Selasa, 04 Oktober 2011

Sambutan Letnan Jenderal TNI (Purn) Himawan Soetanto


SAMBUTAN :
LETJEN TNI (PURN) HIMAWAN SOETANTO, MM, M.HUM
ATAS PENERBITAN BUKU BIOGRAFI  KOLONEL MUHAMMAD NUH

          Saya sangat berbangga hati atas upaya saudara Noor Johan Nuh dan  untuk menulis biografi ayahandanya Kolonel Muhammad Nuh yang diberi judul “6 Suara untuk Pak Dirman - KEPALA STAF KOMANDEMEN SUMATRA KOLONEL  MUHAMMAD NUH - Penentu Kolonel Soedirman Menjadi Panglima Besar”. Dengan terbitnya buku ini akan dapat menambah wawasan kita tentang masa-masa penting  Indonesia saat revolusi fisik, khususnya yang ada di daerah Komandemen Sumatra karena beliau pada masa itu menjabat sebagai Kepala Stafnya.
Upaya penulisan sejarah seperti yang dilakukan oleh Noor Johan Nuh patut kita hargai karena selain menambah perbendaharaan tentang pernak-pernik sejarah bangsa Indonesia, khususnya sejarah militer, yang terjadi di masa revolusi juga akan dapat menguak lebih jauh bagaimana tentera Indonesia memainkan peranan yang sangat penting dalam mempertahankan Republik Indonesia yang usianya masih muda belia. Selain itu, dalam keterbatasan SDM maupun alutsista yang dimilikinya, TKR/TNI terus berbenah atau mereformasi dirinya untuk meletakkan sendi dasar militer Indonesia yang otonom sebagai Tentara Rakyat, Tentara Revolusi dan Tentara Nasional. Dan yang tidak kalah pentingnya bagaimana militer pada waktu itu, dalam berbagai keterbatasan, kendala dan hambatan, “berdemokrasi” yang berjalan secara tertib, damai, dan penuh rasa e’sprit de corp dalam pemilihan Panglima Besar TKR/TNI yang kesemuanya itu menunjukkan usaha para pucuk pimpinan TKR/TNI untuk menegakkan otonomi militer dari kekuasaan “parpol/penguasa”.
Ada hal yang sangat menarik dari salah satu episode semasa beliau menjadi Kepala Staf Komandemen Sumatra, yaitu pada waktu pemilihan panglima besar berlangsung. Sebagai utusan dari Sumatra beliau memiliki enam suara yang harus diberikan pada saat pemilihan Panglima Besar. Amanah telah belau tunaikan dalam pemilihan itu, sehingga Kolonel Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar dengan perolehan 22 suara dibandingkan dengan Letjen Urip Sumoharjo yang mendapatkan 21 suara. Sejarah tidak mengenal “berandai-andai”, namun sebagai refleksi andai beliau abstain atau enam suara diberikan kepada pak Urip tentu (warna) sejarah (TNI) akan lain dan tidak seperti sekarang ini. Walau bagaimanapun Pak Dirman dan Pak Urip merupakan dwitunggal dalam perjalanan sejarah bangsa ini, khususnya sejarah TNI.
Yang tidak kalah pentingnya dari terbitnya buku ini adalah dapat dijadikan sebagai jembatan pewarisan nilai-nilai kepada generasi muda, khususnya generasi muda prajurit TNI. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, salah satunya direkatkan oleh (pengalaman) sejarah.  Allan Nevis, seorang sejarawan Amerika Serikat, mengatakan bahwa, “history is actually a bridge connecting the past with the present and pointing the road to the future.
 Pentingnya keakraban sejarah antar generasi juga diutarakan oleh Ortega Y. Gasset dalam bukunya The Revolt of The Masses, “Dampak dari kurang dikembangkannya dan dipublikasikannya informasi keakraban sejarah dan budaya masa lalu telah melahirkan generasi muda yang tidak memiliki standart nilai. Sehingga melahirkan onggokan massa barbar yang modern. Tingkah laku demikian akan dialami juga oleh kalangan inteligensianya bila tidak mendapatkan pemahaman sejarah dan budaya secara baik.
Dalam historiografi militer di Indonesia memang sudah banyak buku-buku yang menulis tokoh militer di Indonesia, namun sepertinya  memoar atau biografi  hanya dianggap sebagai “catatan kaki/footnote” dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, terutama sejarah militer. Padahal banyak sekali pelajaran (sejarah) yang dapat dipetik dari isi buku-buku itu, termasuk buku biografi Kolonel Muhammad Nuh ini. Apabila buku sejarah ini dibaca dan dipahami dengan baik, maka akan diperoleh (warisan) nilai-nilai keteguhan, kejuangan dan heroik dari perjuangan Kolonel Muhammad Nuh kepada generasi muda, termasuk generasi muda TNI pada masa sekarang ini. Selain itu dapat juga menumbuhkan dan mempererat jiwa korsa (e’sprit de corps), menumbuhkan rasa kebanggaan pada satuan dan untuk meningkatkan moril setiap prajurit dalam mengemban tugas sebagai bhayangkari negara.
Secara pribadi saya tidak mengenal Kolonel Muhammad Nuh namun “cerita” mengenai beliau sudah saya dengar sewaktu saya menjadi taruna MA Yogya dari ayahanda saya, Jenderal Mayor Muhammad. Beliau adalah rekan seangkatan ayah saya dalam perjuangan, terutama pada saat ayahanda Muhamad menjabat sebagai Komandan Komandemen Jawa Timur. Sosok beliau lebih saya kenal dan ketahui pada waktu saya menjabat sebagai Panglima Kodam IV/Sriwijaya (1971-1973) dimana beliau menjadi salah satu sesepuh Korp Sriwijaya dimana nama beliau selalu tertulis dalam buku-buku sejarah perjuangan  Kodam IV/Sriwijaya (sekarang Kodam II/ Sriwijaya).
           Semoga dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, kita sebagai generasi penerus bangsa senantiasa mendapat petunjuk, bimbingan dan kekuatan dalam mempersembahkan karya  terbaik kepada bangsa dan  negara yang kita cintai ini.


Jakarta, 30 Agustus  2010

TTHS.jpg
  
                                                       Himawan Soetanto, MM, M.Hum                                                                         
                                                           Letnan Jenderal TNI (Purn)

Bapakku


         Alhamdulillah saya diberi kesempatan hingga usia 17 tahun merasakan kehangatan hidup bersama bapak, di bandingkan Nabi Muhammad yang tidak mengenal bapaknya. Ingatan saya mulai terekam di usia sekitar tiga - empat tahun. Pada waktu itu kami tinggal di Jl. Telaga no. 1, Kambang Kecik, Palembang. Kegiatan di rumah dapat dikatakan cukup hiruk pikuk dengan banyak orang hilir mudik di rumah, sedang bapak jarang tampak, hanya sesekali pulang dan nampak agak bergegas pergi lagi. Kemudian baru saya tahu bahwa pada tahun 1957-1958 terjadi gerakan daerah dan bapak sebagai penasehat di Dewan Garuda.
         Setelah itu kami pindah ke Jakarta. Kegiatan bapak berubah, sering ke luar negri yang tentu menggembirakan buat saya karena mendapat oleh-oleh mainan setiap ia pulang.  Ternyata pada waktu itu  bersama Dr. A.K. Gani, Kolonel Abunjani dan Cikwan di tunjuk  sebagai ketua Gabungan Eksportir Karet (GEK), karenanya, bapak kerap ke Singapore berkenaan dengan jabatan itu. Hubungan yang sudah terbina dengan kologenya di Singapore dan Semenanjung Melayu sejak perang kemerdekaan, terjalin kembali berkenaan ekspor karet Indonesia ke Singapore.   
         Kegiatan di GEK terhenti ketika dikeluarkan keputusan politik oleh presiden Sukarno berkonfrontasi dengan Malaysia. Dampaknya, tidak ada lagi transaksi perdagangan antara Indonesia dan Malaysia (Singapore bagian dari Malaysia pada waktu itu). Presiden Sukarno menolak apa yang dikatakannya sebagai negara boneka Malaysia dan mengikrarkan perang melalui pernyataan yang kita kenal sebagai “Dwikora”. Memerangi negara “boneka” Malaysia, istilah presiden Sukarno. Sejatinya, apa yang dilakukan itu sudah melanggar telak-telak mukadimah Undang-undang Dasar 45 (UUD 45) yang menyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak setiap bangsa.” Keputusan politik presiden Sukarno membuat bapak kecewa. (baca surat kepada ketua Korps Sriwijaya) Ia teringat bagaimana orang-orang di Singapore dan di semenanjung Melayu ikut membantu perjuangan Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaan pasca proklamasi. Ini dialaminya  waktu mendapat penugasan dari Wakil Presiden dan Panglima Komandemen Sumatra Mayor Jenderal Soehardjo Hardjowardojo mencari senjata dan obat-obatan disana. Karenanya, bapak memiliki relasi yang cukup banyak di Singapore, termasuk dengan Tong Tjoe yang pada waktu revolusi mengurus pemasukan senjata dan obat-obatan milik Dr. A.K. Gani. Sejatinya jasa Tong Tjoe tidak bisa di abaikan dalam membantu perjuangan Tentara kita mempertahankan kemerdekaan.
         Selama menjalankan konfrontasi dengan Malaysia, setiap hari bapak membeli berbagai Koran dan membaca dengan simak semua koran itu.  Sebelumnya, pukul 06.00 mendengarkan siaran radio Australia,  pukul 07.00 siaran dari RRI dan mendengarkan siaran radio Malaysia jam 09.00. Pada waktu itu ada larangan mendengar siaran radio dari Malaysia hingga volume radio di kecilkan dan kuping didekatkan ke speker. Keadaan negara yang sedang berkonfrontasi dengan Malaysia diikuti perkembangannya setiap saat. Kadang-kadang dia menggumam emosi mengomentari politik konfrontasi yang dicanangkan oleh presiden Sukarno ini.                                                
        Sekolah Dasar saya di PSKD V jalan Bulungan. Naik kelas 5 terpaksa pindah ke sekolah negri karena  uang sekolah ikut naik. Tamat sekolah dasar, awal tahun 1965,  saya melanjutkan ke SMP XIII di jalan Tirtayasa. Dari rumah saya dan bapak jalan kaki ke SMP XIII untuk mendaftar. Bapak bertemu dengan guru dan bagian administrasi. Kepala sekolah Pak Kasim berasal dari Palembang kebetulan mengenal bapak. Pak Kasim mengajak bapak keruangannya dan berbicara cukup lama. Selesai urusan pendaftaran kami pulang, kembali berjalan kaki ke rumah. Tidak banyak yang kami bicarakan selama perjalanan pulang. Yang masih terngiang di kuping saya bapak mengatakan uang pangkal masuk SMP cukup mahal. Tahun depan adik saya Janah akan masuk SMP juga. Sedikit lirih bapak mengatakan bagaimana mempersiapkan uang pangkal untuk dia tahun depan.          
         1 Oktober 1965, malam hari telah terjadi  pemberontakan G30S/PKI dengan menculik dan membunuh 6 Jenderal dan 1 perwira Angkatang Darat. Tanggal 1 Oktober 1965 menjadi hari panjang penuh ketidak pastian dan sangat mencekam. Begitu juga di tempat tinggal kami, jalan Lamandau III no 5, Jakarta Selatan. Atas swadaya tetangga sekitar rumah, diadakan Jaga Ronda (Jagora – bukan Siskamling istilah yang di populerkan oleh Pak Domo saat ia menjabat Pangkopkamtib).                                                                           
         Jagora bertempat  di Restoran Mendawai, milik orang tua Ajie Notonegoro, bapak Jati Notonegoro. Jagora dilakukan sejak 1 Oktober 1965 hingga akhirnya menjadi kebiasaan  bagi para orang tua disekitar tempat tinggal untuk kongkow-kongkow selepas restoran Mendawai tutup. Seiring dengan suasana waktu itu, yang sedang ber Jagora - bercerita tentang perjuangannya pada masa revolusi.                                                                                          
         Dalam suasana yang mencekam setelah pemberontakan G30S/PKI, membuat beberapa  tetangga terbawa nostalgia pada suasana masa revolusi fisik 1945 dahulu. Orang Tua yang hadir saling bercerita nostalgia perjuangan mereka masing-masing di masa mempertahankan revolusi 45. Saya dan kawan-kawan sebaya juga ikut kumpul di meja lain hingga dapat mendengarkan kisah perjuangan mereka.                                                       
         Sebagai partisipasi, beberapa kali bapak  turut berkumpul ikut Jagoro, tapi, tidak sepatahpun bapak bercerita apa yang dialaminya pada masa mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Atau ikut nimbrung bercerita tentang perjuangannya pada masa lalu. Tentunya masing-masing orang tua menceritakan pengalaman perjuangan mereka. Om Jati Notonegoro (bapaknya Aji N) bercerita pengalamannya bertempur dengan pasukan Belanda pada waktu terjadi agresi militer Belanda. Pada satu malam pasukannya diserang tentara Belanda. Pasukannya terdesak karena mundur karena tentara Belanda lebih banyak.                                                                                         
         Pak Jati berlari mencari perlindungan ditengah malam gelap gulita, sampai ia masuk ke dalam satu lubang dan terus bersembunyi di lubang itu hingga pagi. Pada saat matahari mulai bersinar ia baru mengetahui bahwa lubang persembunyiannya adalah tanah yang di gali untuk kuburan. Kebetulan saat menceritakan peristiwa itu malam Jumat, kami (anak-anak) yang menguping terbawa suasana sedikit ketakutan dan berhamburan pulang ke rumah. Selain Pak Jati, bapak- bapak yang lain pun ikut berbagi cerita pengalamannya masing-masing pada masa revolusi dahulu.                                               
         Saya bayangkan, jika pada waktu itu bapak mengatakan seperti ini: “Pada waktu revolusi, saya kawannya Pak Dirman.” Mungkin sedikit reda para suara para pencerita yang heroik itu. Tapi bapak tidak pernah melakukan itu, dia sepertinya sangat asik mendengarkan cerita perjuangan para tetangga yang pada waktu itu ikut berjuang mempertahankan Proklamasi l945. Para tetangga baru mengetahui bahwa bapak adalah mantan tentara dengan pangkat kolonel, pada saat bapak meninggal. Om Darsono yang tinggal disebelah rumah berkata; “bapak kamu senior sekali.”
         Satu hari pada awal tahun 1967, datang surat dari Sekretariat MPRS berisi pengangkatan bapak sebagai anggota MPRS utusan Sumatra Selatan. Dalam surat itu  disebutkan bahwa M Nuh diminta datang ke Sekretariat MPRS sebagai proses administrasi berkenaan dengan pengangkatan tersebut.
         Penunjukan Muhammad Nuh sebagai anggota MPRS menjadi berita besar yang menggembirakan bagi keluarga tentunya. Saya pun yang belum sepenuhnya mengerti makna penunjukkan bapak sebagai anggota MPRS, terbawa dalam eforia kegembiraan. Pasalnya, selama ini saya mengamati bapak setiap hari hanya disibukan membaca koran dan mendengarkan radio serta berita di televisi. Diselingi kedatangan tamu-tamu yang kelak saya ketahui diantaranya adalah Alamsyah Ratu Perwira Negara, Asnawi Mangku Alam, Barlian, Hasan Kasim dll.                                                                                                                  
         Kurun waktu saat bapak ditempatkan di Yogyakarta, sebagai Perwira Penghubung Panglima Besar dengan Komandemen Sumatra (Maret 1947), hingga kembali ke Palembang setelah Perang Kemerdekaan. Adalah satu periode yang terungkap berdasarkan surat bapak yang ditujukan kepada ketua Korps Sriwijaya, atas fitnah yang ditujukan kepada dirinya, dengan mengatakan dia sebagai federalis. Fitnah ini beredar pada l967, pada saat bapak bersama Kolonel Barlian ditunjuk sebagai anggota MPRS dari Utusan Daerah Sumatra Selatan.
                  Jika surat ini tidak ada, maka riwayat  bapak pada masa itu tetap menjadi mesteri atau tidak akan terungkap. Sifatnya yang pendiam, lebih banyak mendengar, dan tidak banyak bercerita apa yang dialaminya pada waktu revolusi mempertahankan kemerdekaan, berakibat tidak ada yang mengetahui dengan pasti apa yang dilakukannya pada waktu itu.
         Ketika saya tanyakan riwayat bapak kepada salah seorang adiknya, paman Baharudin, dia menceritakan bahwa pada waktu mencari senjata di Singapore, bapak ditangkap di Medan, padahal dalam tulisan bapak, dia menceritakan dengan runtut dan jelas pada saat mendapat penugasan mencari senjata dan obat-obatan ke luar negri, termasuk ketika tertangkap di kota Dabo, pulau Singkep.
         Tiba satu hari yang mengelegar bagi saya sekeluarga, bapak meninggal di Bandung, Saptu 17 Oktober 1970, pukul 18.10. Malam itu juga jenazah di bawa ke Jakarta. Selama 2 minggu bapak di rawat di rumah sakit Hasan Sadikin, Bandung. Pada waktu akan berangkat ke Bandung, saya mengantar hingga bapak masuk ke dalam mobil milik kakak ipar saya, Muhctar Roeskan. Bapak duduk dibangku belakang sebelah kiri. Dia memandang saya dengan raut beribu makna. Tidak senyum. Tidak berucap sepatahpun. Hanya memandang. Raut wajah pandangan itu masih melekat hingga kini. Ternyata itu pandangan perpisahan untuk selama-lamanya.                                                                                                                         
         Di rumah jalan Lamandau III no 5, telah berkumpul para tetangga ikut membantu mempersiapkan segala sesuatunya berkenaan dengan kedatangan jenazah dan pemakaman keesokan harinya.   Telah datang juga   keluarga dari Palembang serta kawan-kawan bapak diantaranya ex Kolonel Barlian, Mayor Jenderal Harun Sohar, Makmun Murod (waktu itu Mayor Jenderal – Pang Kostrad), Letnan Jenderal Alamsyah Ratu Perwiranegara (Sekneg) dan banyak lagi.                   
         Mereka berembuk untuk mengusahakan agar bapak dapat  di makamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tentunya akan mengalami kendala karena secara “administrasi kepahlawanan” tidak memenuhi syarat karena bapak  tidak memiliki hak pensiun sebagai Kolonel TNI dan tidak memiliki Bintang Gerilya.   

         Dalam suasana keheningan duka, terdengar ucapan  dari sahabat bapak, ex Kolonel Barlian kepada Alamsyah – “Kita sama-sama tahu perjuangan Kak Nuh, dengan posisi kau sekarang ini paling dekat dengan pemerintahan sekarang, tentu dapat menjelaskan siapa Kak Nuh. Usahakan Kak Nuh dikuburkan di Kalibata. Ini usaha kita terakhir  untuk menghargai jasa-jasa Kak Nuh.” Pada waktu itu Alamsyah menjabat sebagai Sekretaris Negara, beliau menjadi salah seorang kepercayaan Presiden Soeharto pasca pemberontakan G30S/PKI tahun 1965.                                                                            
          Malam itu juga Alamsyah menyampaikan kepada Ibu bahwa bapak dapat di makamkan di Kalibata. Keluarga tentunya menghargai usaha dari kawan-kawan bapak, tapi sebelum menghembuskan nafas terakhir bapak telah berpesan untuk di makamkan di pemakaman umum.  
         Pada saat itu para tetangga yang secara spontan berdatangan ke rumah, dan baru mengetahui bahwa bapak adalah mantan tentara dengan pangkat kolonel  pada waktu revolusi 45.
         18 Oktober 1970, jenazah bapak di kebumikan di pemakaman umum blok P, Kebayoran Baru. Hadir dipemakaman, selain Alamsyah Ratuperwiranegara, Gubernur Sumsel Asnawi Mangkualam, Makmun Murod, Barlian, Harun Sohar dan kawan-kawan seperjuangan yang tidak saya kenal namanya satu persatu.
         Saat tulisan ini diselesaikan, bibinda Zawiyah telah berusia 84 tahun. Dalam usia yang sudah dikatakan uzur, bibinda masih bisa menceritakan peristiwa yang dialaminya masa lalu dengan runtut dan jelas, walau hanya sebagian saja dari riwayat bapak, setidaknya peristiwa dimana ia hadir bersama bapak. Kedekatan secara biologis maupun emosional dengan kakaknya Muhammad Nuh, yang biasa dipanggil  di dalam kalangan keluarga “Berok” sangat lekat.                                                                                    
         Mungkin karena bapaknya (kakek saya) kurang memberi perhatian yang memadai dikarenakan kesibukannya mengurusi istri-istrinya yang lain. Yang juga memberi atensi pada bibinda Zawiyah adalah neneknya. Nenek lelaki yang biasa disebut Nek Lanang dan istrinya Nek Betine.
         Bibinda Zawiyah menceritakan masa kecil kakaknya M Nuh  hingga di panggil Berok. Karena tubuhnya yang gemuk mirip semacam buah berok, buah di dusun Merapi yang hampir mirip dengan Semangka.                                                                                          
         Selisih umur mereka sekitar 10 tahun, jadi dia mulai mengenal saat berok sudah bersekolah di Lahat, lalu melanjutkan ke MULO di Palembang. Setamat dari MULO, Pangerang Bachtiar yang sedang menjabat sebagai Pasirah (kepala Marga) Merapi, berkehendak M Nuh yang menggantikan kedudukannya karena dia sudah ingin pensiun

        Ketika saya tanyakan mengapa jabatan itu tidak diteruskan ke anaknya, bibinda mengatakan, bapaknya sibuk mengurusi istri-istrinya dan berjudi ke pelosok seantero Lahat. Karenanya, Pangeran Bachtiar menghendaki cucunya Muhammad Nuh, untuk maju dalam  PilPas (Pemilihan Pasirah) walau harus bersaing dengan Bapaknya sendiri yang juga berambisi untuk menjadi Pesirah.                                             
        Rupanya, sistem demokrasi dengan melibatkan penduduk untuk memilih pemimpinnya sudah berlaku sejak masa pra kemerdekaan.





 

Tugu Kolonel Muhammad Nuh

         Awal September l995 kakanda M. Akip Renatin menerima surat dari Bupati Kepada Daerah Tingkat II Lahat, Drs. H Solichin Daud,  di tujukan untuk ahli waris Kolonel M Nuh. Surat no 464.1/1723/VI/1995 tanggal 23 Agustus 1995 berisi permohonan izin dan restu ahli waris M Nuh untuk membuat Monumen/Patung M Nuh.
         Atas surat Bupati Lahat untuk meminta izin dan restu ahli waris Muhammad Nuh untuk membuat Patung/Monumen Muhammad Nuh, terjadi dua pendapat menyikapi permintaan tersebut. Termaksud permintaan foto dan riwayat hidup ayahanda. Karena selama ini kebetulan saya yang mendokumentasi riwayat ayahanda maka, kakanda Ottoman dan kakanda Akip menyerahkan urusan ini kepada saya.

         Dua pendapat dari ahli waris M Nuh itu adalah yang setuju untuk dibuatkan Patung, dan yang tidak setuju. Alasan yang tidak setuju antara lain karena mengacu kepada apa yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim yaitu menghancurkan patung-patung yang ada di dalam Ka’bah. Sangat naïf jika ayahanda diabadikan dalam bentuk patung sedangkan Nabi Ibrahim sebagai Imam bagi seluruh manusia, memberi contoh dengan menghancurkan patung-patung sebagai berhala. Karenanaya saya tidak menanggapi permintaan riwayat hidup serta foto almarhum Muhammad Nuh ke Bupati Lahat.
         Dengan “tidak ada ijin dan restu dari ahli waris”, sepatutnya pembuatan Monumen/Patung itu batal dengan sendirinya. Secara formal tentu di butuhkan ijin tertulis untuk membuatnya.
         Satu hari saya menerima telepon dari seorang saudara yang tinggal di Lahat, Hilal Bakri. Dia menanyakan permintaan riwayat hidup dan foto bapak. Saya jelaskan kepadanya tentang bagaimana sikap ahli waris atas rencana pembuatan Monumen /Patung Kolonel M Nuh, bahwa tidak ada kata sepakat dari ahli waris untuk bapak diabadikan dalam bentuk patung. Sebaiknya di batalkan saja, teriring ucapan terima kasih atas apresiasi Bupati Lahat  yang di berikan kepada ayahanda almarhum M Nuh.                                               
         Alasan ini sepertinya kurang bisa di terima oleh Hilal , karena dia merasa sudah berjuang keras untuk “proyek” ini. Saya anggap sikap ahli waris sudah jelas, dan saya tidak merasa perlu untuk memenuhi permintaan Bupati Lahat mengirimkan riwayat hidup dan foto bapak.
         Ternyata kemudian, tampa izin dan restu dari ahli waris almarhum Kolonel Nuh, proses pembuatan Monumen dan Patung Kolonel M Nuh tetap di lanjutkan dan di resmikan oleh Komandan Resort Militer Garuda Hitam, Kolonel Ryamizard Ryacudu (kemudian menjadi KSAD dengan pangkat Jenderal bintang empat), tanpa di hadiri oleh satu orang pun ahli waris almarhum Kolonel M Nuh.
         Letak monumen itu berada di perbatasan Kabupaten Muara Enim dengan Lahat.  Ini adalah pelanggaran dari hirarki tradisi Tentara Nasional Indonesia, bagaimana satu monumen yang memakai nama empunya ahli waris di resmikan, sementara tidak ada seorang pun dari ahli waris di beritahukan, apa lagi di undang untuk menghadiri peresmian tersebut.                                                                                      
         Sebagai contoh, bagaimana seluruh ahli waris Pahlawan Revolusi di undang untuk hadir pada waktu peresmian Monumen Pancasila Cakti di Lubang Buaya. Seluruh ahli waris Jenderal Besar Sudirman, di undang untuk hadir pada waktu peresmian gedung pertemuan yang diberi nama Balai Sudirman. Atas permintaan Panglima ABRI waktu itu, Bu Dirman diminta membuka selubung patung Pak Dirman yang terletak di Mabes ABRI, Cilangkap. Banyak lagi contoh bagaimana peran ahli waris berkenaan dengan pembuatan monumen sesuai peran sejarah yang telah di torehkan oleh orang tua mereka.
         Baru pada Januari 2009, setelah 13 tahun  dibuat, saya mengunjungi monumen Kolonel Muhammad Nuh di perbatasan antara kabupaten Muara Enim dan Lahat. Saya melihat patung yang tidak menyerupai bapak dan penulisan riwayat hidup pada marmer di bawah patung yang salah semua. Tertulis di situ riwayat almarhum Kolonel Nuh sebagai berikut:
         Disebabkan tidak ada data tentang Kolonel Muhammad Nuh yang kami berikan untuk pembuatan “Monumen Muhammad Nuh”, maka, apa yang terlulis di prasasti semua salah. 
Pada prasasti tertulis sebagai berikut:

TGL 1-9-45 KOL. I M. NUH KEPALA STAP SUBKOSS
TGL 12-10-45 I KOL M. NUH   II LETKOL BAMBANG UTOYO
III MAYOR NURDIN PANJI   IV MAYOR RASYAD NAWAWI DAN
OPSIR BEKAS GYUGUN MEMBENTUK STRUKTUR ORGANISASI
TERDIRI DARI V DIVISI DAN BEBERAPA RESIMEN
BERTEMPAT DIKOTA PAGAR ALAM KAB TK II LAHAT
TGL 25-12-45 KOL M NUH KEPALA STAP KOMANDO SUMATRA
TGL 21-7-47 S/D TGL 1-6-48 PANGLIMA                                                 
DEVISI VIII GARUDA DIGANTI KOL M SIMBOLON

1.    Tgl 1-9-45 disebutkan  Kolonel M Nuh sebagai Kepala Staf Sub Komando Sumatra Selatan.
Kolonel Muhammad Nuh tidak pernah menjabat sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra Selatan (Subkoss).  Pada awal bulan September 1945 (1-9-1945), M Nuh bersama Opsir Gyugun lainnya, membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Lahat. Untuk lebih faktual saya kutip dari beberapa buku di bawah ini.
(a) Buku “Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan”
Penglaman Perang Gerilya – Tulisan Mayjen TNI Harun Sohar
Dituliskan antara lain: Setelah membentuk Badan Keamanan Rakyat di Lahat, awal September, Muhammad Nuh dan Harun Sohar mendapat tugas dari Dr.AK Gani untuk mengikuti Konggres Pemuda dan menemui Jenderal Oerip Soemohardjo, dan menghadiri Konferensi Besar Tentara Keamanan Rakyat  di Jogyakarta. Dari Palembang mereka menuju pelabuhan Panjang lalu menyeberang menggunakan perahu nelayan ke Merak. Singgah di Jakarta, dan berjumpa dengan Kolonel Didi Sasmita dan Dr. Ery Sudewo di jalan Perapatan no l0. Setelah itu melanjutkan perjalanan dengan kereta api ke Jogyakarta. Walaupun sudah menyerah kepada Sekutu, tentara Jepang masih berjaga di posnya masing-masing sampai pasukan Sekutu tiba. Jadi, perjalanan dari Palembang ke Jogyakarta cukup menguji adrenalin karena harus meliwati pos-pos penjagaan tentara Jepang. Pada waktu itu ada larangan bepergian dari Sumatra ke Jawa atau sebaliknya. 10 Nopember l945, M Nuh dan Harun Sohar menghadiri konggres pemuda yang di buka oleh Presiden Sukarno. Konggres di tunda karena terjadi pertempuran di Surabaya.
Pembicaraan saya dengan Jenderal Besar AH Nasution dan sesuai dengan tulisan Letnan Jenderal Tjokropranolo dalam buku Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman, dan  tulisan Jenderal AH Nasution di buku menuhi Panggilan Tugas jilid 2, di katakana bahwa ; pada 12 Nopember l945 di adakan Konperensi Besar Tentara Keamanan Rakyat yang pertama. Kolonel M Nuh hadir sebagai satu-satunya utusan dari Sumatra. Pada waktu pemilihan Panglima Besar, Kolonel M Nuh memberikan 6 suara atas nama 6 Divisi di Sumatra kepada Kolonel Sudirman. Hasil akhir penghitungan suara, Pak Dirman unggul tipis dari suara yang memilih Jenderal Oerip, Pak Dirman  menjadi Panglima Besar yang pertama. Pada Konperensi TKR yang pertama itu, setiap Komandan Divisi yang hadir didampingi oleh ajudan masing-masing. Ajudan Pak Dirman waktu itu, Kapten S Parman, yang kemudian menjadi Jenderal dan tewas di bantai PKI dalam peristiwa G30S/PKI. Ajudan Pak Nas adalah Kapten Umar Wirahadikuma, kemudian menjadi Wakil Presiden. Kolonel Muhammad Nuh didampingi Harun Sohar sebagai ajudan. Karena sulitnya transportasi pada waktu itu, di tambah belum semua tentara Jepang dilucuti oleh Sekutu, Muhammad Nuh bersama Harun Sohar baru dapat kembali ke Palembang pada awal bulan Desember l945. Sangat tidak benar bahwa tgl 1-9-45 Kolonel M Nuh sebagai Kepala Staf Sub Komando Sumatra.

2.    Dituliskan pada 12-10-45 Kolonel M Nuh ikut hadir rapat di Pagar Alam dalam rangka  pembentukkan tentara di Sumatra.                                                                                                
     Pada waktu itu Muhammad Nuh masih di Yokyakarta bersama Harun Sohar. Keberadaan Kolonel Muhammad Nuh di Yokyakarta, saya dapatkan dari keterangan Pak Nas pada waktu saya bertandang ke rumahnya. Keterangan Pak Nas ini sesuai dengan yang terdapat dalam buku 1. Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman – Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia – Kisah Seorang Pengawal – tulisan Letnan Jenderal Tjokropranolo. 2. Surat pribadi Jenderal Besar AH Nasution no l95/296/II/95 tgl. 20 Februari l995. 3.  Buku Sekitar Perang Kemerdekaan – jilid 1 – tulisan Jenderal Besar AH Nasution. 4. Buku Memenuhi Panggilan Tugas jilid 2 – tulisan Jenderal Besar AH Nasution.

3.    Kolonel Muhammad Nuh diangkat sebagai Kepala Staf      
     Komandemen   Sumatra pada 27 Desember l945, bukan                            
     25-12-45 seperti yang tertulis di Monumen Kolonel       
     Muhammad Nuh. Mengenai hal ini dapat
        di lihat dalam buku Kenangan Tiga Puluh Tahun Komando
         Daerah Militer IV Sriwijaya dan buku Tentara Nasional
         Indonesia – tulisan   Jenderal Besar AH Nasution.

4.    Kolonel M Nuh menjabat sebagai Panglima Divisi VIII
     Garuda  pada 10 Januari 1947,    bukan tgl 21-07-47 s/d 1-6-  
     48 lalu diganti oleh   Kolonel Simbolon    seperti tertera di
     monumen itu.                                                                                        
     Dapat di lihat pada buku Peringatan Hari Ulang Tahun     
     Sriwidjaja ke XIV terbitan Komando Daerah Militer IV
     Sriwidjaja dan buku Kenangan Tiga Puluh Tahun Komando
    Daerah Militer IV Sriwidjaja – terbitan Sejarah Militer Daerah
    Militer IV Sriwidjaja.
         Kolonel M Nuh menjabat sebagai Panglima Devisi VIII Garuda         
         selama 3 bulan. Dari 10 Januari  hingga Maret l947,
         dipindahkan ke Markas Besar Tentara di Jogjakarta sebagai   
         Opsir Penghubung Panglima Besar dengan Panglima
         Komandemen Sumatra.

        Penulisan sejarah tanpa data dan fakta  malah membuat sejarah yang absurd dan menyesatkan, sejujurnya membuat ahli waris tertawa dalam keprihatinan. Pembuatan Tugu Kolonel Muhammad Nuh berupa patung dan dan prasasti berisi riwayat yang tidak berdasarkan izin dan restu dari ahli waris, akhirnya hanya menjadi seonggok fakta sejarah yang berantakan, salah, tanpa makna dan arti  apapun.                                                                                                                                                                        
         Hendaknya kedepan, untuk membuat monumen yang mengadung historis, sepatutnya dilakukan dengan tata cara yang beradab, santun, formal dan benar. Agar tidak terjadi pelacuran dalam menuliskan fakta sejarah, sekedar memenuhi syahwat pragmatisme.

    


Mengurus pensiun Kolonel TNI

Dua tahun setelah bapak meninggal dunia, ibunda yang  menanggung biaya sekolah 6 anak mulai terasa berat dengan hanya mengandalkan pensiunan DPR RI. Suami ayunda Atun, Kakanda Akib Renatin (Mayor Jenderal TNI AD - Purn) yang pada waktu berpangkat Mayor TNI AD, berusaha meringankan beban ibunda dengan  mengurus hak pensiun ayahanda sebagai Kolonel TNI. 
         Pada waktu pengurusan hak pensiun bapak sebagai Kolenel TNI, kakanda Akib Renatin  banyak mengalami kendala karena data administrasi bapak sebagai Kolonel TNI hampir tidak dimiliki keluarga. Sampai-sampai foto bapak dalam pakaian dinas TNI AD, saat diminta oleh Induk Administrasi Angkatan Darat tidak bisa dipenuhi karena tidak dimiliki oleh keluarga. Karenanya harus dibuatkan SURAT KETERANGAN SEBAGAI PENGGANTI SURAT RESMI YANG HILANG, disebut BENTUK PERS XXXI BEKAS TENTARA.  Untuk itu diperlukan 2 (dua) orang saksi yang mengetahui dan berani bersumpah bahwa bapak sejatinya benar-benar pernah sebagai Kolonel TNI, dan kesaksian tersebut dilegalisir oleh Komandan Markas Kesatuan. Yang bersaksi untuk bapak sebagai Kolonel TNI adalah:

1. Nama    : Tahi Bonar Simatupang
    Pangkat         : Letnan Jenderal TNI (Purn)
    Jabatan         : Mantan Kepala Staf Angkatan Perang Republik
                       Indonesia

2. Nama    : Barlian
    Pangkat         : Kolonel
    Jabatan         : Mantan Panglima Kodam IV Sriwijaya

         Kedua orang tersebut menerangkan dan berani angkat sumpah bahwa bapak adalah teman dalam perjuangan dan pernah menjadi pejuang TNI dengan pangkat kolonel, mulai dari Agustus 1945 hingga 31 Desember 1949. Kesaksian kedua orang tersebut dilegalisir oleh Markas TNI, dalam hal ini oleh Komandan Markas Korps Pertahanan Keamanan (Dankorma Hankam) Brigadir Jenderal Herman Sarens Sudiro. Tentunya atas nama keluarga saya tuturkan terimakasih pada ketiga orang tersebut. Selanjutnya Brigjen Herman S Sudiro mempertegas dengan membuat Surat Penguat atau Sponsor Ship, untuk permohonan Surat Keterangan Bekas Tentara, bahwa bapak adalah Tentara Pejuang Kemerdekaan dengan pangkat Kolonel, dan bila keterangannya ini tidak benar, ia bersedia bertanggung jawab dan dituntut di pengadilan. Terima Kasih Pak Herman.         
         Berdasarkan surat keterangan dan surat sponsor ship, Departemen Pertahanan Keamanan, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, menerbitkan Surat Keterangan Bekas Tentara (SKBT) no 1667/3/XI/ SKBT/INMINAD/1972 tanggal 11 Nopember 1972, yang isinya antara lain menyatakan bahwa; Muhammad Nuh pernah menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan 31 Desember 1949, dengan pangkat Kolonel, sebagai PABAN Komandemen Sumatra, berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatra Barat. SKBT ini ditanda tangani atas nama Kepala Staf Angkatan Darat oleh Komandan Jenderal Induk Administrasi Brigadir Jenderal Rohana Wangsadiharja.
         Walaupun kesaksian bahwa bapak adalah bekas Kolonel TNI dibuat oleh mantan Kepala Staf Angkatan Perang Letnan Jenderal Tahi Bonar Simatupang dan mantan Panglima Kodam II Sriwijaya Kolonel Barlian, ditambah Sponsor Ship oleh Komandan Korps Markas Pertahanan Keamanan Brigadir Jenderal Herman Sarens Sudiro, tetap saja proses pengurusan pensiun bapak masih menemui banyak kendala.
          Baru pada 2 Desember 1975, tiga  tahun setelah SKBT dikeluarkan, hak pensiun ibu sebagai janda Kolonel Muhammad Nuh dapat diterima. Ini pun setelah Kepala Staf Angkatan Darat pada waktu itu, Jenderal Makmun Murod turut memberikan keterangan  bahwa Kolonel Muhammad Nuh pernah menjabat sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra  berkedudukan di Bukit Tinggi, di tambah usaha keras dari kakanda Akib Renatin tentunya.

Hak pensiun sebagai Kolonel TNI sangat membantu keuangan keluarga sampai saat Jenderal Beny Murdani diangkat sebagai Panglima ABRI pada 1983 menggantikan Jenderal M Yusuf. Atas perintah  Jenderal Beny Murdani, semua penerima pensiun tentara dihentikan sementara untuk diperiksa ulang keabsahan surat-surat berkenaan dengan dikeluarkannya hak pensiun pada mantan tentara.                                                                                                               
         Kebijakan Jenderal Beny berimbas juga pada hak pensiun yang diterima oleh ibunda. Empat bulan berlalu hak pensiun ibunda masih belum ada keputusan, apakah akan dihentikan atau dibayarkan kembali. Saya yang lebih dari 5 kali mendampingi ibunda mendatangi Kantor Bendahara Negara di Lapangan Banteng, selalu mendapat jawaban bahwa surat-surat pensiunan ayahanda masih dalam penelitian. Di tempat itu saya jumpai seorang tua yang berduka hingga menangis. Ternyata hak pensiunnya dihentikan. Diantara mereka yang terlihat sangat sedih itu, beberapa orang adalah  penyandang cacat, yang memakai atribut seragam Veteran.                                         
        Masuk bulan ke lima masih belum ada keputusan atas hak pensiun Janda Kolonel TNI yang sepatutnya diterima ibu. Akhirnya, saya minta ijin pada ibu untuk menghadap pimpinan Kantor Bendahara Negara untuk minta kepastian tentang pensiun bapak. Sebelumnya  saya katakan  pada ibu  untuk ridho jika mereka memutuskan  menghentikan hak pensiun ibu sebagai janda Kolenel M Nuh. Karena sudah terlalu berlarut dan lelah mundar-mandir ke Kantor Kas Negara di lapangan Banteng, ibu menyetujui usul saya.
         Esok harinya, dengan membawa data tentang bapak yang mungkin diperlukan,  saya dan ibu kembali datang ke kantor Kas Negara. Saya jelaskan kepada petugas di loket untuk bisa bertemu dengan pimpinan berkenaan keputusan atas hak pensiun Ibu yang proses klarifikasinya   sudah terlalu lama (5 bulan).
         Petugas itu masuk ke dalam menemui pimpinanannya, dan kami diijinkan untuk menemui pimpinannya. Pada pimpinan Kantor Kas Negara saya jelaskan tentang ketidakpastian putusan hak pensiun Ibu yang sudah memakan waktu 5 bulan. Ternyata berkas pensiun bapak belum sampai ke mejanya. Lalu ia memanggil anak buahnya untuk membawa berkas yang dimaksud ke mejanya.                                                                                       
         Pimpinan itu menanyakan pada anak buahnya, apa kendala hingga sudah sekian lama tidak ada keputusan atas hak pensiun Ibu. Si anak buah menjelaskan bahwa Skep pensiun ayahanda no: C996/1931 M/IX/1975 menyebutkan  bahwa Muhammad Nuh, pangkat Kolonel, kesatuan Paban Komandemen Sumatra Barat, berkedudukan di Bukit Tinggi. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa menurut data yang ada pada mereka; “Pada periode itu, pangkat tertinggi di Sumatra Barat adalah Dahlan Jambek, itupun Letnan  Kolonel”. Dia sedang membongkar data lain untuk mengetahui pasti tentang bapak.
         Sebelumnya saya sudah mempersiapkan data tentang ayahanda, lalu saya tunjukkan kepada si pimpinan;
1.    Saksi dalam SKBT yakni Jenderal T.B.Simatupang yang mengatakan Kolonel M Nuh adalah “Teman dalam perjuangan”, pada periode  Agustus 1945 sampai dengan 31 Desember 1949. Pada waktu itu pak Simatupang masih hidup, hingga sangat mudah jika ingin dimintakan klarifikasi kepada beliau.    Sedang Kolonel Barlian yang juga menjadi salah satu saksi, meninggal dunia karena kecelakaan pesawat terbang di Palembang.
2.    Buku “Sekitar Perang Kemerdekaan” jilid I halaman 380 – tulisan Jenderal A.H. Nasution – penerbit Angkasa Bandung - dijelaskan disitu bahwa: Dalam Konperensi Besar TKR yang pertama di Jogyakarta pada 12 Nopember 1945, Kolonel Muhammad Nuh hadir mewakili 6 divisi di Sumatra dan memberikan 6 suara itu untuk Pak Dirman, hingga beliau terpilih menjadi Panglima Besar.
3.  Buku “REPUBLIK INDONESIA – jilid Sumatra Barat – hal  
     567-     568 – terbitan Deppen Pusat -  dituliskan sebagai
      berikut; Pada   Nopember 1945 disusan Markas Komandemen
      Sumatra yang  berkedudukan di Bukit Tinggi. Panglima Tinggi
      Kepala Komandemen Tentara R.I Sumatra Djendral Major R.
      Suhardjo   Hardjo Wardojo. Kepala Markas Komandemen
      Kolonel Klas I Moehammad Noeh.
1.     Buku “Sekitar Perang Kemerdekaan” jilid II halaman 227 – tulisan Jenderal A.H. Nasution – penerbit Angkasa Bandung – tahun 1977 – dituliskan; Dibentuk Markas Besar Umum TKR Sumatra dan menyerahkan pimpinan itu kepada Suharjo Harjowardoyo dengan usulan pangkat Jenderal Mayor. Sebagai Kepala Staf MBU diangkat Mohamad Nuh dengan pangkat Kolonel.
2.    Buku “Kenangan TIGA PULUH TAHUN Komando Daerah Militer IV Sriwijaya – oleh Sejarah Militer Daerah IV Sriwijaya – halaman 27 tertulis; Pada 27 Desember 1945 Kooedinator membentuk Komandemen Sumatra dan sebagai Panglimanya adalah Mayor Jenderal Suharjo Harjowardoyo, dan Kepala Stafnya Kolonel Muhammad Nuh.
3.    Buku “Peranan TNI Anngkatan Darat dalam Perang Kemerdekaan” – disusun oleh Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat – Bandung PUSSEMAD – 1965 -  hal 80 – tertulis; Mengingat efesiensi, maka saudara Raden Soehardjo Hardjowardojo ditunjuklah sebagai Panglima Sumatra dengan pangkat Djenderal Mayor, Muhammad Nuh diangkat menjadi Kepala Staf dengan pangkat Kolonel.

         Setelah pimpinan itu membaca data tentang Kolonel Muhammad Nuh yang ditulis oleh Jenderal A.H. Nasution, juga tulisan dari Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat, saya katakan padanya; “Jika peran bapak saya tidak diakui sebagai Kolonel yang membuat sejarah terbentuk Tentara di Sumatra, tidak ada masalah dan kami siap jika hak pensiun itu di hentikan. Tapi, setidaknya bapak saya telah membuat benang merah dalam sejarah Tentara Nasional Indonesia dengan memberikan 6 suara yang menentukan Pak Dirman terpilih menjadi Panglima Besar. Sejarah revolusi Indonesia akan lain jika bukan Pak Dirman yang menjadi Panglima Besar.”                                                                                                    
         Si pimpinan nampaknya cukup terkesima dengan ucapan saya, lalu ia menjawab; “Sudah…..sudah cukup, dengan Pak Sim yang mantan KSAP menjadi saksi untuk kami sudah tak terbantahkan. Baru kali ini saya menemukan surat keterangan Pak Sim bersaksi untuk urusan SKBT. Mungkin ini satu-satunya. Saya minta ijin mencopy data dari buku-buku itu”. Lalu ia memerintahkan kepada anak buahnya yang sedari tadi tidak keluar ruangan untuk membuat surat keputusan tentang hak pensiun Ibu dibayarkan pada hari itu juga berikut rapel selama 5 bulan.