantara kota Lahat dan Muara Enim, kurang lebih 210 kilometer arah Barat Daya kota Palembang, Sumatra Selatan.                                                         
         Di dusun ini bapak di lahirkan pada 16 Agustus 1916, dari perkawinan Mansyur dan Cik Yah yang otomatis adalah kakek dan nenek saya. Bapak anak tertua dari enam bersaudara, lima  adiknya adalah: Bakri, Ida, Hamidah, Zawiyah dan Baharuddin. Kakek Mansyur, biasa kami panggil “nenek kincut”, adalah anak tunggal dari kakek buyut Bachtiar. Ketika bapak di lahirkan kakek buyut Bahctiar  sedang menjabat sebagai Pasirah di Merapi, ketentuan adat pada jabatannya, didasari kinerjanya sebagai Pasirah berdasarkan besluit Countroleur Belanda ia,  menyandang gelar “Pangeran”, hingga biasa juga dipanggil Pangeran Bachtiar.
           Silsilah bapak saya dapatkan dari pamanda M Syafri As Gumay sebagai berikut: Adipati atau Dipati Kecik mempunyai seorang putra bernama Tegab. Tegap menggantikan Dipati Kecik dan menyandang gelar Pangeran Tegab.  Pangeran Tegab mempunyai seorang anak bernama Amak yang kemudian menggantikan kedudukannya sebagai Pangeran. Pangeran Amak mempunyai 2 orang istri. Istri pertama adalah Meraje Jurai Tuwe Gumay Ulu bernama Salimun. Istri kedua berasal dari dusun Jati Lame. Istri pertama melahirkan seorang anak bernama Mahibat yang kemudian menggantikan kedudukan Amak menjadi Pangeran. Dari istri kedua mendapat 5 anak, diantaranya yang sulung diberi nama Bachtiar, salah seorang adik perempuan Bachtiar bernama Beteri Acung. Kemudian Bachtiar menggantikan kedudukan saudaranya Mahibat menjadi Pangeran. Pangerang Bachtiar menikah dengan Puyang Hitam dari Lubuk Sepang dan mempunyai seorang anak bernama Mansyur. Mansyur memiliki 2 orang istri. Istri pertama berasal dari Jati yang adalah ibunda bapak dan memiliki 6 anak yang namanya tersebut di atas. Dalam penelusuran saya dapatkan tujuh generasi di atas saya.                                                                                                    
         Sesuai dengan kebiasaan di sana, apa yang lazim kita kenal sebagai kakek disapa dengan Nenek Lanang dan apa yang biasa disebut nenek di panggil Nenek Betine. Sedang kakek buyut disapa Puyang Lanang, sedang nenek buyut disebut Puyang Betine. Karena Puyang Lanang Pangeran Bahctiar berkulit putih, julukannya menjadi Puyang Putih, sedang istrinya Puyang Betine berkulit hitam disebut Puyang Hitam. Sebab itu Pangeran Bachtiar dipanggil Puyang Putih dan istrinya Puyang Hitam. Puyang Amak  mininggal tahun 1919, pada waktu itu usia bapak 3 tahun, hanya bapak diantara cicitnya yang merasakan belaian Puyang Amak. Puyang Amak pula yang memberi panggilan “Berok” untuk bapak.
         Masa kecil bapak lebih banyak di asuh Puyang Putih dan Puyang Hitam karena bapaknya, nenek Kincut, agak kurang memperhatikan, ditambah bapak sebagai cucu pertama tentu dapat bonus kemanjaan yang berlebih dari kakek dan neneknya. Sebagai anak tunggal “Pangeran” yang menjabat Pasirah, nenek Kincut  berlimpah kemanjaan materi. Sebagai Pasirah - Kepala Marga Merapi, Puyang Putih mendapat premi konsesi minyak yang berada di dusun Banjarsari dari pemerintah Hindia Belanda. Karena itu ia termasuk Pasirah yang cukup berada secara finansial dibanding pasirah lainnya, terutama yang berada di Kabupaten Lahat.                                                                                 
          Dusun Merapi dibelah oleh sungai Lematang. Di sebelah Barat sungai Lematang terbentang jalan raya yang kini menjadi bagian dari jalan trans Sumatra. Di bagian ini masyarakat tinggal, sedang di bagian timur atau seberang sungai Lematang dijadikan sawah dan kebun. Mata pencaharian penduduk pada waktu itu pada umumnya bertani, berkebun dan menyadap getah karet. Di bawah tanah dusun Merapi terkandung deposit Batubara yang cukup besar, sambungan urat fosil batu bara dari Tanjung Enim. Dengan diberlakukan otonomi daerah, Bupati berhak memberikan ijin Kuasa Pertambangan (KP). Puluhan perusahaan pemegang KP siap melakukan exploitasi tambang Batubara di Kabupaten Lahat.                   
          Marga Merapi adalah salah satu marga di kabupaten Lahat.  Terdiri dari 10 dusun yaitu: Arahan, Banjarsari, Prabu Menang, Gunung Kembang, Serapulau, Merapi, Muara Maung, Telatang, Kebau, Tanjung Baru. 
          Di daerah Palembang tempo dulu, seperti halnya di Bengkulu dan Jambi, susunan pemerintahan diatur menurut sistem “kepoyangan”, yaitu suku-suku kecil yang masing-masing terpisah dari yang lain. Suku anak dalam atau yang dikenal dengan nama suku Kubu, hingga sekarang masih memelihara tradisi nenek moyangnya tidak mau bercampur dengan suku-suku lainnya. Marga-marga di kabupaten Lahat semakin lama semakin longgar ikatan tradisinya seiring dengan berjalannya waktu.                                 
        Pada masa itu seorang Kepala Marga diangkat dari mereka yang paling gagah berani dan layak menjadi pemimpin dan pelindung, dari segala mara bahaya yang sering mengancam keselamatan warganya. Dipati Tegap, anak Dipati Kecik, generasi keenam di atas saya, terpilih sebagai Pasirah karena ia yang paling gagah berani diantara marga Merapi pada waktu itu. Pengangkatannya sebagai Pasirah dilakukan oleh Sultan Machmud Badaruddin II, penguasa Kesultanan Palembang pada waktu itu.
         Sejak zaman pemerintahan Sultan Palembang sekitar tahun 1800 an  secara berangsur angsur kelompok “kepoyangan” atau “marga” dengan wilayah yang diakui oleh Sultan Palembang semangkin mentradisi. Kepala Marga kemudian diangkat sebagai “Dipati”. Kepangkatan ini tidak ada hubungan warisan apapun dengan Sultan. Para Dipati diberi jabatan yang disebut “Pasirah” dan berhak memberi nama daerah yang dikuasainya yang merupakan sebuah “Marga”.
         Pengangkatan Dipati yang dilakukan oleh Sultan dengan besluit itu juga memberikan hak kepadanya sebagai Kepala Marga  yang memiliki otonom penuh untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerahnya. Pasirah mengangkat Kepala Dusun atau “Kerio”, juru tulis serta mengurus keuangannya sendiri. Pemerintahan kecil di bawah seorang Pasirah cukup memadai bagi kelompok masyarakat pada waktu itu. Setelah pemerintah Kolonial Belanda menaklukkan Kesultanan Palembang,  Kepala Marga diberikan  hak “yuridiksi” untuk menyelesaikan perselisahan pada ranah perdata dan  pidana dengan nilai tidak melebihi 200 gulden. Dalam perkara pidana dikecualikan mengenai  hal yang memakan korban jiwa. Dengan kewenangan  itu maka masalah pencurian kerbau, kambing dan sebagainya, yang tidak melebihi nilai 200 gulden, diberikan kewenangan otoritas yuridis untuk   diselesaikan oleh Pasirah. Artinya, masalah pencurian 3 bauh kakao, sebuah semangka atau hanya sekedar men “cas” hand phone, tidak perlu sampai ke pengadilan.                                                                                                      
          Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan sekolah disetiap Marga. Sekolah dasar 2 tahun yang di Jawa dikenal dengan sekolah Ongko Loro. Guru mendapat gaji dari Kepala Marga, meskipun kurikulum pelajaran diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Setelah Kesultanan Palembang ditaklukkan oleh kolonial Belanda, Sultan Machmud Badaruddin II di buang ke Ternate, sistem pemerintahan Marga dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan perubahan-perubahan yang disesuaikan  dengan kepentingan pemerintah kolonial.
          Pemerintah Kolonial Hindia Belanda  menyempurnakan lagi organisasi dan administrasi Marga. Pasirah tidak lagi diangkat begitu saja, tetapi melalui proses pemilihan. Bukan saja Pasirah, perangkat Pamong Desa lainnya seperti Kerio, Penggawa, Khotib, dan Penghulu juga dipilih. Pemilihan Dipati (Pasirah),  dibawah pengawasan Countroleur. Sedangkan pemilihan Kerio, Penggawa, Khotib dan Penghulu diawasi oleh Demang atau Asisten Demang. Proses “demokrasi” yang kita kenal seperti sekarang ini,  sudah lama dipraktekkan di daerah ini (Sumatra Selatan, Jambi dan Bengkulu) yang kemudian baru dilakukan pada era reformasi (One man – one Vote).
            Keuangan Marga dipertanggung jawabkan dengan perincian yang dinamakan “Nilayan”. Pasirah memerintah berdasarkan hukum “Simbur Cahaya”, yaitu hukum yang diberlakukan di wilayah hukum Palembang, Jambi dan Bengkulu. Pasirah atau Dipati yang telah memangku jabatannya tanpa cela selama beberapa tahun yang ditentukan, dianugerahi gelar “Pangeran”. Puyang Putih memenuhi kreteria itu hingga panggilan lengkapnya adalah;  Pasirah Pangeran Dipati Haji Bachtiar”.
Pasirah tinggal di dusun yang dinamakan Ibu Kota Marga. Pasirah  diwakili oleh “Pembarap” dalam hal dia berhalangan. Di ibukota Marga diangkat seorang Penghulu, sedangkan di dusun-dusun diangkat Khotib.
         Sebagai cucu Pasirah Dipati Pangeran Bachtiar, bapak bergaul dengan anak-anak sebaya di dusun Merapi. Pada usia sekitar 5 tahun ia ikut ke sawah yang berada di seberang sungai Lematang. Saat menyeberangi sungai dengan perahu menjadi hiburan tersendiri. Di sawah bermain lumpur, dan naik ke punggung kerbau ikut membajak sawah. Kehidupan para petani yang membekas dalam benaknya.   
         Pada tahun 1966, saya ikut Bapak ke Merapi, menjenguk  Nenek Kincut yang sedang sakit. Sudah beberapa tahun Bapak tidak pulang ke Merapi, sejak pergerakan daerah dipenghujung tahun lima puluhan. Tentu saja kepulangannya menjadi berita di dusun kecil itu, hingga setiap malam warga dusun bertandang ke rumah melepas kerinduan kepada bapak. Bibi Zawiyah yang pada waktu itu tinggal di Merapi, kebagian repot menyediakan suguhan kepada tamu yang datang.                                                                                              
         Seorang nenek tua  masih mengenakan kain kemban basah kuyup datang dari sungai, bergegas ke rumah mendengar kedatangan bapak. Bapak dipeluk dan di cium oleh perempuan tua itu, sambil bercucuran air mata nenek tua itu berucap: “Lah ketemu Brok, aku lah gala’ mati” (sudah ketemu Brok, aku sudah rela mati). Bapak menjelaskan pada saya siapa nenek tua itu. Namanya puyang Ning. Usianya pada waktu itu mungkin lebih sembilan puluh tahun, karena, pada waktu dusun Merapi di siram hujan abu (gunung Krakatau meletus – th.1883), ia sudah gadis. Bapak biasa di panggil “Brok” oleh sanak famili dan kerabat dekat, sesuai dengan nama yang diberikan Puyang Amak.  Kata itu berasal dari nama buah mirip semangka tapi kulitnya keras. Karena waktu kecil perawakannya gemuk mirip buah brok maka panggilan itu melekat pada nama bapak bagi keluarga dekat. Tetap melekat dalam benak saya betapa puyang Ning sangat mencintai bapak hingga terucap kalimat seperti itu. “Sudah ketemu Brok, aku sudah rela mati”.
         Pada usia sekitar 6 tahun, bapak masuk sekolah rakyat di dusun Merapi, mirip sekolah Ongko loro di pulau Jawa. Setamat sekolah rakyat bapak meneruskan ke  Hollands Inlandsche Scool (HIS) selama 6 tahun di Muara Enim. Puyang Putih menyekolahkan bapak di HIS karena hanya tamatan HIS yang dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, baik di Jawa atau Negri Belanda.  Jarak Muara Enim dengan Dusun Merapi sekitar 15 kilometer, ditempuh dengan kereta kuda (delman) atau kereta api.                                                             
         Setamat HIS, bapak melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Palembang, karena pendidikan setingkat itu belum ada di Muara Enim atau Lahat. Bapak menamatkan Mulo Adv B pada usia sekitar 16 tahun. Ia kembali ke Merapi, dan bermaksud meneruskan ke pendidikan yang lebih tinggi di pulau Jawa, bahkan sampai ke Negri Belanda. Keinginan Bapak melanjutkan pendidikan ke pulau Jawa tidak di ijinkan oleh Puyang Putih. Tidak jelas alasannya. Mungkin karena usianya yang sudah mendekati enam puluh tahun, maka ia tidak mau berjauhan dengan cucunya.                                                                     
         Sekitar satu tahun bapak mengamati peran Pangeran Bachtiar menjalankan tugasnya sebagai Pasirah. Sesekali bapak ke Palembang, khusus untuk membeli buku-buku filsafat, ekonomi serta politik. Bacaan yang diminati yang kemudian menjadi bekal dalam membentuk karakter bapak.
        Memasuki usia bapak 17 tahun, Puyang Putih meminta bapak untuk segera menikah, karena ia bermaksud akan akan berhenti dari jabatan sebagai Pasirah, dan menghendaki bapak sebagai pegantinya. Salah satu syarat menjadi Pasirah adalah orang yang sudah berumah tangga.  Mengenai calon mempelai wanita ternyata Puyang Putih bersama Abdul Rozak (kemudian menjadi Residen Palembang) sudah mempersiapkan. Bapak cukup terkejut dengan maksud Puyang Putih, utamanya ia belum tahu siapa jodohnya, dan masih ada keinginan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Tapi, sebagai Cucu yang “takzim”, kehendak Puyang Putih di “amin” kannya. Setelah melalui berbagai tata cara adat pinangan, perkawinan bapak dengan ibu, Yahning Zahir, di langsungkan di Lubut Keliat, dekat kota Tanjung Raja. Dilanjutkan ngunduh mantu di dusun Merapi.
         Ibunda, Yahning Zahier berasal dari Lubuk Keliat, anak dari istri ke tiga Pangeran Muhammad Zahier, Pasirah Lubuk Keliat. Ir. Ibrahim Zahir, yang pada tahun 1962 membuat pabrik pupuk Sriwijaya adalah kakak Ibu. Kakak perempuan Ibu, biasa saya panggil Uwak Salamah, menikah dengan H. Mochtar Prabu Mangkunegara, mantan Gubernur Sumatra Selatan.  Kakak Ibu lainnya, Yunus Zahier, adalah orang tua  Mayor Ruslan, yang gugur di Lahat pada bulan Oktober 1945, saat terjadi kontak senjata pada saat  melucuti persenjataan tentara Jepang. Namanya diabadikan sebagai nama jalan protokol di Palembang.            
         Usai melangsungkan pernikahan, sesuai dengan keinginan Puyang Putih untuk berhenti sebagai Pasirah, maka dipersiapkan pemilihan Pasirah untuk menggantikannya. Dua orang calon yang akan maju dalam Pemilihan Pasirah (Pilpas)  adalah bapak dan nenek Kincut (kakek saya). Pada hari yang sudah di tentukan, penduduk Marga Merapi yang memiliki hak pilih, menentukan siapa yang layak menjadi Pasirah menggantikan Pangeran Haji Bachtiar. Pada waktu penghitungan suara, yang memilih nenek Kincut ternyata lebih banyak dari pada yang memilih bapak, berarti nenek Kincut memenangkan PilPas itu. Hal ini membuat gundah Pangeran Bachtiar yang menghendaki cucunya yang menggantikannya. Sebagai Pasirah  sekaligus Kepala Marga, ia mempunyai hak “prerogatif” untuk menolak hasil PilPas dengan mengajukan alasan penolakan kepada Controleur di Lahat. 
  Pangeran Bachtiar mengumumkan kepada masyarakat bahwa hasil PilPas di pending,  ia bersama staf (diantaranya Pembarab) menemui H.J. Wijnmaalen, Controleur  Belanda di Lahat. Pangeran Bachtiar memaparkan  alasan penolakan kepada Controleur. Disebutkan bahwa bapak lah yang diharapkan menggantikannya, memiliki pendidikan yang memadai (MULO) dan yang terpenting, rasa kekhawatiran Pangeran Bachtiar karena Bapak sudah mulai cenderung tertarik pada politik,  hingga dikhawatirkan ikut dengan kaum pergerakan dapat ia cegah. Alasan Pangeran Bahctiar dapat di terima oleh Wijnmaalen. Hasil PilPas dibatalkan dan Pangeran Bahctiar dibenarkan menggunakan hak prerogatif untuk menetapkan calon yang kalah suara dalam PilPas menggantikannya sebagai Pasirah. Tentu nenek Kincut kecewa atas tindakan Pangeran Bahtiar (bapaknya), dan bapak juga merasa bersalah merebut kemenangan nenek Kincut. Akan tetapi, wibawa kepeminpinan Pangeran Bachtiar pada akhirnya membuat semua pihak termasuk masyarakat pemilih dapat menerima keputusan itu. 

         Bapak memulai pekerjaan sebagai Pasirah, menggantikan kakeknya Pangeran Bachtiar. Pupus sudah kehendaknya berkecimpung dalam bidang politik, ikut dengan kaum pergerakan. Dari buku-buku yang dibaca telah membuka wawasannya lebih luas tentang dunia internasional dan yang terpenting adalah ketidak adilan yang di rasakan oleh bangsa terjajah. Sebagai kompensasi atas kesediaan bapak mengikuti kehendak Pangeran Bachtiar yaitu kawin pada usia muda dan menggantikannya menjadi Pasirah, Bapak dibuatkan sebuah rumah oleh Pangeran Bachtiar. Rumah kayu yang konon terbesar di sekabupaten Lahat. Rumah di dusun Merapi itu kemudian menjadi sejarah karena di rumah itulah diadakan rapat  pembentukan Tentara di Sumatra. Mengenai rapat pembentukan tentara di Sumatra ini saya dapatkan keterangannya dari Kolonel Simbolon. Yang hadir rapat di rumah tersebut adalah: Jenderal Mayor Soehardjo Hardjowardojo, Kolonel Hasan Kasim, Kolonel Dahlan Jambek, Kolonel Barlian, Kolonel Simbolon, Mayor Harun Sohar. Rapat di lakukan pada Februari 1946, setelah Kolonel Simbolon dilantik sebagai Panglima Divisi II Lahat, bapak pada wakru itu sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra. Mengenai rapat di rumah bapak, Bibi Zawiyah  menceritakan dengan runtut saat ia menyediakan konsumsi bagi petinggi tentara di Sumatra yang rapat sekaligus bermalam di rumah itu.                                                                                                                                         
         Karena saya dan adik-kakak tidak ada yang menetap di Merapi, rumah bersejarah itu tinggal puing-puing berserakan. Disayangkan tidak ada berita ke kami saat kerusakan masih dini, yang tentu biaya perbaikan belum banyak. Keterangan tentang pembentukan Tentara di Sumatra di rumah itu,   saya tulis lebih rinci pada bab “Kepala Staf Komandemen Sumatra”.
         Bapak menjadi Pasirah di Merapi dari tahun 1933 sampai tahun 1943. Selama 10 tahun menjadi Pasirah, kepemimpinannya sebagai Kepala Marga dinilai baik oleh Controlier, karenanya selain bergelar Dipati, bapak dianugerahi gelar “Pangeran” sama dengan yang diterima Puyang Putih (dalam buku Ulang Tahun Kodam Sriwijaya nama bapak ditulis Kolonel Pangeran Muhammad Nuh). Keterangan dari Sainan Sagiman bahwa pada setiap Marga hanya ada satu orang Pangeran. Karena Pangeran Bachtiar masih hidup selama bapak menjabat Pasirah, maka gelar itu tidak pernah disebutkan.
          Sebagai Pasirah Marga Merapi, otomatis uang premi konsesi minyak di Banjarsari jatuh ke bapak, karenanya bapak dapat mengembalikan uang yang di keluarkan oleh Pangeran Bachtiar pada waktu membuatkan rumah untuknya. Dengan uang premi konsensi minyak, penghasilan bapak cukup besar pada waktu itu – sama dengan Pangeran Bachtiar – bapak menjadi Pasirah terkaya di sekabupaten Lahat.
         Mayor Harun Sohar (kemudian menjadi Mayor Jenderal), salah seorang yang ikut hadir di rumah bapak mengikuti rapat pembentukan Tentara di Sumatra, menuliskan pertemuan dengan bapak pada waktu bapak menjadi Pasirah di Merapi di buku “BUNGA RAMPAI PERJUANGAN DAN PENGORBANAN”, penerbit Markas Besar Legiun Veteran RI, sub judul – “PENGALAMAN PERANG GERILYA” – oleh Mayor Jenderal TNI (Purn) Harun Sohar”, berikut petikannya:

Saya di Lahat menginap di sebuah Hotel dengan biaya F 15,- (lima belas gulden) Pada suatu hari saya bertemu dengan kawan akrab saya bernama saudara Muhammad Nuh, seorang Kepala Marga (Pasirah). Dia pada waktu itu sedang mengikuti pertemuan para Pasirah dan pertemuaan-pertemuan ini rupanya sering di lakukan. Para peserta pertemuan selalu menginap di hotel dimana saya menginap. Karena saya berada di hotel itu maka Muhammad Nuh jika kebetulan mengikuti pertemuan para Pasirah selalu tidur di kamar saya. Ternyata Muhammad Nuh sudah mempunyai pandangan politik. Muhammad Nuh mengatakan kepada saya bahwa nanti kalau Jepang masuk ke Indonesia, sekiranya Jepang itu dengan niat baik mau memerdekakan Bangsa Indonesia tentu Indonesia membutuhkan tentara. Saudara Muhammad Nuh ini kelak pada tahun 1943 bersama-sama saya masuk Gyugun yang di latih di Pagar Alam dan pada 1946 bersama-sama pula melaksanakan tugas keliling bersama Panglima Komandemen Sumatra (Muhammad Nuh sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra), membentuk komando-komando se Sumatra, serta melantik semua perwira-perwira se Sumatra”.

          Harun Sohar adalah keponakan Pangeran Lenggang yang juga seorang Pasirah. Pada akhir tahun 1941, ia berkerja di Zuid Sumatra Staats Spoor Wegen, bengkel kereta api di Lahat, dan tinggal di hotel yang juga biasa bapak nginapi jika ada pertemuan Pasirah sekabupaten Lahat. Seperti diketahui, pada 8 Desember 1941, Pearl Harbour diserang oleh tentara Jepang yang dipimpin oleh Laksamana Yamamoto, disusul pernyataan Jepang berperang dengan Amerika dan sekutunya. Gubernur Jenderal Hindia Belanda segera pula menyatakan perang kepada Jepang karena  Belanda adalah salah satu negara “Sekutu”.                                                    
        Keterlibatan Jepang bersama dengan Jerman dan Itali pada perang dunia kedua menjadi topik pembicaraan antara bapak dan Harun Sohar. Pada tulisan Harun Sohar di atas, dapat dicermati bahwa bapak (setelah Pearl Harbour di serang Jepang tahun 1941) sudah memperkirakan tentara Jepang akan menaklukkan Hindia Belanda, dan untuk memerdekakan Bangsa Indonesia tentu membutuhkan tentara. Karena itulah ketika fasisme Jepang membuka kesempatan kepada para pemuda untuk mengikuti pendidikan kemiliteran, ribuan pemuda berbondong-bondong merespon dengan mengikuti pendidikan PETA, GYUGUN maupun Heiho.
         Harun Sohar juga menuliskan ketika bersama bapak menghadiri Konggres Pemuda 10 November 1945 dan Konferensi TKR yang pertama 12 November 1945 di Yogyakarta, serta pada saat membentuk dan melantik struktur komando tentara di Sumatra.  Keterangan yang dituliskan Harun Sohar ketika bapak menjadi Pasirah, juga saya dapatkan dari Mayor Jenderal Polisi (Purn) A Bastari, mantan Gubernur Sumatra Selatan. Selain menjelaskan pada saya, Pak Bastari  membuat surat tentang bapak, dapat di lihat di lampiran buku ini.
         Pak Bastari telah mengenal bapak sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Selanjutnya ia mengatakan bahwa “bapak adalah Pasirah (Kepala Marga) yang termuda di Sumatra sebelum Perang Dunia Kedua”. Sejak muda bapak sudah bersifat progresif menentang penjajahan Hindia Belanda dan aktif bergiat dalam politik hingga agak dicurigai oleh pemerintah Kolonial pada waktu itu, terutama berkenaan dengan pemilihan anggota Palembang Raad, yaitu suatu Dewan Penasehat untuk seluruh Keresidenan Palembang.             
         Oleh sebab wawasannya, bapak terpilih menjadi salah seorang pimpinan Pasirah Bond, yaitu organisasi seluruh Pasirah yang ada di Keresidenan Palembang, yang meminpin para Kepala Marga. Pada waktu itu Pak Achmad Bastari tinggal di Muara Enim dan kerap bertemu bapak di Merapi dan juga  mengenal Pangeran Bachtiar dengan akrab. Sewaktu terjadi Perang Pacific, bapak tambah dicurigai oleh pemerintah Kolonial, Akan tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama karena segera Jepang menaklukkan  Hindia Belanda. Pada saat  pasukan Jepang masuk ke Palembang, Pak Bastari sebagai Camat di Muara Enim. Mereka tidak mengelu-elukan agar Jepang lekas datang, akan tetapi sudah sepaham bahwa kemungkinan perubahan nasib mencapai suatu kebebasan akan didapati nantinya.                                                                                                                             
         Mereka juga menyadari bahwa fasisme Jepang hanya akan lebih menyengsarakan rakyat. Salah satu yang sangat sulit ialah pengumpulan “romusha”, yakni rombongan kerja paksa yang harus di kumpulkan dari dusun-dusun. Merasakan itu semua membuat bapak memutuskan berhenti sebagai Pasirah, digantikan oleh bapaknya, Nenek Kincut.   Bersama ratusan pemuda lainnya, bapak masuk dan mengikuti pendidikan kemiliteran “Gyugun” di kota Pagar Alam.
                   


                                                                                                 

8 komentar: